“Ada tamu? Siapa? saya enggak ada janji.” Yudith mengerutkan kening saat asistennya mengatakan ada tamu di lobi bawah kantornya dan mencari dirinya.
“Ibu Clara Amelia katanya, Bu,” jawab sang asisten. Yudith melebarkan mata mendengar sebuah nama yang haram hukumnya ia sebut, mendatangi kantornya. Apakah wanita itu sudah gila sampai berani sekali menemuinya. Apakah Rajendra tahu jika Clara berada di kantornya. Terlalu banyak pertanyaan dalam benak Yudith namun apa pun alasan kedatangan istri pertama suaminya tersebut, ia harus segera menyeret keluar agar tidak ada satu pun mencurigai. “Ikut saya ke luar.” Yudith berbisik saat berhadapan dengan wanita cantik jelita dengan heels tinggi menjulang. Clara hari itu mengenakan celana pensil membungkus kaki jenjangnya, beserta blus berkerah pendek tanpa lengan. Rambut hitam legam panjangnya tergerai indah sampai punggung. Melangkah anggun di belakang Yudith dengan pakaian kerja semi formalnya. “Kenapa jauh sekali sih, memangnya kantor kamu enggak punya tempat duduk?” Protes Clara. “Itu di depan ada tempat mengopi.” Yudith menjawab tanpa menoleh ke belakang. Yudith mendengar dengus kencang di balik punggungnya, namun ia tidak hiraukan. Memilih tempat duduk yang tidak terlihat dari pintu masuk, Yudith duduk dengan tenang. Tangannya bergerak cepat mengetik di ponselnya sebelum mengangkat pandangan ke arah lawan bicaranya. “Ada apa sampai ke kantor saya?” Yudith langsung melayangkan pertanyaan setelah melihat Clara selesai memesan sebuah minuman sementara ia enggan memesan apa-apa.Clara berdecap sebal. “Kamu enggak bisa basa-basi ya, bukankah ini pertama kalinya kita bicara?” “Basa-basi untuk apa? saya enggak ada urusannya sama kamu, bukan?” Yudith menjawab malas. “Tentu saja ada. Ok mari berhenti beramah-tamah sama kamu, karena kamu sepertinya cukup menyebalkan. Apa kamu sudah hamil?” Clara to the point bertanya pada Yudith “Kamu tidak ada wewenang bertanya apa saya sudah hamil atau belum. Jadi itu maksud tujuan kamu ke sini?” Yudith tidak akan menjawab pertanyaan Clara. “Kamu harus jawab karena jawaban kamu adalah salah satu kunci masa depan saya. Kalau kamu hamil ... kan cepat itu urusan kamu sama suami aku selesai. Aku sudah kesal saja tiap minggu ditinggal untuk pulang ke rumah kamu itu. Padahal juga di rumah kamu pasti hanya tidur kan? lagian kenapa sih orang tua kamu harus datang tiap minggu padahal jelas kamu bukan anak-anak yang butuh disuapi.” Sindiran Clara membuat Yudith meremas kuat celana bagian pahanya yang tertutup meja besi. “Bukankah harusnya SUAMI saya sudah memberikan kamu informasi yang akurat? Jika kamu masih datang menemui saya dan menanyakan hal ini. Maka saya jadi ragu, benarkah mas Rajendra seterbuka itu sama kamu? Atau banyak hal yang dia sembunyikan dari kamu? kalian tinggal bersama selama enam hari dalam seminggu?” Yudith dengan hati sakit masih dapat terlihat tenang saat memberikan pukulan balik pada wanita berbibir merah merona di depannya. Dengusan kencang kembali terdengar pada telinga Yudith, ia menyunggingkan senyum kemenangan karena membuat Clara diam dalam sekejap. Namun prediksi Yudith kurang tepat, ia berpikir Clara akan berhenti, rupanya justru wanita dengan liontin tetesan air tersebut menyeringai untuk melempar tembakan menyakitkan kembali pada Yudith. “Jangan merasa spesial, Yudith. Rajendra hanya bertugas membuat kamu hamil lalu menceraikan kamu setelah melahirkan. Kamu hanya batu sandungan bagi hubungan kita. Rajendra jelas menikahi kamu karena mamanya yang sakit-sakitan, dia tidak pernah mencintai kamu apalagi menginginkan kamu. Apa dia menyebut nama kamu saat kalian bercinta?” Seringai lebar terlukis dari bibir Clara. Yudith semakin kencang mengepalkan tangannya di bawah meja, apakah suaminya sampai menceritakan hal tersebut pada Clara? Batin Yudith bergolak hebat.Clara tertawa sinis. “Enggak rupanya, oh iya kan kalian hanya berhubungan sekali. Sudah pasti dia menyebut nama aku pas di puncak. Yang dia bayangkan pasti aku. Ok selamat kamu pernah bobok sekali sama suami aku. Karena dia tidak sudi lagi menyentuh kamu, right.” Yudith masih diam, kini rahangnya mengetat sempurna. Tidak pernah ia merasa dipermalukan sebesar ini, terlebih lagi oleh laki-laki bukan lain adalah suami sahnya di mata agama dan negara. “Sial, kamu mengatakan sama Rajendra kalau aku menemui kamu? Gila ... wanita macam apa yang jadi istri kedua suami aku ini? tukang mengadu, pengecut.” Clara dengan emosi membuka dompet.Meninggalkan selembar uang berwarna merah di meja dengan kencang dan memberikan dengusan kencang dengan tatap tertuju pada Yudith sebelum meninggalkan coffe shop seberang gedung kantor milik Yudith.“Shit.” Yudith mengumpat pelan dengan kepala menunduk dalam.Semua ucapan menyakitkan yang dilontarkan Clara yang paling menancap adalah ia diremehkan karena suaminya bahkan membayangkan istri pertamanya ketika bercinta dengan dirinya. Yudith bagai tidak punya harga diri sedikitpun direndahkan seperti itu oleh Clara.“Apa kamu harus bercerita pada Clara apa yang terjadi di malam pertama kita?” Yudith langsung mengkonfrontasi begitu suaminya pulang padahal bukan Sabtu sore seperti perjanjian mereka dikarenakan.“Tentu saja enggak, aku sudah cukup menerima amukan Clara karena permintaan konyol kamu yang meminta aku lebih dulu menidu-ri kamu dari pada dia,” bantah Rajendra.“Menidu-ri? Kamu sungguh menganggap seperti itu? aku istri sah kamu, Mas. Aku berhak dapatkan hal itu dari suami aku. Bukan keterpaksaan seperti yang kamu katakan, terlepas alasan dan perjanjian pernikahan kita yang sungguh menyedihkan. Aku tetap istri sah kamu.” Yudith hilang kendali karena satu kata menidu-ri.Rajendra menghela nafas panjang dengan menyugar rambutnya menjadi lebih berantakan dari saat ia tiba di rumah mereka masih dengan pakaian kerja.“Kamu harus ingat jika misi aku menikahi kamu memang hanya untuk membuat kamu hamil. Lebih dari itu kamu tidak perlu ikut campur bagaimana aku mengatakannya pada Clara.” Rajendra menatap berapi-api pada Yudith.“Iya aku tahu, kamu tidak perlu senantiasa mengingatkan hal itu. Bukan aku di sini yang ikut campur, melainkan Clara yang ikut campur urusan kita dan aku tidak suka dia mendatangi kantor aku,” geram Yudith.Itu adalah pertengkaran pertama mereka setelah satu bulan usia pernikahan mereka. Definisi pertengkaran sesungguhnya dengan saling menaikkan nada bicara dan menarik urat leher mereka masing-masing.“Kamu tidak berhak marah dengan apa pun yang aku ceritakan pada Clara karena dari awal kita sudah memiliki perjanjian tugas aku sampai mana. Hamil tidak hamil, maka sembilan bulan aku akan menceraikan kamu.” Rajendra menendang kursi makan tempat di mana mereka berdebat dengan kepul di kepala masing-masing sebelum melenggang keluar dengan sebuah umpatan berengsek. Yudith tergugu di lantai dingin rumah sunyi mereka usai suami pergi meninggalkannya dengan amarah meledak-ledak. Memeluk kakinya, Yudith menangis sendirian. Seperti inikah rumah tangga karena keputusannya sendiri? Belum reda tangisannya, ponselnya berdering dengan menampilkan nama mama di layarnya. Yudith tidak mengangkat karena mamanya pasti akan tahu ia sedang tidak baik-baik saja hanya dari suaranya. Setelah panggilannya dimatikan sang mama, sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. “Sayang ... Mama lihat Rajendra di PIM kemarin. Bukankah kamu bilang kalian ada di rumah makan malamnya?” Tangis Yudith semakin pilu membaca pesan mamanya.“Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah. “Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman. “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra. “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka. “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada
“Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran. “Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian
“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki