Share

Menghina Orang Tua

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-28 09:43:13

Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering. Esti masih belum bisa tidur, ia diam pura-pura tidur, ingin tahu bagaimana reaksi Haris. Haris bangun dan meraih ponselnya, ia menatap ke arah Esti. Ia berpikiran kalau Esti sudah tidur.

Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Haris, dengan perlahan ia membuka pesan itu. Jantungnya berdetak dengan kencang membaca pesan itu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Esti. Ia tampak bimbang setelah membaca pesan itu.

Esti tahu kalau Haris gelisah karena Haris tidak bisa diam tubuhnya. Beberapa kali Haris membalikkan badannya.

“Apa yang kamu pikirkan Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kata Esti dalam hati. Ia masih mengamati apa yang akan dilakukan oleh Haris.

Sementara itu, Haris sudah berniat untuk keluar rumah, menemui orang yang mengirim pesan padanya. Haris hendak bangun, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Esti membalikkan badan dan memeluk Haris dari belakang.

“Aduh kenapa Esti malah memelukku?” Haris menjadi kesal.

Esti semakin erat memeluk tubuh Haris, membuat Haris tidak bisa melakukan apa-apa.

“Mas, jangan pergi?” gumam Esti. Ia pura-pura mengigau.

Haris hanya terdiam.

“Suamiku itu setia, nggak mungkin selingkuh.” Lagi-lagi Esti pura-pura mengigau lagi.

“Pasti karena pembicaraan tadi, sampai membuat Esti mengigau,” kata Haris dalam hati.

Esti masih memeluk Haris dari belakang, membuat Haris semakin tidak bisa berkutik. Akhirnya ia pun terlelap dalam tidurnya.

***

“Bu, kayaknya orgen tunggal Cakrawala tampil di pernikahan tetanggaku,” kata Dita, guru sejarah di sekolah tempat Esti bekerja. Ia sengaja ke ruangan Esti untuk menanyakannya.

“O iya, di rumah Pak Amin kan?” sahut Esti. Ia pun menghentikan kegiatan menulisnya.

“Iya. Orgen tunggal Cakrawala sedang naik daun ya, Bu. Pasti jadwal manggungnya padat.”

“Alhamdulillah, seminggu ini manggung dua kali.”

“Biduannya suaranya bagus dan orangnya ramah. Yang nyawer juga banyak, ada Pak Kades, juga tuan rumah. Kemarin saya kan jadi panitia di rumah Pak Amin, jadi ada saya tahu.” Dita menjelaskan.

“Kalau kades ya biasanya memang nyawer, gengsi dong kalau nggak nyawer. Ikut nyanyi nggak Pak kadesnya?” Esti tertawa kecil.

“Iya, lagi dangdut yang gadis atau janda itu lho? Memangnya biduannya janda ya? Ada beberapa orang yang ngomong, kalau suaminya nggak setuju ia jadi biduan. Akhirnya mereka bercerai. Itu kata orang lho Bu.”

“Iya, saya juga dengar kabar itu.”

“Apa Ibu nggak was-was punya biduan yang seksi, bahenol dan kalau ngomong suaranya kayak mendesah gitu.”

Deg! Jantung Esti berdetak dengan kencang. Dita mengamati perubahan ekspresi wajah Esti.

“Maaf, Bu, saya nggak bermaksud jelek lho. Soalnya ada beberapa pemilik orgen tunggal yang ada main dengan biduannya. Tapi saya yakin kalau Pak Haris enggak, beliau tampak setia dengan Bu Esti.”

Esti tersenyum untuk menutupi gundah dihatinya.

“Masuk!” terdengar suara perintah dari luar, membuat Esti dan Dita menoleh ke arah luar. Kemudian masuk Candra, guru piket dengan dua siswi.

“Ada apa Pak Candra?” tanya Esti.

“Mereka berdua berkelahi.”

“Dua perempuan ini? Dimana?”

“Di kelas pas pergantian jam tadi. Guru yang mengajar keluar, guru selanjutnya belum masuk kelas.” Pak Candra menjelaskan.

“Oke, terima kasih.”

Candra pun keluar dari ruangan BK.

“Ada pasien nih, Bu. Saya keluar ya,” kata Dita berpamitan pada Esti. Esti menjawabnya sambil tersenyum.

Esti merupakan guru BK di SMA Negeri 1 di kotanya. Ia sudah cukup senior di sekolah ini, dari pertama SK mengajar turun, ia sudah ditempatkan di sekolah ini.

“Duduk sini,” kata Esti memerintahkan kedua siswi tersebut untuk duduk berhadapan dengannya. Dengan takut-takut dua perempuan ini duduk di kursi.

“Ada masalah apa, kok sampai berkelahi?” tanya Esti dengan suara tenang.

“Dia yang mulai, Bu.”

“Enak aja, kamu tuh yang mulai duluan.”

Kedua siswi tersebut saling menyalahkan.

“Bagaimana Ibu tahu permasalahannya, kalau kalian tidak bisa bergantian berbicara,” kata Esti melerai perdebatan dua perempuan ini. Mereka berdua langsung terdiam.

“Nama kamu siapa? Kelas berapa?” tanya Esti menunjuk siswi yang berwajah sendu, sepertinya baru saja menangis.

“Santi, Bu. Kelas X.2.”

“Kamu?” tunjuk Esti pada siswi yang satunya.

“Winda, X.2.”

“Oke, sekarang Winda cerita dulu.” Esti meminta Winda untuk bercerita duluan.

“Santi mendorong saya, Bu. Untung belakang saja ada dinding, kalau nggak ada pasti saya jatuh ke lantai.” Winda menjelaskan dengan berapi-api.

“Benarkan itu, Santi?” tanya Esti sambil menatap Santi. Santi hanya menganggukkan kepala.

“Kenapa kamu mendorongnya? Kalau sampai terjatuh bisa berbahaya. Nggak mungkin kamu tiba-tiba mendorong Winda kalau tidak ada pemicunya.”

Mata Santi tampak berkaca-kaca.

“Winda menghina ibu saya.” Santi menjawab sambil terisak-isak. Esti menyodorkan tisu yang ada di mejanya, Santi mengambil satu helai tisu dan menghapus air mata yang menetes di pipinya.

“Menghina? Menghina bagaimana?” Esti mengernyitkan dahi.

“Ngatain ibu saya pelakor, merusak rumah tangga orang.”

“Memang pelakor, kan? Biduan kan seperti itu,” ejek Winda.

“Winda! Nggak boleh berkata seperti itu!” Esti mulai kesal.

“Kenyataan kok, Bu.” Winda masih ngotot membenarkan ucapannya.

“Memangnya kamu tahu kalau ibunya Santi seperti itu?” tanya Esti, ia sudah geram dengan tingkah Winda yang seolah-olah paling benar.

“Biduan kan memang suka menggoda suami orang, kemudian selingkuh dengan suami orang,” sahut Winda.

“Tapi ibuku nggak seperti itu!” sanggah Santi.

“Memangnya kamu tahu kelakuan ibumu seperti apa? Nggak tahu, kan? Ibumu itu penggoda suami orang, pantas saja kalau ayahmu menceraikan ibumu!” Winda semakin gencar menghina ibunya Santi.

“Kamu nggak tahu yang sesungguhnya terjadi di keluargaku. Jadi nggak usah sok tahu.” Santi berkata dengan tegas, ia sudah muak dengan Winda.

“Nggak usah belagu kamu, dasar anak biduan murahan.”

“Winda! Jaga ucapanmu!” teriak Esti, ia sudah kesal dengan Winda.

“Ada apa, Bu?” tanya Irfan, guru BK yang baru masuk ke ruangan. Ia pun duduk di kursinya.

Esti menjelaskan duduk permasalahannya, Irfan hanya manggut-manggut.

“Kalian mau diselesaikan nggak permasalahan ini, kalau nggak mau, panggil orang tua kalian,” kata Irfan dengan tegas.

“Mau, Pak.” Santi dan Winda menjawab serentak.

“Kalau mau diselesaikan, dengarkan Bu Esti berbicara. Lanjutkan, Bu.” Irfan melihat ke arah Esti, Esti pun mengangguk. Irfan hanya menjadi pengamat saja.

“Winda, sebenarnya kamu ada masalah apa, kok sampai menghina orang tua Santi?” selidik Esti.

“Nggak ada masalah apa-apa, Bu.” Winda menjawab dengan pelan.

“Nggak mungkin nggak ada masalah, masa kamu tiba-tiba menghina ibunya Santi? Jawab dengan jujur!” tegas Esti.

Winda menunduk tidak menjawab pertanyaan Esti.

“Kalau kamu nggak mau menjawab, ya sudah, masalah ini biar diselesaikan oleh Waka kesiswaan dan kepala sekolah.” Esti berusaha menakuti Winda.

“Santi…”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Arah

    Di dapur yang hangat dan tenang, aroma teh masih menggantung di udara. Erlin sedang membereskan cangkir-cangkir kosong di rak, sementara Esti bersandar di meja, memandangi lantai sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan."Aku masih sering bingung, Erlin. Kadang aku merasa ini semua terlalu rumit untuk diselesaikan."Erlin menoleh, lalu duduk di kursi dekat Esti. "Mbak sudah melakukan banyak hal. Kadang, merelakan ruang itu jauh lebih penting daripada berusaha menyelesaikan semuanya sendiri.”Esti mengangguk pelan. "Ais, dia masih polos. Mudah luluh. Tapi Mei, hatinya keras, dan aku tahu itu karena terlalu lama menahan kecewa.""Mei butuh waktu. Tapi bukan berarti dia tidak ingin didekati. Hanya saja, caranya tidak sama seperti Ais," kata Erlin, menatap wajah Esti yang tampak lelah namun tetap lembut.Esti menarik napas panjang. "Tadi aku lihat Mas Haris senyum-senyum mendengarkan Ais. Tapi matanya kosong. Dia menyesal, Erlin. Tapi entah cukup atau tidak untuk memperbaiki se

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Ada Penyesalan

    “Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Bu Siti pelan, nada suaranya seperti ragu untuk menusuk luka yang belum kering.Haris menunduk. Suaranya berat ketika menjawab, “Aku belum tahu, Bu. Aku bingung.”Dewi, yang sejak tadi bersandar dengan tangan terlipat, langsung menyambar, “Berkas perceraianmu dengan Esti, sudah sampai mana?”“Masih di atasan,” Haris menarik napas panjang. “Prosesnya rumit. Ribet sekali.”Dewi mendengus, lalu bangkit dari duduknya. “Kenapa nggak kamu batalkan saja perceraian itu? Kamu pikir kamu bisa terus hidup kayak begini? Apa kamu rela menghidupi anaknya Indah? Anak yang bahkan bukan dari darahmu sendiri?”Haris terdiam. Kepalanya semakin tertunduk.“Ingat, Haris,” suara Dewi meninggi, penuh emosi. “Indah sudah membohongi kamu. Di saat kamu cinta mati sama dia, dia tidur dengan laki-laki lain. Apa kamu nggak sadar? Dia bukan perempuan baik. Dia perempuan murahan!”Kalimat itu menggantung di udara, berat dan pahit. Bu Siti memejamkan mata sejenak, sementa

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Nasib Apes

    Bu Ratna berdiri dengan tangan terkepal di dada, wajahnya masih merah karena emosi yang belum mereda. Ia memandang ke jalan tempat mobil Haris baru saja menghilang. “Kita sudah memberi dia kesempatan. Tapi dia malah pergi begitu saja, seolah semua ini bukan urusannya.” Bu Ratna berkata dengan penuh kekecewaan. Kemudian ia duduk duduk di bangku kayu dekat pintu, wajahnya sayu dan mata berkaca-kaca. Ia mengusap pelan pipinya yang basah oleh air mata. “Dia juga manusia, penuh kebimbangan. Dia sudah berjuang dengan caranya sendiri.” Pak Burhan berkata dengan tenang, walaupun ia kecewa karena Haris pergi. Bu Ratna menegakkan badan, suaranya naik sedikit,“Berjuang? Apa yang sudah dia perjuangkan? Meninggalkan istrinya menikahi Indah, lalu akhirnya meninggalkan semua begitu saja saat masalah datang? Itu bukan perjuangan, itu lari!” Pak Burhan menghela napas panjang.“Kita ini orang tua. Kita harus bersabar dan menguatkan mereka, bukan malah memecah belah. Indah juga butuh dukungan, buka

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Penyesalan

    Pintu rumah tertutup kembali dengan suara klik yang sunyi. Mesin mobil Haris menghilang di kejauhan. Di ruang tamu, Pak Burhan berdiri membelakangi Indah dan Bu Ratna, wajahnya menegang, kedua tangannya mengepal.Pak Burhan menahan amarah.“Jadi benar semua yang dikatakan Haris? Kamu hamil anak orang lain, dan diam saja? Bahkan setelah dinikahi?!”Indah menunduk dan menangis.“Aku yakin kalau itu anaknya Mas Haris. Aku takut, Ayah, aku takut kehilangan semuanya.”Pak Burhan membalik badan dengan tatapan tajam.“Kamu takut?! Kamu pikir Haris tidak takut? Dia ninggalin istrinya demi kamu! Dan kamu kamu balas dengan kebohongan?”Bu Ratna berusaha menenangkan, berdiri di samping Rina Indah.“Sudahlah, Yah… Jangan keras-keras. Indah pasti punya alasan. Dia itu juga korban.”Pak Burhan mengeras, suaranya naik.“Korban?! Korban dari siapa? Dari dirinya sendiri?! Dia yang memulai semuanya, bohong dari awal, dan sekarang... Haris pergi! Dia mungkin nggak akan pernah balik lagi!”“Aku nggak per

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Hasil Tes DNA

    Haris duduk berseberangan dengan Dokter Fajri, yang memegang amplop tertutup berlogo laboratorium besar. Di samping Haris ada Indah yang duduk dengan wajah tegang, tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Tidak ada yang bicara, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menekan.“Saya tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi hasil ini perlu Bapak dan Ibu ketahui.” Dokter Fajri memulai pembicaraan.Perlahan, ia membuka amplop, mengeluarkan selembar kertas putih dengan cap resmi dan hasil pengujian.Dokter Fajri membaca tenang.“Hasil tes DNA menunjukkan bahwa bayi ini adalah anak biologis Ibu Indah namun tidak memiliki kecocokan genetik dengan Bapak Haris.”Suasana hening, tidak ada yang bicara.Indah menunduk, air mata mulai mengalir. Haris tak bergerak sedikit pun. Matanya kosong, namun di dalam dadanya, badai bergemuruh.“Saya paham ini sangat berat. Tapi yang paling penting sekarang adalah memikirkan kondisi bayi. Dan keputusan kedepannya.”***Haris berdiri di jendela kamar, me

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Tes DNA

    Cahaya putih steril menyelimuti ruangan laboratorium kecil itu. Bau alkohol medis menyengat. Perawat Mia sedang menyiapkan alat-alat: tabung vakutainer, kapas alkohol, jarum suntik, dan formulir identitas.Di hadapannya, Haris dan Indah duduk berdampingan. Suasana kaku, tak ada kata yang keluar selama beberapa menit selain bunyi peralatan medis dan detak jarum jam.Perawat Mia dengan suara lembut membuka percakapan.“Baik, kita akan ambil sampel darah dari Bapak dan Ibu. Juga dari bayi. Hasilnya akan keluar dalam beberapa hari.”Haris hanya mengangguk, matanya tajam menatap ke depan, menahan kekacauan di pikirannya. Indah tampak gelisah, tangannya gemetar di pangkuannya.“Saya mulai dari Bapak, ya,” kata Mia sambil mengikat lengan Haris dengan torniket,“Silakan kepalkan tangan.”“Ini akan menentukan segalanya, ya?” Suara Haris terdengar datar, ia menatap lurus ke depan.“Yang pasti, ini akan memberi kejelasan.” Mia berusaha untuk tetap netral.Jarum menusuk kulit Haris. Setetes darah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status