Share

Belum Utuh

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 21:42:13

“Tidurlah dulu, Mas. Temani Ais, ya,” kata Esti pelan sambil menyentuh lengan Haris dengan lembut.

Mereka baru saja tiba di rumah setelah beberapa hari di klinik. Kondisi Ais, anak bungsu mereka, sudah jauh membaik. Kini tinggal menunggu waktu untuk benar-benar pulih.

“Iya, Ayah. Ais pengin tidur bareng,” ujar Ais dengan mata sayu, masih terasa lelah tapi manja.

Haris tersenyum, mengangguk tanpa kata. Ia tahu Ais butuh kehadirannya malam ini.

“Aku ke belakang dulu, beresin barang-barang,” ucap Esti sembari berbalik meninggalkan kamar. Suaranya terdengar ringan, tapi langkahnya mengisyaratkankeletihan yang ia sembunyikan.

Di belakang, aroma cucian kotor dan sisa-sisa rasa panik dari hari-hari sebelumnya masih menyelimuti. Esti mulai menata barang-barang yang mereka bawa dari klinik. Baju kotor dimasukkan ke mesin cuci satu per satu. Di sela suara air mengalir dan deru mesin, ia menyiapkan makan siang.

Menu sederhana tapi penuh cinta: sup ayam hangat, tempe goreng renyah, telur dadar is
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Kok sama dengan yg sebelum nya ?
goodnovel comment avatar
Dyah Wiryastini
Kok ga rela ya kakau Esti menerima lagi Harris. Walau itu demi anak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Bertemu Masa Lalu

    "Esti?"Sebuah suara memanggil pelan, nyaris ragu. Esti, yang tengah mendorong troli berisi belanjaan di antara lorong rak-rak swalayan, spontan menoleh ke arah suara itu. Begitu matanya menangkap sosok yang memanggil, langkahnya terhenti. Matanya membesar sedikit, seolah otaknya butuh waktu ekstra untuk memproses kenyataan yang berdiri di hadapannya."Alfan?" gumamnya nyaris tak terdengar. Tapi cukup bagi lelaki itu untuk mendengarnya.Alfan mengangguk, bibirnya mengulas senyum yang tak bisa Esti tebak artinya. "Iya, aku Alfan. Apa kabar?”Esti menarik napas pendek. "Alhamdulillah, baik." Suaranya tenang, tapi dadanya terasa hangat, bukan karena rindu, tapi karena kenangan yang tiba-tiba mengalir deras tanpa permisi.Alfan. Nama yang dulu sempat memenuhi hari-harinya. Pria yang pernah hampir menjadi rumah, tapi justru pergi meninggalkan reruntuhannya."Kok kamu ada di sini?" tanyanya singkat, mencoba menjaga nada tetap datar."Belanja," jawab Esti, cepat dan seadanya.Alfan tertawa k

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Belum Utuh

    “Tidurlah dulu, Mas. Temani Ais, ya,” kata Esti pelan sambil menyentuh lengan Haris dengan lembut.Mereka baru saja tiba di rumah setelah beberapa hari di klinik. Kondisi Ais, anak bungsu mereka, sudah jauh membaik. Kini tinggal menunggu waktu untuk benar-benar pulih.“Iya, Ayah. Ais pengin tidur bareng,” ujar Ais dengan mata sayu, masih terasa lelah tapi manja.Haris tersenyum, mengangguk tanpa kata. Ia tahu Ais butuh kehadirannya malam ini.“Aku ke belakang dulu, beresin barang-barang,” ucap Esti sembari berbalik meninggalkan kamar. Suaranya terdengar ringan, tapi langkahnya mengisyaratkankeletihan yang ia sembunyikan.Di belakang, aroma cucian kotor dan sisa-sisa rasa panik dari hari-hari sebelumnya masih menyelimuti. Esti mulai menata barang-barang yang mereka bawa dari klinik. Baju kotor dimasukkan ke mesin cuci satu per satu. Di sela suara air mengalir dan deru mesin, ia menyiapkan makan siang.Menu sederhana tapi penuh cinta: sup ayam hangat, tempe goreng renyah, telur dadar is

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Belum Utuh

    “Tidurlah dulu, Mas. Temani Ais, ya,” kata Esti pelan sambil menyentuh lengan Haris dengan lembut.Mereka baru saja tiba di rumah setelah beberapa hari di klinik. Kondisi Ais, anak bungsu mereka, sudah jauh membaik. Kini tinggal menunggu waktu untuk benar-benar pulih.“Iya, Ayah. Ais pengin tidur bareng,” ujar Ais dengan mata sayu, masih terasa lelah tapi manja.Haris tersenyum, mengangguk tanpa kata. Ia tahu Ais butuh kehadirannya malam ini.“Aku ke belakang dulu, beresin barang-barang,” ucap Esti sembari berbalik meninggalkan kamar. Suaranya terdengar ringan, tapi langkahnya mengisyaratkankeletihan yang ia sembunyikan.Di belakang, aroma cucian kotor dan sisa-sisa rasa panik dari hari-hari sebelumnya masih menyelimuti. Esti mulai menata barang-barang yang mereka bawa dari klinik. Baju kotor dimasukkan ke mesin cuci satu per satu. Di sela suara air mengalir dan deru mesin, ia menyiapkan makan siang.Menu sederhana tapi penuh cinta: sup ayam hangat, tempe goreng renyah, telur dadar is

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Tidak Ada Ruang

    Perlahan Haris mendekat. Ia berhenti di samping Esti, lalu berbisik, suaranya dalam dan lembut.“Menangislah, kalau itu bisa bikin kamu lega.”Esti tidak menjawab. Tapi suaranya, tubuhnya gemetar. Dan dalam sekejap, air matanya tak lagi tertahan. Ia menunduk, lalu membenamkan wajahnya di dada Haris. Memeluknya, erat.Haris tersentak sesaat, lalu perlahan membalas pelukan itu. Erat dan hangat. “Aku di sini. Aku akan lindungi kamu dan anak-anak.” ucap Haris lirih.“Aku lelah, Mas. Lelah dengan semua ini...” kata Esti sambil terisak. “Kupikir aku kuat. Tapi ternyata aku cuma terpaksa untuk kuat.”Kata-kata itu menusuk.Bukan hanya karena isinya, tapi karena Haris tahu, itu kebenaran yang tak bisa dibantah. Kuat bukan pilihan Esti. Itu paksaan. Dari situasi, dari keadaan, dari kesalahan Haris sendiri.Matanya berkaca. Tangis Esti menyelinap ke dalam dirinya, mengaduk rasa bersalah yang selama ini ia kubur di dalam diam. Ia menyesal lebih dari yang bisa diungkapkan.Pelukan itu berlangsun

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Kelelahan Yang Panjang

    “Nenek?”Ais memekik kecil, matanya membesar penuh kejutan melihat Bu Siti dan Dewi masuk ke dalam kamar. Ia sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, dengan Haris yang tengah menyuapkan sendok berisi bubur ke mulutnya.Bu Siti segera menghampiri, wajahnya langsung melunak. Ia menunduk dan mengelus kepala cucunya dengan penuh kasih.“Makan yang banyak ya? Biar cepat sehat, biar cepat pulang ke rumah.”Ais merengut kecil, mulutnya mengerucut.“Tapi makanannya nggak enak, Nek...” keluhnya polos.Bu Siti tersenyum, wajahnya penuh pengertian. Ia duduk di tepi ranjang dan merapikan selimut Ais dengan lembut.“Itu karena kamu lagi sakit, Sayang. Lidahnya jadi nggak enak. Tapi kamu tetap harus makan, biar cepet sembuh. Nanti kalau sudah sehat, Nenek masakin sop ayam kesukaanmu, ya?”Ais mengangguk pelan, matanya mulai berbinar. “Janji?”“Janji.” Bu Siti mencubit pipi cucunya lembut.Dewi berdiri tak jauh dari sana, menyandarkan tubuh di dinding, memperhatikan interaksi itu dengan senyum

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Dunia Tidak Buta

    "Kamu jangan merasa menang ya? Aku bisa membuatmu menangis darah."Suara itu, dingin, penuh amarah, menyusup ke telinga Esti seperti racun yang perlahan merambat.Esti menoleh cepat. Matanya membelalak sesaat melihat sosok Asri berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Nafas wanita itu terengah, tapi matanya menyala bukan karena lelah, tapi karena amarah yang telah lama membusuk dalam hati."Maaf," ucap Esti pelan, mencoba tetap tenang. "Aku nggak ada urusan denganmu.”Asri melangkah mendekat. Wajahnya dipenuhi kemarahan yang ditahan-tahan."Gara-gara kamu, aku dipindahkan ke tempat yang jauh. Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu yang melaporkan ke atasan, kan?!"Esti mengerutkan dahi. "Gara-gara aku? Kok bisa kamu mikir begitu?""Jangan pura-pura polos!" bentak Asri, hampir tak mampu mengontrol suaranya. "Kamu pasti senang, kan, lihat aku dipermalukan?!"Esti menatap Asri lama. Lalu dengan suara tenang tapi tajam, ia berkata, “Asri, semua ini akibat perbuatanmu sendiri. Salah siapa k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status