“Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah.
“Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman. “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra. “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka. “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada. “Iya, Ma. Apalagi yang bawang gorengnya banyak, bisa tambah dua centong nasi,” kekeh Rajendra. “Bagus dong, makan banyak juga perlu karena kalian mengeluarkan banyak energi tenaga dan pikiran dalam pekerjaan. Yuk makan mumpung masih hangat.” Mama menggiring anak dan menantunya masuk ke ruang makan. Yudith, suami dan mama makan dengan tenang dan hangat. Sesekali terdengar suara mama meminta Yudith lebih perhatikan asupan makanan Rajendra dan mulai belajar membuat semur daging kesukaan suami. Yudith mengangguk dengan senyuman manis, mengiyakan permintaan mama adalah yang paling aman bagi mereka berdua walau dalam hati kecil Yudith sangat sedih melihat bagaimana perlakuan lembut mamanya pada Rajendra yang hanya sedang memainkan sandiwara pernikahan bahagia dengannya. “Proyek dengan PT Comindo lancar, Jendra?” Mama membuka percakapan setelah mereka menyelesaikan makan siang dan tengah duduk bersantai di ruang keluarga. “Lancar Ma, hanya saja aku jadi lebih panjang jam di kantor. Kasihan Yudith di rumah sendirian saat aku harus lembur.” Rajendra merangkul bahu Yudith di sampingnya dan mendaratkan kecupan lembut pada kepala sang istri. “Syukurlah ... Mama bahagia melihat kalian rukun. Semuanya memang butuh proses, saling mengenal setelah menikah tidak selalu buruk bukan? Mama jadi tenang menikahkan kalian.” Mama memberikan tatap terharu pada anak dan menantunya. “Doakan kami ya Ma, Yudith belum sepenuhnya cinta sama aku. Dia seleranya tinggi sekali,” kelakar Rajendra membuat mama juga tertawa mengangguk. Yudith merasa amat mual dengan semua sikap lembut dan ucapan manis suaminya di depan sang mama. Akan tetapi ia tidak dapat menunjukkannya sampai nanti akhirnya ia bercerai dan masih sangat lama. “Besok pagi-pagi sekali kita pulang ya. Kamu bisa bilang kalau kita mau mendatangi undangan salah satu klien aku.” Rajendra berucap dengan menenggelamkan wajah pada bantal di kamar Yudith di rumahnya. “Kamu harusnya tidak perlu sampai berkata seperti tadi ke mama. Kamu membohongi mama,” tukas Yudith. “Dari awal pernikahan sudah bohong bukan? kamu mau aku berterus terang dan buat mama kamu jantungan? Apa yang aku lakukan menyempurnakan sandiwara bukan? kamu bukannya berterima kasih sama aku karena akting aku hebat. Malah protes, lain kali kamu bisa ke sini sendiri saja jangan seret aku kalau enggak mau berpura-pura.” Rajendra langsung menyerocos panjang tidak terima di salahkan. “Aku tahu maksud kamu, tapi tidak perlu sampai berlebihan. Jatuhnya kita mempermainkan orang tua kita, secukupnya saja kalau bersikap. Aku tidak ingin menyakiti mama lebih dalam,” lirih Yudith.Rajendra mendengus. “Astaga kamu banyak sekali protesnya. Aku mau tidur sana jangan ganggu, harusnya libur begini aku tidur seharian malah di seret ke sini, disalahkan pula. Kamu itu enggak tahu terima kasih deh.” Yudith memejamkan mata mencoba mengulur sabarnya yang terasa bersisa lembaran tipis. Ia bisa saja mendebat suaminya dengan kencang, tapi ia sungguh tidak ingin mamanya mengendus lebih cepat rencana yang sudah ia susun sembilan bulan ke depan. “Kamu belum periksa? aku sangat yakin bisa menghamili perempuan dengan sekali hubungan.” Rajendra melayangkan pertanyaan setelah kembali ke kediaman mereka dan hendak kembali ke rumah Clara. “Belum, aku datang bulan kemarin. Kamu tidak perlu memikirkan itu, tugas kamu sudah selesai mengenai itu.” Yudith menjawab dengan raut wajah datar.Rajendra berdecap. “Memang bukan urusan aku kamu hamil atau enggak. Aku hanya tidak ingin disebut tidak jantan setelah perceraian kita nanti karena kamu belum hamil juga.” “Hamil adalah kontribusi dua pihak, tidak bisa hanya menyalahkan pihak wanita. Apa kamu yakin kamu sehebat itu?” Yudith gerah terus disudutkan sejak ke rumah mamanya, kini hanya ada mereka berdua maka ia akan menjawab tentu saja. “Kamu meragukan kualitas spe**a aku? wah penghinaan itu namanya. Kamu saja yang tidak dalam masa subuh pas kita melakukannya. Kamu mau membuktikannya sekarang?” Seringai lebar Rajendra seraya berjalan mendekati Yudith. “Tidak terima kasih,” tolak Yudith “Dasar munafik, kamu bahkan menikmatinya bukan? jangan pura-pura lupa. Sudahlah capek aku bicara sama kamu. Kepala batu.” Rajendra menyambar kunci mobil dan berlalu meninggalkan Yudith yang memejamkan mata menahan kesal. Baru satu bulan dan Yudith sudah sangat gerah dengan semua ucapan kasar suami padanya. Bahkan semenjak pernikahan mereka satu bulan lalu, tidak satu rupiah pun Yudith terima sebagai nafkah dari Rajendra. Yudith berkecukupan tentu saja, namun Rajendra sangat keterlaluan menurutnya. Suaminya hanya memakai cincin pernikahan mereka saat ada mama atau ibunya saja. Selain itu tidak pernah ia pakai. “Bisa kita bertemu?” Sebuah panggilan dari Clara terpaksa ia angkat setelah berdering berkali-kali dan ia hanya diamkan. “Buat apa, jika masih urusan yang sama. Kamu tenang saja sisa tujuh bulan sepuluh hari kami akan bercerai.” Yudith tidak ingin berlama-lama bicara mengenai masalah itu-itu saja. “Bukan ... kita harus bertemu dulu. Ini sangat penting, terserah kamu mau di mana saja aku akan datang. Tolong aku Yudith, hanya kamu yang bisa menolong aku.” Suara Clara terdengar serak di telinga Yudith. “Sory aku enggak bisa.” Yudith langsung mematikan panggilan. Belajar dari pengalaman terdahulu, ia tidak ingin hanya menjadi olok-olokan Clara dan suaminya yang tidak memiliki perasan. Hal teramat menyebalkan adalah saat waktu menunjukkan pukul tujuh malam, pintu rumahnya terdengar bel ditekan. Yudith mengerutkan kening, siapa tamunya di rumah baru? Ia bahkan belum mengenal tetangga rumah karena lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan di dalam rumah jika libur bekerja. Yudith membuka pintu yang kembali berdentang. “Mau apa kamu ke sini? sudah aku bilang jangan lagi menemui aku apa pun alasannya,” sentak Yudith begitu melihat tamunya, Clara. “Yudith ... tolong aku bisa dibunuh Rajendra ... aku ... hamil .... ““Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran. “Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian
“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki
“Pesan hotel sana kalian berdua, astaga.” Suara tawa membahana mengakhiri jalinan bibir keduanya yang semakin intens. Rajendra terkekeh saat Yudith mendorong dadanya begitu suara menggema Galuh terdengar mereka berdua. Yudith mengumpat dalam hati saat suami menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Menyembunyikan wajah merah padamnya yang ketahuan menikmati ciuman dalam Rajendra tanpa ia sadari. Sungguh sangat memalukan ia habis mendebat semua perkataan menyudutkan Rajendra, namun bibirnya malah menikmati ciuman lembut nan lihai si berengsek. “Ada apa, Bang? aduh ganggu saja elu Bang, padahal lagi di puncak,” kelakar Rajendra mendapat cubitan maut dari Yudith pada pahanya. Yudith berdehem sekali melepas dekapan suami dengan wajah masih merah padam memberi jarak duduk mereka yang bahkan sangat melekat satu sama lain. “Yaelah Dek, habis menikmati kok di siksa suaminya. Maaf ya memutus aktivitas panas kalian. Sum