Share

Cara Kotor

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-14 18:41:10

Beberapa hari setelah kunjungannya ke sekolah Ais, Haris mencoba menghindari konflik. Tapi Indah makin mendesak.

Pagi itu, saat Haris baru saja selesai mandi dan hendak bersiap ke kantor, Indah menaruh secarik kertas di meja makan.

“Apa ini?” tanya Haris tanpa melihat.

“Formulir pengajuan cerai PNS. Lengkap, tinggal kamu isi dan tanda tangani,” jawab Indah tajam.

Haris menatapnya dalam. “Kamu nyari ini dari mana?”

“Dari internet. Aku udah tanya temanku yang di BKD juga. Kamu tinggal ajukan ke atasanmu.”

“Indah, aku sudah bilang prosesnya nggak sesederhana itu.”

Indah menyilangkan tangan, wajahnya dingin. “Bukan nggak sederhana, kamu aja yang nggak serius. Masih nempel sama mantan istri dan anak-anakmu. Kamu janji sama aku mau bercerai. Aku ini istrimu, dan aku lagi hamil! Tapi kamu lebih sibuk urusin mereka!”

Haris melempar dasinya ke meja. Napasnya berat. “Iya, aku sayang anak-anakku. Tapi kamu juga harus tahu, perceraian itu bukan hal sepele. Ada aturan, ada proses. Aku gak bisa asa
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mifta Nur Auliya
Awal kehancuran Haris,,mirip heru hancur setelah membuang berlian demi selingkuhan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ketakutan Berlebihan

    Indah duduk di ruang tamu, matanya kosong menatap keluar jendela. Semua yang direncanakannya hancur begitu saja. Haris tidak lagi menanggapi perasaannya dengan cara yang ia harapkan. Bahkan, perceraian yang ia harapkan segera selesai dengan cara yang cepat, kini menjadi semakin rumit dan jauh dari jangkauan.Perasaannya mulai kacau. Tak ada yang lebih mengganggu selain kenyataan bahwa dia kini benar-benar terpojok. Semua yang ia lakukan tampaknya hanya memperburuk keadaan.Keesokan harinya, Indah memutuskan untuk menghubungi ibunya. Ia ingin mencari penghiburan, sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih kuat. Setelah beberapa kali mencoba, ibunya belum juga mengangkat telepon.Akhirnya Indah ke rumah ibunya, ia tahu kalau ayahnya masih bekerja.“Indah, kamu sama siapa? Ada apa?” suara Bu Ratna khawatir, kemudian memeluk Indah.Indah menghela napas panjang, kemudian melepaskan pelukan ibunya. “Bu, aku benar-benar terpojok. Haris udah gak peduli sama aku lagi. Aku udah coba segala cara

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Cara Kotor

    Beberapa hari setelah kunjungannya ke sekolah Ais, Haris mencoba menghindari konflik. Tapi Indah makin mendesak.Pagi itu, saat Haris baru saja selesai mandi dan hendak bersiap ke kantor, Indah menaruh secarik kertas di meja makan.“Apa ini?” tanya Haris tanpa melihat.“Formulir pengajuan cerai PNS. Lengkap, tinggal kamu isi dan tanda tangani,” jawab Indah tajam.Haris menatapnya dalam. “Kamu nyari ini dari mana?”“Dari internet. Aku udah tanya temanku yang di BKD juga. Kamu tinggal ajukan ke atasanmu.”“Indah, aku sudah bilang prosesnya nggak sesederhana itu.”Indah menyilangkan tangan, wajahnya dingin. “Bukan nggak sederhana, kamu aja yang nggak serius. Masih nempel sama mantan istri dan anak-anakmu. Kamu janji sama aku mau bercerai. Aku ini istrimu, dan aku lagi hamil! Tapi kamu lebih sibuk urusin mereka!”Haris melempar dasinya ke meja. Napasnya berat. “Iya, aku sayang anak-anakku. Tapi kamu juga harus tahu, perceraian itu bukan hal sepele. Ada aturan, ada proses. Aku gak bisa asa

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Berpikir Ulang

    Hari itu Haris duduk di depan loket Pengadilan Agama, berkas di tangan, wajah kusut dan lelah. Berkali-kali ia membaca ulang dokumen yang katanya masih kurang. Sebagai PNS aktif, prosedur perceraiannya ternyata jauh lebih rumit.“Maaf, Pak,” kata petugas dengan nada datar. “Karena Anda dan istri sama-sama PNS, harus ada izin tertulis dari atasan langsung. Dan juga, berita acara mediasi internal dari BKD belum lengkap.”Haris mengangguk lemah. “Tapi saya udah ke BKD kemarin.”“Kalau belum ada tandatangan kepala bidang, belum sah. Ulangi lagi prosedurnya, Pak.”Haris menatap map cokelatnya dengan pasrah. Ia belum pernah merasa serumit ini. Di kepala, wajah Esti terbayang, tenang, tegas, tapi dingin.Esti memang tak lagi marah. Tapi sejak percakapan terakhir mereka, ia berkata jelas: “Kalau kamu benar-benar ingin menyelesaikan ini, selesaikan sendiri. Aku sudah terlalu lelah jadi pihak yang selalu mendorong proses.”Di sisi lain, Indah terlihat begitu ringan.“Akhirnya kita bisa hidup ta

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Sepakat Berpisah

    Haris berdiri di depan pintu rumah Esti. Tangannya sempat ragu untuk mengetuk. Udara sore terasa berat, seperti menahan napas bersama dirinya.Pintu dibuka oleh Esti. Wajahnya datar, tak terkejut melihat Haris berdiri di sana. Seperti sudah bisa menebak.“Mas Haris,” ucapnya singkat. “Ais lagi tidur. Mei di kamar, ngerjain tugas.”“Aku… bukan mau nemuin mereka. Aku mau bicara sama kamu.”Esti hanya membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk.Mereka duduk di ruang tamu. Tak ada suara selama beberapa detik, hanya bunyi jam dinding yangberdetak pelan.“Aku nggak bisa lanjut kayak gini,” kata Haris akhirnya. Suaranya serak, seperti menahan sesuatu yang terlalu lama disimpan. “Aku udah terlalu lama menggantung semuanya. Kamu, anak-anak dan Indah.”Esti tidak bereaksi. Ia hanya menatap lurus ke depan, menunggu lanjutan dari Haris.“Aku tahu, ini bukan tentang memilih siapa yang paling aku cintai. Tapi tentang siapa yang paling aku hancurkan dengan kebimbanganku.”Esti masih diam.“Aku s

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Harus Memilih

    "Sepertinya hubunganmu dengan Mas Haris mulai membaik. Aku lihat dia sering kesini," kata Mita, teman sekaligus tetangga Esti yang sudah seperti saudara.Esti tidak punya teman dekat, di sekolah hubungan Esti dengan rekan-rekan guru biasa saja, tidak ada yang sangat dekat. Dengan Mita, Esti bisa berbagi cerita apa saja, begitu juga sebaliknya."Semua demi Mei dan Ais," sahut Esti. Mereka berdua sedang jalan-jalan mall."Kamu nggak jadi mengurus perceraian?""Bukan nggak jadi, tapi belum.""Kenapa? Dulu kamu ngotot ingin bercerai dengan Mas Haris. Apakah sekarang sudah mulai tumbuh lagi benih-benih cinta?" goda Mita."Kamu ini ada-ada saja, bukan begitu Mita. Aku ingin Indah merasakan apa yang dulu aku rasakan.""Maksudmu?" Mita mengernyitkan dahinya."Aku sengaja mengulur semua ini, supaya nanti anaknya lahir tidak memiliki identitas resmi. Karena mereka menikah siri." Esti berkata dengan tegas.Mita hanya geleng-geleng kepala."Apakah aku jahat?" tanya Esti."Enggak, kamu sudah melak

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Buktikan

    “Istri Anda sedang hamil,” kata dokter dengan nada serius, “tapi janin dalam kandungannya beratnya jauh dari normal. Sepertinya asupan gizinya kurang. Kami khawatir, jika tidak ditangani, bayi bisa mengalami kekurangan gizi atau komplikasi lain saat lahir.”Haris terpaku. Kata-kata dokter itu menghantamnya lebih keras dari apa pun yang pernah ia dengar malam ini.“Gimana bisa…” gumamnya, matanya menatap kosong ke lantai. “Saya… saya nggak tahu…”Dokter menepuk bahunya. “Sekarang yang paling penting adalah fokus ke pemulihan istrinya dan mulai memperhatikan nutrisi ibu hamil secara serius. Kami akan pantau perkembangannya. Tapi tolong, jangan sampai tekanan emosional ini berlanjut. Itu sangat berpengaruh.”Haris mengangguk, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana. Ia duduk di kursi lorong rumah sakit, wajah tertunduk, tangan mengepal.Tak lama kemudian Esti datang menghampiri. Ia membawa air minum dan duduk di samping Haris tanpa berkata apa-apa.“Anak kami mungkin tidak sehat,” k

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Tamu Tak Terduga

    “Ayah macam apa aku ini…” gumam Haris, nyaris tak terdengar. “Satu anak menangis minta aku tinggal. Satunya lagi, menutup pintu karena aku datang.”Esti mendekat. “Kalau Mas memang mau berjuang untuk anak-anak, jangan setengah-setengah. Jangan cuma datang waktu dibutuhkan.”Haris mengangguk. Kalimat itu menampar, tapi ia tahu itu kebenaran yang tak bisa dihindari.Malam itu, Haris tidur di kamar Ais, tepat di sebelah Ais yang memeluk boneka kesayangannya. Tapi pikirannya bukan pada Ais, melainkan pada Mei.Ia bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan sarapan seadanya. Bukan demi Esti. Bukan untuk membuktikan apa pun. Hanya satu niat, ia ingin dilihat sebagai ayah yang hadir.Di depan pintu kamar Mei, ia kembali berdiri, kali ini tanpa mengetuk.“Mei…” ucapnya lirih. “Hari ini Ayah antar kamu sekolah, ya?”Tak ada jawaban.Namun kali ini, dari celah bawah pintu, Haris melihat bayangan kaki kecil yang mendekat, lalu menjauh lagi.Itu bukan "iya", tapi juga bukan "tidak". Dan itu cukup

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Butuh Waktu

    “Ayah jangan pergi dulu,” ucap Ais lirih sambil menggenggam tangan Haris erat.Haris terdiam. Ia menoleh ke arah Esti yang sedang membereskan sisa peralatan musik. Esti hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia tak keberatan.“Ayah temani ya sampai Ais tidur,” bisik Haris sambil menggendong Ais ke kamar.Kamar kecil itu hangat dan rapi. Dindingnya penuh dengan gambar dan coretan tangan Ais, gambar keluarga, rumah, pelangi, dan boneka kelinci favoritnya. Haris duduk di tepi ranjang, sementara Ais meringkuk di dalam selimut.“Ayah, kenapa Ayah jarang ke sini?”tanya Ais dengan polos, matanya menatap langit-langit.Pertanyaan itu seperti duri kecil yang menusuk hati Haris.“Maaf ya, Sayang... Ayah sibuk.”“Sama Tante Indah?”Haris tak menjawab langsung. Ia hanya mengelus kepala Ais dan mencium keningnya.“Ais tahu nggak? Ayah kangen banget sama Ais. Tiap malam Ayah mikirin kamu.”Ais tersenyum kecil. “Ais juga kangen Ayah. Tapi Ibu bilang, kalau Ayah sayang, Ayah pasti datang.”Kal

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Saat Seseorang Pergi

    Hari ini Haris menemani Indah periksa kehamilan, disebuah rumah yang ada di daerah mereka. Haris dan Indah sedang menunggu di ruang tunggu poli kebidanan. Tanpa sengaja, Haris melihat ke arah poli anak. Ia melihat Ais yang tertidur dipangkuan Esti.Haris terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Ais tertidur di pangkuan Esti, putri kecilnya yang sudah berminggu-minggu tidak ia temui. Rambut Ais sedikit berantakan, pipinya merah karena demam, dan tubuh mungilnya terlihat lemas.Ia ingin berdiri, ingin mendekat, ingin menyentuh kepala anaknya, tapi tangan Indah menggenggam erat lengannya, seolah tahu apa yang ada di dalam pikirannya."Aisyah Farhana," suara perawat memanggil. Esti pelan-pelan membangunkan Ais, membisikkan sesuatu di telinganya sambil membelai pipinya. Lalu ia berdiri dengan tubuh letih dan langkah perlahan, ia memapah Ais masuk ke ruang periksa.Dan di momen itulah pandangan mereka bersinggungan.Esti melihat Haris. Matanya menangkap sosok yang dulu ia cinta

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status