Share

Runtuhnya Sebuah Kesetiaan
Runtuhnya Sebuah Kesetiaan
Author: YuRa

Pakaian Biduan

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-02-28 09:42:42

“Bu, lihatlah pakaian Tante Indah. Terlalu ketat, nggak punya malu ya?” kata Mei anak pertama Esti.

Esti yang sedang asyik memainkan ponselnya langsung menoleh ke arah Mei. Ia tampak mengernyitkan dahi.

“Ada apa, Mei?” tanya Esti, ia tidak begitu mendengar yang dibicarakan oleh Mei.

“Itu lho Bu, Tante Indah pakai kaos ketat terus celana yang pendek sekali. Kayak orang mau senam aerobik di studio saja. Apa dia nggak risih ya?”

“Masa sih?”

“Benar, Bu. Padahal dulu Tante Indah nggak kayak gitu lho.”

Esti penasaran dengan ucapan Mei, ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke ruang studio yang letaknya di sebelah rumahnya.

Suasana studio tampak ramai, semua kru ada disini. Studio ini cukup luas, untuk latihan dan menyimpan peralatan musik, juga sound sistem sebuah orgen tunggal. Indah dan para kru sedang latihan bernyanyi. Besok mereka ada jadwal manggung di acara pernikahan.

“Eh, Mbak Esti,” sapa Indah dengan suara serak-serak basah. Ia tersenyum dan mendekati Esti kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Beberapa kru juga tersenyum pada Esti, Esti membalasnya dengan menganggukkan kepalanya.

“Lanjutkan saja latihannya, aku hanya ingin melihat saja kok,” sahut Esti.

Indah dan para kru pun melanjutkan latihannya. Esti duduk bersebelahan dengan Mei, ia berusaha menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Indah. Suara Indah memang bagus seperti seorang penyanyi profesional. Pandangan Esti tertuju pada pakaian yang melekat pada tubuh Indah. Memang benar kata Mei, pakaian Indah begitu tampak seksi, memperlihatkan lekuk tubuh Indah yang memang bahenol. Esti saja sangat risih melihatnya.

Tak lama kemudian muncul Haris, suami Esti yang baru saja pulang dari kantor. Haris mendekati Esti dan Mei.

“Lho Ais kemana?” tanya Haris.

“Main ke rumah Vivi, Yah.” Mei menjawab pertanyaan ayahnya. Aisyah Farhana atau yang sering dipanggil Ais adalah anak kedua Esti dan Haris. Masih duduk di kelas empat SD. Sedangkan Mei atau Meidina Salsabila duduk di kelas tujuh SMP.

Satu lagu usai dinyanyikan oleh Indah, Haris pun memberikan pengarahan pada kru orgen tunggal miliknya.

“Besok pagi, sesudah subuh kalian harus sudah sampai disini ya? Mempersiapkan peralatan. Nanti malam jangan begadang, biar besok tampil prima. Jangan kecewakan orang yang menyewa kita.”

“Oke, Pak.” Beberapa kru menjawab secara bersamaan.

Esti hanya mengamati interaksi Haris dengan para kru. Tak sengaja ia melihat ke arah Indah yang tampak memandang Haris dengan wajah sumringah. Jantung Esti berdetak dengan kencang, ia pun menarik nafas panjang untuk menetralkan detak jantungnya.

“Kenapa Bu?” tanya Mei.

“Memangnya kenapa?” Esti malah balik bertanya sambil menoleh ke arah Mei.

“Ibu kok menarik nafas?”

“Oh, nggak apa-apa. Tiba-tiba dada Ibu sesak.”

“Lihat Bu, om-om kru memandang Tante Indah sampai tak berkedip. Mudah-mudahan Ayah nggak kayak gitu.” Mei berbisik pada Esti.

Deg! Jantung Esti berdetak kencang lagi. Ia melihat ke arah Haris yang tampak berbicara serius dengan Indah, sedangkan para kru sibuk dengan peralatan musiknya sambil sesekali melirik ke arah Haris dan Indah.

“Sejak kapan mereka berdua akrab seperti itu?” kata Esti dalam hati.

Esti sangat khawatir melihat keakraban bos orgen tunggal dan biduannya. Ia takut jika sesuatu yang buruk akan menimpa rumah tangganya lagi, seperti beberapa tahun yang lalu.

Reno, salah satu kru tampak mengamati perubahan ekspresi wajah Esti. Reno menjadi salah tingkah ketika ia kepergok Esti sedang menatapnya. Reno pun menundukkan kepalanya.

“Ada apa dengan Reno? Kok dia menatapku kayak gitu? Apakah dia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui?” Esti berkata dalam hati.

***

“Mas, Indah kalau nyanyi di panggung pakaiannya bagaimana?” tanya Esti ketika mereka berdua ada di dalam kamar, menjelang tidur malam.

Pillow talk ini sering mereka lakukan, sekedar bercerita tentang kegiatan juga tentang anak-anak. Ini dimaksudkan untuk menjaga kedekatan dan keintiman setelah badai yang pernah menimpa rumah tangga mereka.

“Maksudnya?” Haris mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah Esti.

“Kayak biduan-biduan lain yang tampil sangat seksi dan pakaian yang terbuka.”

“Namanya juga biduan, ya kayak gitu deh.” Mata Haris beralih ke ponsel yang ada di tangannya.

“Apa nggak bisa tampil lebih sopan? Yang dinikmati kan suaranya bukan tubuhnya. Kayak tadi, aku risih melihat pakaian Indah. Apa dia itu nggak sadar kalau sudah punya anak dan nggak muda lagi, harusnya dia tahu itu!”

“Kita nggak usah ngatur-ngatur pakaian orang lain. Ia nyaman berpakaian seperti itu, ya biarkan saja.” Haris berkata dengan mata yang masih menatap layar ponselnya.

“Bukannya ngatur, Mas. Tapi kan menyangkut citra orgen tunggal Cakrawala. Kalau laki-laki sih senang melihat perempuan berpakaian seperti itu.” Esti mulai kesal karena Haris tampaknya acuh tak acuh menanggapi omongannya. Ia pun melanjutkan bicaranya.

“Kasihan ya, mencari uang sambil merendahkan martabat diri sendiri,” lanjut Esti.

“Apa maksudmu?” Haris menoleh ke arah Esti.

“Itu lho, biduan-biduan tampil diatas panggung dengan pakaian seksi hanya demi saweran. Apa dia nggak malu dengan keluarganya sendiri ya? Pikirkan bagaimana perasaan orang tua, suami dan juga anak-anaknya.”

“Tapi kan mereka mencari nafkah halal,” protes Haris.

“Halal? Halal itu kalau ia hanya bernyanyi dan berpakaian sopan. Kalau sampai menerima saweran laki-laki yang memberikan uangnya sambil mencolek-colek bagian tubuhnya, apakah itu halal?”

“Belum lagi ketika terjadi hubungan haram antara biduan dengan kru yang sudah berkeluarga atau biduan dengan pemilik orgen tunggal,” lanjut Esti sambil menatap wajah Haris, membuat Haris salah tingkah dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Jadi kamu pikir aku ada hubungan dengan Indah?” Seketika Haris tampak kesal dan mulai emosi. Jantungnya berdetak dengan kencang.

“Bukan, aku menceritakan pemilik orgen tunggal yang lain. Contohnya orgen tunggal Kencana, pemiliknya hampir saja bercerai. Akhirnya orgen tunggalnya dijual. Orgen tunggal Mitra, Bintang Harapan dan masih banyak lagi contoh lainnya. Eh, kok Mas jadi sewot seperti itu? Aku kan nggak ngomongin Mas?” Esti tampak curiga dengan gelagat Haris yang sepertinya tersinggung dengan ucapan Esti tadi.

“Si-siapa yang sewot? Ucapanmu tadi seperti menuduhku.” Haris menjawab dengan gugup, membuat Esti semakin curiga.

“Nggak usah gugup gitu, aku nggak menuduhmu kok. Aku hanya menyampaikan pendapatku tentang pemilik orgen tunggal yang lain. Semoga saja tidak terjadi pada orgen tunggal Cakrawala ya?” Esti berusaha untuk berbicara dengan tenang, walaupun dalam hatinya tampak mulai kesal dan emosi.

“Sudah malam, tidur! Besok kesiangan ke kantornya,” kata Esti. Ia pun merebahkan tubuhnya dan berbaring membelakangi suaminya.

Esti berusaha untuk memejamkan mata, tapi hanya mata yang terpejam, pikirannya berkelana.

Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Affiliate Partner

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Indah duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Haikal dan Fania masih tertidur, Bu Ratna sibuk menyapu halaman, dan suasana rumah cukup tenang untuknya mencoba sesuatu yang sejak tadi malam terus ia pikirkan.Ia membuka aplikasi catatan yang semalam ditulisnya. Tangan kanannya berkeringat, dan jantungnya berdetak tak karuan."Mulai dari suara dulu. Jangan takut."Ia membaca ulang kalimat itu, seperti mantra yang menenangkan.Dengan perlahan, ia menyiapkan botol skincare yang tadi malam ia lihat banyak dijual orang-orang di media sosial.Kebetulan ia memakai produk itu. Lalu, ia letakkan botol itu di atas meja kayu yang ia bersihkan khusus pagi ini. Cahaya matahari yang masuk dari jendela membuat produk itu terlihat bersih dan segar.Ia mengatur ponselnya di atas tumpukan buku, mencoba mencari sudut terbaik. Lalu, menekan tombol rekam suara."Halo, Kak... Aku mau ngenalin produk yang bikin kulit glowing dan lembap seharian..."Suara it

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Inspirasi

    Tangis Indah pecah begitu pintu rumah tertutup kembali. Suara langkah Gina dan ibunya masih terngiang di benaknya, seperti gema yang tak mau pergi. Ia terduduk di lantai ruang tamu, wajahnya ditutupi kedua tangan yang gemetar. Air mata jatuh satu per satu, seolah mewakili rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam.Hari ini, Gina, istri Pratama, datang bukan sebagai tamu biasa. Ia datang membawa luka, amarah yang ditahan, dan permintaan yang mengguncang hati Indah."Tolong, jauhi suamiku. Aku mohon..."Kata-kata itu masih terngiang jelas. Lembut, tapi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tidak ada makian. Hanya mata yang sembab dan suara yang nyaris pecah.Tak lama setelah mereka pergi, Indah menoleh ke arah ibunya yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Wajah Bu Ratna datar, tapi mata tuanya menyimpan kecewa yang dalam.“Begitu hinakah seorang biduan, Bu?” tanya Indah lirih, nyaris seperti bisikan di antara isaknya.Bu Ratna menarik napas panjang sebelum duduk di samping

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Berhenti Bernyanyi

    Pagi itu, matahari menembus sela tirai, menyinari ruang makan kecil yang sederhana.Indah duduk di lantai beralaskan tikar lusuh, menyuapi Haikal yang baru delapan bulan.“Ini suapan buat adek, ya… Nih, aaaa..”Haikal membuka mulut kecilnya, lalu tertawa sambil mengeluarkan suara khas bayi yang belum berbicara.“Hmmmhh… ahh… euhh…”Indah ikut tertawa, matanya berbinar. Sekejap, semua beban terasa jauh.Anak itu, meski belum bisa bicara, selalu tahu cara membuat ibunya bertahan.Tiba-tiba, Tok tok tok.Suara ketukan di pintu membuat Indah dan Bu Ratna, ibunya, saling melirik.“Biar Ibu yang buka.”Bu Ratna bangkit perlahan dari tikar, merapikan kerudung yang setengah tergeser, lalu berjalan ke arah pintu depan.Saat pintu dibuka, dua perempuan berdiri di ambang. Yang satu setengah baya, dengan sorot mata tajam dan ekspresi penuh kontrol.Yang satu lagi, lebih muda, mungkin sebaya dengan Indah. Matanya memindai isi rumah, lalu berhenti pada suara lenguhan Haikal dari dalam.“Cari siapa,

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menolak Syarat

    "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bu Ratna dengan suara lembut, sambil duduk di bangku panjang taman belakang. Pandangannya jatuh pada Indah, yang duduk termenung, tak memperhatikan Fania dan Haikal yang tengah berlarian mengejar gelembung sabun.Indah menghela napas panjang, seolah beban di dadanya tak kunjung reda.Sejak pertemuan tadi siang, bayangan wajah Esti terus menghantuinya, bukan karena ketakutan, tapi karena kesadaran yang baru tumbuh di dadanya. Kata-kata Esti berulang-ulang memutar di kepalanya, "Mulailah dengan jalan yang benar…”"Aku tadi bertemu dengan Esti, Bu," ucap Indah perlahan. Suaranya seperti seseorang yang baru saja meminum kebenaran yang pahit.Bu Ratna menoleh cepat. "Esti? Istri Haris?"Indah mengangguk pelan."Terus... apa yang terjadi? Apakah ia marah-marah padamu? Berkata yang menyakitimu?" suara Bu Ratna sedikit naik, cemas sekaligus penasaran.Indah menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca."Tidak, Bu. Dia tidak marah. Tidak berteriak. Bahkan tidak

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Minta Maaf

    "Mei, sudah dapat yang mau dibeli?"Suara Esti datang begitu saja, lembut tapi cukup mengagetkan. Ia muncul dari lorong sebelah bersama Ais yang tampak memegang gantungan kunci kelinci. Rupanya mereka berkeliling lebih jauh sementara Mei asyik sendiri.Mei terlonjak sedikit. Ia buru-buru membalikkan tubuh, menyembunyikan gelisah di balik senyum yang dipaksakan."Su… sudah, Bu," jawabnya pelan. Ada jeda dalam suaranya. Gugup.Dan saat itu juga, Indah menoleh.Mata mereka bertemu. Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti berputar. Suara anak-anak, musik dari pengeras suara toko, bahkan tawa Ais, semuanya menghilang dari telinga Mei. Hanya ada sorot mata Indah, yang menatap seolah masih mencoba membaca siapa yang berdiri di hadapannya.Indah tampak terkejut. Dan Esti membeku. Napasnya tertahan ketika pandangannya bertemu dengan perempuan dari masa lalu yang tak pernah ia undang kembali.Tidak ada yang bicara. Tapi udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan kenangan yang tak

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Merindukan Momen

    Haris baru saja memarkir motornya di depan rumah mereka yang sekarang ditempati oleh Esti. Ia membawa satu kantong besar berisi makanan, lauk kesukaan Mei, camilan untuk Ais, dan sekotak ayam bakar untuk Esti, perempuan yang telah menampung luka-lukanya, meski hatinya sendiri juga pernah tersayat oleh masa lalu Haris.Langkahnya pelan menuju pintu. Ia mengatur napas, hendak mengetuk sambil memberi salam.Namun, suara percakapan dari dalam menghentikan niatnya. Suara Esti dan Mei.Haris menajamkan telinga. Mendengar nama itu."Tante Indah.”"Pakaian kurang bahan.""Kalau memang suaminya, pasti laki-laki itu akan melarang Tante Indah."Haris terpaku. Sekujur tubuhnya menegang. Tangannya masih memegang erat plastik makanan yang perlahan mulai berembun. Matanya terpejam sejenak. Rasanya seperti dilempar kembali ke masa yang selama ini ingin ia kubur dalam-dalam.Indah. Nama yang selalu berhasil menyayat hatinya. Nama yang pernah memporak-porandakan rumah tangga mereka. Ia tidak ingin men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status