Drtt…drtt… Terdengar suara ponsel Haris berdering. Esti masih belum bisa tidur, ia diam pura-pura tidur, ingin tahu bagaimana reaksi Haris. Haris bangun dan meraih ponselnya, ia menatap ke arah Esti. Ia berpikiran kalau Esti sudah tidur.
Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Haris, dengan perlahan ia membuka pesan itu. Jantungnya berdetak dengan kencang membaca pesan itu. Kemudian ia merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Esti. Ia tampak bimbang setelah membaca pesan itu. Esti tahu kalau Haris gelisah karena Haris tidak bisa diam tubuhnya. Beberapa kali Haris membalikkan badannya. “Apa yang kamu pikirkan Mas? Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” kata Esti dalam hati. Ia masih mengamati apa yang akan dilakukan oleh Haris. Sementara itu, Haris sudah berniat untuk keluar rumah, menemui orang yang mengirim pesan padanya. Haris hendak bangun, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Esti membalikkan badan dan memeluk Haris dari belakang. “Aduh kenapa Esti malah memelukku?” Haris menjadi kesal. Esti semakin erat memeluk tubuh Haris, membuat Haris tidak bisa melakukan apa-apa. “Mas, jangan pergi?” gumam Esti. Ia pura-pura mengigau. Haris hanya terdiam. “Suamiku itu setia, nggak mungkin selingkuh.” Lagi-lagi Esti pura-pura mengigau lagi. “Pasti karena pembicaraan tadi, sampai membuat Esti mengigau,” kata Haris dalam hati. Esti masih memeluk Haris dari belakang, membuat Haris semakin tidak bisa berkutik. Akhirnya ia pun terlelap dalam tidurnya. *** “Bu, kayaknya orgen tunggal Cakrawala tampil di pernikahan tetanggaku,” kata Dita, guru sejarah di sekolah tempat Esti bekerja. Ia sengaja ke ruangan Esti untuk menanyakannya. “O iya, di rumah Pak Amin kan?” sahut Esti. Ia pun menghentikan kegiatan menulisnya. “Iya. Orgen tunggal Cakrawala sedang naik daun ya, Bu. Pasti jadwal manggungnya padat.” “Alhamdulillah, seminggu ini manggung dua kali.” “Biduannya suaranya bagus dan orangnya ramah. Yang nyawer juga banyak, ada Pak Kades, juga tuan rumah. Kemarin saya kan jadi panitia di rumah Pak Amin, jadi ada saya tahu.” Dita menjelaskan. “Kalau kades ya biasanya memang nyawer, gengsi dong kalau nggak nyawer. Ikut nyanyi nggak Pak kadesnya?” Esti tertawa kecil. “Iya, lagi dangdut yang gadis atau janda itu lho? Memangnya biduannya janda ya? Ada beberapa orang yang ngomong, kalau suaminya nggak setuju ia jadi biduan. Akhirnya mereka bercerai. Itu kata orang lho Bu.” “Iya, saya juga dengar kabar itu.” “Apa Ibu nggak was-was punya biduan yang seksi, bahenol dan kalau ngomong suaranya kayak mendesah gitu.” Deg! Jantung Esti berdetak dengan kencang. Dita mengamati perubahan ekspresi wajah Esti. “Maaf, Bu, saya nggak bermaksud jelek lho. Soalnya ada beberapa pemilik orgen tunggal yang ada main dengan biduannya. Tapi saya yakin kalau Pak Haris enggak, beliau tampak setia dengan Bu Esti.” Esti tersenyum untuk menutupi gundah dihatinya. “Masuk!” terdengar suara perintah dari luar, membuat Esti dan Dita menoleh ke arah luar. Kemudian masuk Candra, guru piket dengan dua siswi. “Ada apa Pak Candra?” tanya Esti. “Mereka berdua berkelahi.” “Dua perempuan ini? Dimana?” “Di kelas pas pergantian jam tadi. Guru yang mengajar keluar, guru selanjutnya belum masuk kelas.” Pak Candra menjelaskan. “Oke, terima kasih.” Candra pun keluar dari ruangan BK. “Ada pasien nih, Bu. Saya keluar ya,” kata Dita berpamitan pada Esti. Esti menjawabnya sambil tersenyum. Esti merupakan guru BK di SMA Negeri 1 di kotanya. Ia sudah cukup senior di sekolah ini, dari pertama SK mengajar turun, ia sudah ditempatkan di sekolah ini. “Duduk sini,” kata Esti memerintahkan kedua siswi tersebut untuk duduk berhadapan dengannya. Dengan takut-takut dua perempuan ini duduk di kursi. “Ada masalah apa, kok sampai berkelahi?” tanya Esti dengan suara tenang. “Dia yang mulai, Bu.” “Enak aja, kamu tuh yang mulai duluan.” Kedua siswi tersebut saling menyalahkan. “Bagaimana Ibu tahu permasalahannya, kalau kalian tidak bisa bergantian berbicara,” kata Esti melerai perdebatan dua perempuan ini. Mereka berdua langsung terdiam. “Nama kamu siapa? Kelas berapa?” tanya Esti menunjuk siswi yang berwajah sendu, sepertinya baru saja menangis. “Santi, Bu. Kelas X.2.” “Kamu?” tunjuk Esti pada siswi yang satunya. “Winda, X.2.” “Oke, sekarang Winda cerita dulu.” Esti meminta Winda untuk bercerita duluan. “Santi mendorong saya, Bu. Untung belakang saja ada dinding, kalau nggak ada pasti saya jatuh ke lantai.” Winda menjelaskan dengan berapi-api. “Benarkan itu, Santi?” tanya Esti sambil menatap Santi. Santi hanya menganggukkan kepala. “Kenapa kamu mendorongnya? Kalau sampai terjatuh bisa berbahaya. Nggak mungkin kamu tiba-tiba mendorong Winda kalau tidak ada pemicunya.” Mata Santi tampak berkaca-kaca. “Winda menghina ibu saya.” Santi menjawab sambil terisak-isak. Esti menyodorkan tisu yang ada di mejanya, Santi mengambil satu helai tisu dan menghapus air mata yang menetes di pipinya. “Menghina? Menghina bagaimana?” Esti mengernyitkan dahi. “Ngatain ibu saya pelakor, merusak rumah tangga orang.” “Memang pelakor, kan? Biduan kan seperti itu,” ejek Winda. “Winda! Nggak boleh berkata seperti itu!” Esti mulai kesal. “Kenyataan kok, Bu.” Winda masih ngotot membenarkan ucapannya. “Memangnya kamu tahu kalau ibunya Santi seperti itu?” tanya Esti, ia sudah geram dengan tingkah Winda yang seolah-olah paling benar. “Biduan kan memang suka menggoda suami orang, kemudian selingkuh dengan suami orang,” sahut Winda. “Tapi ibuku nggak seperti itu!” sanggah Santi. “Memangnya kamu tahu kelakuan ibumu seperti apa? Nggak tahu, kan? Ibumu itu penggoda suami orang, pantas saja kalau ayahmu menceraikan ibumu!” Winda semakin gencar menghina ibunya Santi. “Kamu nggak tahu yang sesungguhnya terjadi di keluargaku. Jadi nggak usah sok tahu.” Santi berkata dengan tegas, ia sudah muak dengan Winda. “Nggak usah belagu kamu, dasar anak biduan murahan.” “Winda! Jaga ucapanmu!” teriak Esti, ia sudah kesal dengan Winda. “Ada apa, Bu?” tanya Irfan, guru BK yang baru masuk ke ruangan. Ia pun duduk di kursinya. Esti menjelaskan duduk permasalahannya, Irfan hanya manggut-manggut. “Kalian mau diselesaikan nggak permasalahan ini, kalau nggak mau, panggil orang tua kalian,” kata Irfan dengan tegas. “Mau, Pak.” Santi dan Winda menjawab serentak. “Kalau mau diselesaikan, dengarkan Bu Esti berbicara. Lanjutkan, Bu.” Irfan melihat ke arah Esti, Esti pun mengangguk. Irfan hanya menjadi pengamat saja. “Winda, sebenarnya kamu ada masalah apa, kok sampai menghina orang tua Santi?” selidik Esti. “Nggak ada masalah apa-apa, Bu.” Winda menjawab dengan pelan. “Nggak mungkin nggak ada masalah, masa kamu tiba-tiba menghina ibunya Santi? Jawab dengan jujur!” tegas Esti. Winda menunduk tidak menjawab pertanyaan Esti. “Kalau kamu nggak mau menjawab, ya sudah, masalah ini biar diselesaikan oleh Waka kesiswaan dan kepala sekolah.” Esti berusaha menakuti Winda. “Santi…”Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Indah duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Haikal dan Fania masih tertidur, Bu Ratna sibuk menyapu halaman, dan suasana rumah cukup tenang untuknya mencoba sesuatu yang sejak tadi malam terus ia pikirkan.Ia membuka aplikasi catatan yang semalam ditulisnya. Tangan kanannya berkeringat, dan jantungnya berdetak tak karuan."Mulai dari suara dulu. Jangan takut."Ia membaca ulang kalimat itu, seperti mantra yang menenangkan.Dengan perlahan, ia menyiapkan botol skincare yang tadi malam ia lihat banyak dijual orang-orang di media sosial.Kebetulan ia memakai produk itu. Lalu, ia letakkan botol itu di atas meja kayu yang ia bersihkan khusus pagi ini. Cahaya matahari yang masuk dari jendela membuat produk itu terlihat bersih dan segar.Ia mengatur ponselnya di atas tumpukan buku, mencoba mencari sudut terbaik. Lalu, menekan tombol rekam suara."Halo, Kak... Aku mau ngenalin produk yang bikin kulit glowing dan lembap seharian..."Suara it
Tangis Indah pecah begitu pintu rumah tertutup kembali. Suara langkah Gina dan ibunya masih terngiang di benaknya, seperti gema yang tak mau pergi. Ia terduduk di lantai ruang tamu, wajahnya ditutupi kedua tangan yang gemetar. Air mata jatuh satu per satu, seolah mewakili rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam.Hari ini, Gina, istri Pratama, datang bukan sebagai tamu biasa. Ia datang membawa luka, amarah yang ditahan, dan permintaan yang mengguncang hati Indah."Tolong, jauhi suamiku. Aku mohon..."Kata-kata itu masih terngiang jelas. Lembut, tapi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tidak ada makian. Hanya mata yang sembab dan suara yang nyaris pecah.Tak lama setelah mereka pergi, Indah menoleh ke arah ibunya yang berdiri mematung di depan pintu kamar. Wajah Bu Ratna datar, tapi mata tuanya menyimpan kecewa yang dalam.“Begitu hinakah seorang biduan, Bu?” tanya Indah lirih, nyaris seperti bisikan di antara isaknya.Bu Ratna menarik napas panjang sebelum duduk di samping
Pagi itu, matahari menembus sela tirai, menyinari ruang makan kecil yang sederhana.Indah duduk di lantai beralaskan tikar lusuh, menyuapi Haikal yang baru delapan bulan.“Ini suapan buat adek, ya… Nih, aaaa..”Haikal membuka mulut kecilnya, lalu tertawa sambil mengeluarkan suara khas bayi yang belum berbicara.“Hmmmhh… ahh… euhh…”Indah ikut tertawa, matanya berbinar. Sekejap, semua beban terasa jauh.Anak itu, meski belum bisa bicara, selalu tahu cara membuat ibunya bertahan.Tiba-tiba, Tok tok tok.Suara ketukan di pintu membuat Indah dan Bu Ratna, ibunya, saling melirik.“Biar Ibu yang buka.”Bu Ratna bangkit perlahan dari tikar, merapikan kerudung yang setengah tergeser, lalu berjalan ke arah pintu depan.Saat pintu dibuka, dua perempuan berdiri di ambang. Yang satu setengah baya, dengan sorot mata tajam dan ekspresi penuh kontrol.Yang satu lagi, lebih muda, mungkin sebaya dengan Indah. Matanya memindai isi rumah, lalu berhenti pada suara lenguhan Haikal dari dalam.“Cari siapa,
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bu Ratna dengan suara lembut, sambil duduk di bangku panjang taman belakang. Pandangannya jatuh pada Indah, yang duduk termenung, tak memperhatikan Fania dan Haikal yang tengah berlarian mengejar gelembung sabun.Indah menghela napas panjang, seolah beban di dadanya tak kunjung reda.Sejak pertemuan tadi siang, bayangan wajah Esti terus menghantuinya, bukan karena ketakutan, tapi karena kesadaran yang baru tumbuh di dadanya. Kata-kata Esti berulang-ulang memutar di kepalanya, "Mulailah dengan jalan yang benar…”"Aku tadi bertemu dengan Esti, Bu," ucap Indah perlahan. Suaranya seperti seseorang yang baru saja meminum kebenaran yang pahit.Bu Ratna menoleh cepat. "Esti? Istri Haris?"Indah mengangguk pelan."Terus... apa yang terjadi? Apakah ia marah-marah padamu? Berkata yang menyakitimu?" suara Bu Ratna sedikit naik, cemas sekaligus penasaran.Indah menggeleng pelan. Matanya mulai berkaca-kaca."Tidak, Bu. Dia tidak marah. Tidak berteriak. Bahkan tidak
"Mei, sudah dapat yang mau dibeli?"Suara Esti datang begitu saja, lembut tapi cukup mengagetkan. Ia muncul dari lorong sebelah bersama Ais yang tampak memegang gantungan kunci kelinci. Rupanya mereka berkeliling lebih jauh sementara Mei asyik sendiri.Mei terlonjak sedikit. Ia buru-buru membalikkan tubuh, menyembunyikan gelisah di balik senyum yang dipaksakan."Su… sudah, Bu," jawabnya pelan. Ada jeda dalam suaranya. Gugup.Dan saat itu juga, Indah menoleh.Mata mereka bertemu. Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti berputar. Suara anak-anak, musik dari pengeras suara toko, bahkan tawa Ais, semuanya menghilang dari telinga Mei. Hanya ada sorot mata Indah, yang menatap seolah masih mencoba membaca siapa yang berdiri di hadapannya.Indah tampak terkejut. Dan Esti membeku. Napasnya tertahan ketika pandangannya bertemu dengan perempuan dari masa lalu yang tak pernah ia undang kembali.Tidak ada yang bicara. Tapi udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan kenangan yang tak
Haris baru saja memarkir motornya di depan rumah mereka yang sekarang ditempati oleh Esti. Ia membawa satu kantong besar berisi makanan, lauk kesukaan Mei, camilan untuk Ais, dan sekotak ayam bakar untuk Esti, perempuan yang telah menampung luka-lukanya, meski hatinya sendiri juga pernah tersayat oleh masa lalu Haris.Langkahnya pelan menuju pintu. Ia mengatur napas, hendak mengetuk sambil memberi salam.Namun, suara percakapan dari dalam menghentikan niatnya. Suara Esti dan Mei.Haris menajamkan telinga. Mendengar nama itu."Tante Indah.”"Pakaian kurang bahan.""Kalau memang suaminya, pasti laki-laki itu akan melarang Tante Indah."Haris terpaku. Sekujur tubuhnya menegang. Tangannya masih memegang erat plastik makanan yang perlahan mulai berembun. Matanya terpejam sejenak. Rasanya seperti dilempar kembali ke masa yang selama ini ingin ia kubur dalam-dalam.Indah. Nama yang selalu berhasil menyayat hatinya. Nama yang pernah memporak-porandakan rumah tangga mereka. Ia tidak ingin men