“Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran.
“Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian konyol ini sama aku. Karena menikahi kamu juga, aku hanya dinikahi siri olehnya dan tidak bisa mengatakan pada dunia kalau Rajendra adalah suami aku,” jerit Clara. Yudith melepas tawa sumbang, menarik pergelangan tangan Clara, Yudith membuka pintu rumahnya dan mendorong tubuh Clara untuk keluar. Akan tetapi Clara langsung memeluk lengan Yudith dengan air mata yang sudah tumpah. “Yudith ... Yudith tolong jangan usir aku please. Aku tidak berani bertemu Rajendra karena dia sungguh akan membunuh aku. Apa kamu tahu kalau dia sedang mengamuk sangat menakutkan? Please please aku terlalu takut menggugurkannya. Tapi aku juga takut pada amukan Rajendra, tolong aku.” Clara memohon dengan suara menyedihkan. “Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk kamu, dan aku tidak ingin terlibat dengan drama kalian berdua. Silakan kamu selesaikan dengan Rajendra, aku tidak yakin dia akan membunuh darah dagingnya sendiri. Bicarakan saja sama dia, sory aku mau istirahat.” Yudith mendorong kuat bahu Clara dan segera menutup pintu tanpa memedulikan gedoran dan panggilan lantang Clara dari balik pintu rumah. “Ya Tuhan ... apa lagi ini?” ratap Yudith. Yudith terlelap dengan wajah basahnya, entah sudah berapa kali ia menangisi hidupnya yang menyedihkan. Ia dibangunkan oleh suaminya yang memasang tampang datar. “Cuci mukalah, kita akan bicara,” ucap Rajendra. “Bicara apa?” Yudith mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Aku tunggu di ruang makan.” Rajendra bukan menjawab justru memutar badan meninggalkan Yudith yang kembali menghela nafas. Yudith dapat memperkirakan apa yang akan dibicarakan Rajendra ketika melihat sosok wanita lain sudah duduk menunduk dengan wajah sembab dan bengkak. Ia ingin kabur sekarang juga, baiklah ia hanya akan mendengarkan saja. Ia akan menolak semua jenis keterlibatan dengan dua orang penuh masalah di hadapannya. “Kamu tahu dokter yang bisa menggugurkan kandungan?” Rajendra langsung melempar tanya begitu Yudith duduk. Yudith diam, menatap wajah Rajendra yang mengeras sempurna. “Coba ucapkan sekali lagi,” pinta Yudith. “Aku tanya dokter mana yang bisa menggugurkan kandungan?” ulang Rajendra. Yudith kembali bangun dari kursi yang ia duduki, memutari meja menuju samping Rajendra berada. Tanpa ekspresi, ia melayangkan sebuah tamparan kuat di pipi kiri suaminya. Clara menjerit histeris, Rajendra terperangah. “Kamu sudah cukup berengsek selama ini, Rajendra. Jangan menambahkan menjadi pecundang. Kamu menikahi dia secara siri dan kini kamu ingin menggugurkan janin kamu sendiri? Tidakkah kamu memiliki otak?” amuk Yudith akhirnya lepas kendali. “Kenapa kamu menyebut aku tidak punya otak? Tidakkah kamu bercermin dan memandang wajah kamu sendiri? aku melakukan semua kegilaan ini karena permintaan bodoh orang tua kita! jika bukan karena harus menikahi kamu, aku dan Clara sudah menikah dan tidak terlibat dengan kekonyolan ini,” seru Rajendra.Yudith tertawa sumbang. “Right, ini semua karena aku. Ok ... mari kita singkirkan dulu kekonyolan pernikahan kita. Apa yang kamu ucapkan tadi, mencerminkan betapa pengecut dan tidak bertanggung jawabnya kamu sebagai laki-laki. Kamu mau membunuh darah daging kamu sendiri? kamu bahkan lebih kejam dari Hitler, apa yang ada di kepala kamu sampai berniat melenyapkan darah daging kamu?” “Karena aku tidak ingin anak aku sama clara lahir sebelum memiliki catatan sipil yang legal. Aku tidak ingin nanti anak aku mendapatkan cemooh bahwa ia lahir karena kecelakaan orang tuanya,” jelas Rajendra. “Astaga gilanya laki-laki ini, ya Tuhan ... Kamu memikirkan kelak anak kamu akan mendapat cemooh tanpa memikirkan bagaimana perasaan ibunya saat kamu berniat menggugurkannya? Gila kamu ya! kenapa kamu seperti ayam sayur, Clara? Bukankah kamu lantang sekali saat mendatangi aku di kantor? Kamu mau menyetujui membunuh anak kamu?” Yudith menyentak Clara penuh emosi, sekalian ia melampiaskan kegilaannya tiga bulan ini. “Jangan terus menerus menyebut membunuh!” Rajendra menarik lengan Yudith kencang. “Iya aku akan terus menyebut kamu, kalian berdua pembunuh. Pembunuh darah daging sendiri!” bentak Yudith tidak mau kalah. “Yang kamu sebut janin adalah segumpal darah yang belum terbentuk menjadi manusia, belum memiliki denyut jantung dan belum hidup. Itu tidak bisa disebut dengan kata membunuh,” bantah Rajendra dengan wajah merah padam. “Ok ... terserah sama kamu, Clara. Kamu akan menjadi ibu paling jahat di dunia karena melenyapkan janin di rahim kamu bahkan sebelum dia terbentuk sempurna. Aku tidak ingin terlibat dengan kalian berdua, silakan kalian keluar dari rumah ini. Oh mungkin aku yang harus keluar dari sini dan mengurus perceraikan kita secepat mungkin. Sumpah mati aku tidak sudi memiliki suami pembunuh.” Yudith mengakhiri amukan melelahkannya sesegera mungkin. “Kamu tidak bisa mengakhiri pernikahan kita sebelum selesai masa perjanjian, Yudith.” Rajendra kembali menarik lengan Yudith kencang bahkan hingga Yudith meringis kesakitan namun tidak di pedulikan. “Berengsek! Bajingan kamu Rajendra! Aku tidak hamil, jadi untuk apa harus menunggu sembilan bulan, Hah? kita cerai saja sekarang, dari pada aku menjadi lebih gila dari ini!” bentak Yudith. “Tidak akan! Aku tidak akan menceraikan kamu sebelum waktu perjanjian kita habis. Aku tidak akan menceraikan kamu, kamu dengar itu?” Rajendra kini mengguncang kedua bahu Yudith dengan murka. Yudith menutup pintu dan mengunci ganda setelah sepasang manusia dalam rumahnya meninggalkan ia tanpa menemukan kesepakatan. Peduli setan mau diapakan saja janin dalam perut Clara yang tidak lain adalah anak dari suaminya. Amat miris sekali hidup Yudit sekarang, ia yang sebelum papanya meninggal penuh kebahagiaan dan selalu dilimpahi cinta. Justru harus berada dalam neraka setelah memiliki suami. “Bang Galuh ... jemput aku, bisa? di rumah.” Yudith tidak bisa lagi menahan sakit di dada bahkan di sekujur tubuhnya yang menggigil di lantai dingin. Yudith menghubungi sepupunya, ia sungguh sudah tidak bisa menyimpannya seorang diri. “Bukan rumah mama, rumah aku sama Jendra,” isak Yudith semakin pelan.“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki
“Pesan hotel sana kalian berdua, astaga.” Suara tawa membahana mengakhiri jalinan bibir keduanya yang semakin intens. Rajendra terkekeh saat Yudith mendorong dadanya begitu suara menggema Galuh terdengar mereka berdua. Yudith mengumpat dalam hati saat suami menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Menyembunyikan wajah merah padamnya yang ketahuan menikmati ciuman dalam Rajendra tanpa ia sadari. Sungguh sangat memalukan ia habis mendebat semua perkataan menyudutkan Rajendra, namun bibirnya malah menikmati ciuman lembut nan lihai si berengsek. “Ada apa, Bang? aduh ganggu saja elu Bang, padahal lagi di puncak,” kelakar Rajendra mendapat cubitan maut dari Yudith pada pahanya. Yudith berdehem sekali melepas dekapan suami dengan wajah masih merah padam memberi jarak duduk mereka yang bahkan sangat melekat satu sama lain. “Yaelah Dek, habis menikmati kok di siksa suaminya. Maaf ya memutus aktivitas panas kalian. Sum
“Bagaimana?” serbu Yudith begitu sampai di depan UGD. “Siapa yang kamu bawa?” Bukan menjawab pertanyaan istrinya, Rajendra justru memberi atensi serius pada laki-laki yang turut berjalan di belakang punggung Yudith. “Teman kuliah, bagaimana?” Yudith mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh laki-laki bercelana pendek dan kaos hitam di depannya. “Dokter belum keluar,” jawab Rajendra singkat. “Kenapa bisa pendarahan?” tanya Yudith. “Enggak tahu, tiba-tiba teriak dari kamar mandi.” Rajendra menyugar rambutnya hingga semakin berantakan. “Apa mungkin kepleset?” gumam Yudith pada dirinya sendiri. “Oh ... Marlo terima kasih ya sudah antar aku ke sini, kamu bisa kan pulang pakai taksi? mobil kamu masih di Supermarket kan?” ringis Yudith. “It’s ok tidak masalah, berkabar ya nanti.” Marlo menepuk bahu Yudith sebelum mengangguk kecil pada Rajendra