Share

Istri Siri Hamil

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2024-01-27 15:57:59

              “Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah.

                “Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman.

                “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra.

                “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka.

                “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada.

                “Iya, Ma. Apalagi yang bawang gorengnya banyak, bisa tambah dua centong nasi,” kekeh Rajendra.

                “Bagus dong, makan banyak juga perlu karena kalian mengeluarkan banyak energi tenaga dan pikiran dalam pekerjaan. Yuk makan mumpung masih hangat.” Mama menggiring anak dan menantunya masuk ke ruang makan.

                Yudith, suami dan mama makan dengan tenang dan hangat. Sesekali terdengar suara mama meminta Yudith lebih perhatikan asupan makanan Rajendra dan mulai belajar membuat semur daging kesukaan suami. Yudith mengangguk dengan senyuman manis, mengiyakan permintaan mama adalah yang paling aman bagi mereka berdua walau dalam hati kecil Yudith sangat sedih melihat bagaimana perlakuan lembut mamanya pada Rajendra yang hanya sedang memainkan sandiwara pernikahan bahagia dengannya.

                “Proyek dengan PT Comindo lancar, Jendra?” Mama membuka percakapan setelah mereka menyelesaikan makan siang dan tengah duduk bersantai di ruang keluarga.

                “Lancar Ma, hanya saja aku jadi lebih panjang jam di kantor. Kasihan Yudith di rumah sendirian saat aku harus lembur.” Rajendra merangkul bahu Yudith di sampingnya dan mendaratkan kecupan lembut pada kepala sang istri.

                “Syukurlah ... Mama bahagia melihat kalian rukun. Semuanya memang butuh proses, saling mengenal setelah menikah tidak selalu buruk bukan? Mama jadi tenang menikahkan kalian.” Mama memberikan tatap terharu pada anak dan menantunya.

                “Doakan kami ya Ma, Yudith belum sepenuhnya cinta sama aku. Dia seleranya tinggi sekali,” kelakar Rajendra membuat mama juga tertawa mengangguk.

                Yudith merasa amat mual dengan semua sikap lembut dan ucapan manis suaminya di depan sang mama. Akan tetapi ia tidak dapat menunjukkannya sampai nanti akhirnya ia bercerai dan masih sangat lama.

                “Besok pagi-pagi sekali kita pulang ya. Kamu bisa bilang kalau kita mau mendatangi undangan salah satu klien aku.” Rajendra berucap dengan menenggelamkan wajah pada bantal di kamar Yudith di rumahnya.

                “Kamu harusnya tidak perlu sampai berkata seperti tadi ke mama. Kamu membohongi mama,” tukas Yudith.

                “Dari awal pernikahan sudah bohong bukan? kamu mau aku berterus terang dan buat mama kamu jantungan? Apa yang aku lakukan menyempurnakan sandiwara bukan? kamu bukannya berterima kasih sama aku karena akting aku hebat. Malah protes, lain kali kamu bisa ke sini sendiri saja jangan seret aku kalau enggak mau berpura-pura.” Rajendra langsung menyerocos panjang tidak terima di salahkan.

                “Aku tahu maksud kamu, tapi tidak perlu sampai berlebihan. Jatuhnya kita mempermainkan orang tua kita, secukupnya saja kalau bersikap. Aku tidak ingin menyakiti mama lebih dalam,” lirih Yudith.

Rajendra mendengus. “Astaga kamu banyak sekali protesnya. Aku mau tidur sana jangan ganggu, harusnya libur begini aku tidur seharian malah di seret ke sini, disalahkan pula. Kamu itu enggak tahu terima kasih deh.”

                Yudith memejamkan mata mencoba mengulur sabarnya yang terasa bersisa lembaran tipis. Ia bisa saja mendebat suaminya dengan kencang, tapi ia sungguh tidak ingin mamanya mengendus lebih cepat rencana yang sudah ia susun sembilan bulan ke depan.

                “Kamu belum periksa? aku sangat yakin bisa menghamili perempuan dengan sekali hubungan.” Rajendra melayangkan pertanyaan setelah kembali ke kediaman mereka dan hendak kembali ke rumah Clara.

                “Belum, aku datang bulan kemarin. Kamu tidak perlu memikirkan itu, tugas kamu sudah selesai mengenai itu.” Yudith menjawab dengan raut wajah datar.

Rajendra berdecap. “Memang bukan urusan aku kamu hamil atau enggak. Aku hanya tidak ingin disebut tidak jantan setelah perceraian kita nanti karena kamu belum hamil juga.”

                “Hamil adalah kontribusi dua pihak, tidak bisa hanya menyalahkan pihak wanita. Apa kamu yakin kamu sehebat itu?” Yudith gerah terus disudutkan sejak ke rumah mamanya, kini hanya ada mereka berdua maka ia akan menjawab tentu saja.

                “Kamu meragukan kualitas spe**a aku? wah penghinaan itu namanya. Kamu saja yang tidak dalam masa subuh pas kita melakukannya. Kamu mau membuktikannya sekarang?” Seringai lebar Rajendra seraya berjalan mendekati Yudith.

                “Tidak terima kasih,” tolak Yudith

                “Dasar munafik, kamu bahkan menikmatinya bukan? jangan pura-pura lupa. Sudahlah capek aku bicara sama kamu. Kepala batu.” Rajendra menyambar kunci mobil dan berlalu meninggalkan Yudith yang memejamkan mata menahan kesal.

                Baru satu bulan dan Yudith sudah sangat gerah dengan semua ucapan kasar suami padanya. Bahkan semenjak pernikahan mereka satu bulan lalu, tidak satu rupiah pun Yudith terima sebagai nafkah dari Rajendra. Yudith berkecukupan tentu saja, namun Rajendra sangat keterlaluan menurutnya. Suaminya hanya memakai cincin pernikahan mereka saat ada mama atau ibunya saja. Selain itu tidak pernah ia pakai.

                “Bisa kita bertemu?” Sebuah panggilan dari Clara terpaksa ia angkat setelah berdering berkali-kali dan ia hanya diamkan.

                “Buat apa, jika masih urusan yang sama. Kamu tenang saja sisa tujuh bulan sepuluh hari kami akan bercerai.” Yudith tidak ingin berlama-lama bicara mengenai masalah itu-itu saja.

                “Bukan ... kita harus bertemu dulu. Ini sangat penting, terserah kamu mau di mana saja aku akan datang. Tolong aku Yudith, hanya kamu yang bisa menolong aku.” Suara Clara terdengar serak di telinga Yudith.

                “Sory aku enggak bisa.” Yudith langsung mematikan panggilan.

                Belajar dari pengalaman terdahulu, ia tidak ingin hanya menjadi olok-olokan Clara dan suaminya yang tidak memiliki perasan. Hal teramat menyebalkan adalah saat waktu menunjukkan pukul tujuh malam, pintu rumahnya terdengar bel ditekan. Yudith mengerutkan kening, siapa tamunya di rumah baru? Ia bahkan belum mengenal tetangga rumah karena lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan di dalam rumah jika libur bekerja. Yudith membuka pintu yang kembali berdentang.

                “Mau apa kamu ke sini? sudah aku bilang jangan lagi menemui aku apa pun alasannya,” sentak Yudith begitu melihat tamunya, Clara.

                “Yudith ... tolong aku bisa dibunuh Rajendra ... aku ... hamil .... “

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Paripurna Sempurna

    “Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Gaun Merah

    “Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kemesraan Hangat

    “Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kilat Cemburu

    “Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Angker

    “Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Serangan Lanjutan

    “Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status