Malam kembali turun, kali ini tanpa banyak percakapan. Hari itu mereka lewati bersama dengan ringan, sarapan bersama Mei dan Ais, membersihkan rumah, menonton televisi sambil saling melempar komentar kecil yang dulu terasa asing. Tapi malam selalu punya cara mengupas sisi terdalam dari hati yang lelah.Haris masuk kamar lebih dulu, sudah mengenakan kaus longgar dan celana tidur. Ia tak lagi duduk di pinggir ranjang menunggu izin, tapi langsung berbaring di sisi kanan seperti malam sebelumnya. Esti menyusul tak lama kemudian, mematikan lampu lalu naik ke tempat tidur tanpa banyak suara.Untuk beberapa menit, hanya ada sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Ini semacam diam yang tenang, seperti dua hati yang sedang belajar memahami ritmenya lagi.Perlahan, Haris memutar tubuhnya menghadap Esti. “Makasih,” katanya pelan.Esti membuka mata, mengerutkan dahi. “Untuk apa?”“Buat hari ini. Buat masih ngasih aku tempat di rumah ini. Di hati kamu.”Esti terdiam sejenak. “Aku juga lagi belajar,
Hubungan antara Esti dan Haris perlahan mulai pulih. Luka yang dulu menganga kini perlahan dijahit kembali dengan kesabaran, pengertian, dan tekad untuk tidak menyerah. Setelah badai kesalahan yang pernah dilakukan Haris mengguncang fondasi rumah tangga mereka, kini keduanya sepakat untuk memperjuangkan apa yang pernah hampir hancur.Mereka tak ingin hanya menjadi sepasang orang tua yang tinggal dalam rumah yang sama tanpa kehangatan. Demi Mei dan Ais, dua buah hati yang sempat terseret dalam pusaran konflik, mereka belajar untuk saling memaafkan. Tawa kecil Mei yang kini kembali memenuhi ruang tamu, dan pelukan hangat Ais pada ayahnya setiap pulang kerja, menjadi pengingat betapa pentingnya kehadiran keluarga yang utuh.Di mata orang luar, mungkin ini hanyalah lembaran baru dari sebuah kisah rumah tangga biasa. Namun bagi Esti dan Haris, ini adalah perjalanan panjang menuju pemulihan dengan cinta sebagai kompasnya, dan anak-anak sebagai cahaya yang menuntun langkah mereka pulang.Mal
Beberapa hari setelah percakapannya dengan Haris, Esti kembali merasa hening dalam dirinya. Bukan karena ragu, tapi karena ia tahu, mencintai kembali seseorang yang pernah menyakitinya bukan soal keberanian, tapi tentang keikhlasan.Dan keikhlasan butuh waktu. Butuh dialog dengan diri sendiri yang paling jujur. Tanpa anak-anak. Tanpa Haris.Tanpa senyuman penuh harap.Malam itu, setelah semua tidur, Esti duduk sendiri di meja makan. Lampu sengaja ia biarkan redup. Pikirannya melayang jauh, memikirkan hal-hal yang sedang ia alami saat ini. Pertanyaan-pertanyaan muncul dipikirannya."Apa kamu benar-benar sudah sembuh dari luka itu, Esti?""Apa kamu benar-benar siap bukan hanya menerima Haris, tapi juga risiko cinta yang bisa mengecewakan lagi?”Ia berhenti sejenak, napasnya panjang dan berat. Ingatannya kembali ke malam-malam saat ia menangis sendiri di kamar mandi, menyembunyikan tangis dari anak-anak, ketika Haris dulu menghilang.Saat itu, ia pernah bersumpah.“Cukup. Ini yang terakh
Esti tak pernah sengaja menguping. Tapi malam itu, saat ia membuka pintu kamar untuk mengambil gelas kosong, ia mendengar suara Mei dari ruang tengah."Kalau Ayah punya keluarga baru, kami masih boleh kayak gini?"Langkah Esti berhenti. Ia berdiri diam di balik pintu, tak berniat ikut campur, tapi tak kuasa menahan detik itu berlalu tanpa ia dengar. Suara Haris menyusul pelan, lalu suara Mei lagi.Esti menutup matanya sesaat. Ia pikir, luka paling dalam hanya ada di hatinya. Tapi malam itu, ia mendengar serpihan luka yang jauh lebih kecil, lebih sunyi dan lebih menyakitkan, luka anak-anak mereka.Ketika Haris memeluk anak-anak dan meminta maaf dengan suara serak tertahan, Esti tak kuasa menahan air matanya jatuh.Ia bersandar ke tembok, tidak ingin masuk, tidak ingin menghentikan momen itu. Saat itu, ia melihat Haris bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai ayah yang sedang memperbaiki kehilangan.Malam itu, bukan hanya anak-anak yang disembuhkan perlahan. Tapi juga hatinya.Hati yang
Tengah malam, Esti bangun. Hujan reda. Ia berjalan ke dapur untuk minum. Ketika melewati ruang tamu, ia melihat Haris tertidur pulas di sofa, miring ke kanan, selimut hanya menutup sampai pinggang. Ada botol minum setengah kosong di meja.Tanpa berpikir panjang, Esti mengambil selimut cadangan dari lemari, lalu pelan-pelan menyelimuti Haris lebih rapat. Ia berdiri sejenak, menatap wajah Haris dalam diam.Bukan lagi wajah orang asing. Tapi juga belum sepenuhnya wajah yang ia percayai sepenuhnya.Lalu ia berbalik menuju kamarnya.Sebelum menutup pintu, ia berbisik dalam hati.“Kita lihat besok. Kalau kamu tetap di sini, tetap konsisten, mungkin suatu hari nanti, rumah ini benar-benar jadi rumah lagi.”***Pagi itu, sinar matahari menembus sela gorden tipis kamar anak-anak. Ais menggeliat kecil di atas kasurnya, lalu membuka mata perlahan. Ia melihat pintu kamar terbuka sedikit, dan samar-samar mendengar suara gelas beradu dari arah dapur.Ais melangkah keluar kamar, masih dengan piyama
Pagi itu berbeda. Bukan karena aroma kopi yang harum atau sinar matahari yang hangat menembus jendela ruang makan. Tapi karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Esti dan Haris duduk berdua di meja makan, tanpa kata-kata pedih, tanpa tatapan yang saling menghindar.Mei dan Ais masih di kamar, sibuk memilih kaus kaki untuk sekolah.Di antara dua cangkir teh yang mengepulkan uap, Esti menatap Haris. Ia menarik napas, lalu berkata dengan nada tenang, “Kalau kita mau mulai lagi, aku mau kita sepakat, kita bukan melanjutkan dari tempat yang kemarin, kita mulai dari titik nol.”Haris mengangguk pelan. “Aku paham. Dan aku setuju.”“Aku ingin rumah ini jadi tempat aman buat anak-anak, dan buat kita juga. Tapi aku butuh batas,” lanjut Esti, menunduk sejenak. “Kita jalani ini pelan-pelan. Aku belum siap sepenuhnya, bukan karena aku masih marah. Tapi karena aku sedang belajar percaya lagi, pada diriku sendiri dan pada kamu.”Haris tampak menahan sesuatu dalam dadanya. Lalu ia menjawab, “