Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki
“Pesan hotel sana kalian berdua, astaga.” Suara tawa membahana mengakhiri jalinan bibir keduanya yang semakin intens. Rajendra terkekeh saat Yudith mendorong dadanya begitu suara menggema Galuh terdengar mereka berdua. Yudith mengumpat dalam hati saat suami menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Menyembunyikan wajah merah padamnya yang ketahuan menikmati ciuman dalam Rajendra tanpa ia sadari. Sungguh sangat memalukan ia habis mendebat semua perkataan menyudutkan Rajendra, namun bibirnya malah menikmati ciuman lembut nan lihai si berengsek. “Ada apa, Bang? aduh ganggu saja elu Bang, padahal lagi di puncak,” kelakar Rajendra mendapat cubitan maut dari Yudith pada pahanya. Yudith berdehem sekali melepas dekapan suami dengan wajah masih merah padam memberi jarak duduk mereka yang bahkan sangat melekat satu sama lain. “Yaelah Dek, habis menikmati kok di siksa suaminya. Maaf ya memutus aktivitas panas kalian. Sum
“Bagaimana?” serbu Yudith begitu sampai di depan UGD. “Siapa yang kamu bawa?” Bukan menjawab pertanyaan istrinya, Rajendra justru memberi atensi serius pada laki-laki yang turut berjalan di belakang punggung Yudith. “Teman kuliah, bagaimana?” Yudith mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh laki-laki bercelana pendek dan kaos hitam di depannya. “Dokter belum keluar,” jawab Rajendra singkat. “Kenapa bisa pendarahan?” tanya Yudith. “Enggak tahu, tiba-tiba teriak dari kamar mandi.” Rajendra menyugar rambutnya hingga semakin berantakan. “Apa mungkin kepleset?” gumam Yudith pada dirinya sendiri. “Oh ... Marlo terima kasih ya sudah antar aku ke sini, kamu bisa kan pulang pakai taksi? mobil kamu masih di Supermarket kan?” ringis Yudith. “It’s ok tidak masalah, berkabar ya nanti.” Marlo menepuk bahu Yudith sebelum mengangguk kecil pada Rajendra
“Rajendra belum pulang bertugas juga, Dek?” tanya Galuh. Galuh menyambangi kediaman Yudith tanpa memberitahukan adik sepupunya yang ia dapati hanya mengenakan celana pendek dan kaos polos dengan lambang hati merah di dada kirinya. “Abang kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?” Yudith bukan menjawab melainkan melipat tangan di dada dengan tampang kesal. “Memangnya seorang abang harus banget izin kalau mau mengunjungi adiknya?” Galuh melebarkan mata dengan melayangkan sentilan pelan pada kening Yudith. “Iya dong, karena aku sudah berumah tangga.” Yudith mendesah pelan merapikan rambutnya yang ia gelung asal, ia sedang bermalas-malasan di minggu pagi, belum mandi dan sangat tidak layak menerima tamu.“Enggak boleh masuk? Padahal sudah dibawakan bubur ayam mang Hilman.” Galuh mengangkat bungkusan di tangan dan berdecap mendorong bahu Yudith yang masih berdiri di tengah pintu terbuka menghalangi dirinya untuk m
Galuh mendesah. “Kamu mungkin bosan mendengarnya, tapi aku sungguh bisa menjaga cerita seburuk apa pun dan akan selalu berdiri paling depan jika ada yang menyakiti kamu sekalipun itu Rajendra. Mungkin aku enggak bisa memberikan pesan mengenai pernikahan, tapi kamu tahu ke mana harus berlari saat ada yang menyakiti kamu, Dek.” Yudith mengangguk, dadanya terasa amat sesak ingin menjeritkan pada Galuh bahwa ia tidak pernah sekalipun bahagia semenjak wali mengatakan sah saat pernikahannya. “Thanks Abang, Abang pasti yang pertama aku cari kalau aku menghadapi hal buruk. Karena Abang sudah manis sama aku, maka aku rela membuatkan sepiring steak tenderloin lengkap.” Yudith meletakan bantal sofa yang ia peluk dan berdiri untuk menuju dapur. “Enggak jadi deh, kita jalan saja yuk. Sudah lama enggak menonton sama kamu, makan dulu saja baru menonton. Aku traktir tenang saja, aku tahu kamu pelit,” cibir Galuh. “Sialan,” kekeh Yudith p
Galuh mengeratkan pelukan pada Yudith yang telah menyelesaikan cerita panjangnya setelah ia paksa bicara. Makian dan hantaman tinjunya ternyata tidak cukup untuk membayar sakit hati sang adik yang tidak ia ketahui selama enam bulan ke belakang. “Ya Tuhan, Dek ... kegilaan apa yang kalian mainkan ini,” gumam Galuh. Yudith tidak menjawab, entah bagaimana menceritakannya namun ia sungguh sedikit lega setelah menceritakannya. Walaupun Yudith tahu badai menggila siap menghadangnya setelah ini. “Bang Please jangan bilang mama dulu, hanya tiga bulan lagi. Aku akan selesaikan ini secepat mungkin,” pinta Yudith. “Cerai, langsung cerai sekarang tidak perlu menunggu tiga bulan lagi. Perjanjian konyol kalian tidak tertulis hitam di atas putih. Di sini kamu sungguh paling di rugikan. Kenapa kamu bodoh sekali sih Dek terima tawaran gila kunyuk itu? kamu adalah orang paling logis yang aku tahu. Kamu cantik, pintar, mandir
“Sebelum aku jawab masalah perceraian, aku ingin bilang sesuatu dulu.” Rajendra meringis saat nyeri terasa di bibirnya untuk bicara. “Tidak perlu banyak bicara, kamu tidak perlu menjelaskan juga mengapa kamu ada di sana sama Clara. Aku juga tidak menuntut apa-apa dari kamu karena memang aku yang bodoh dari awal, pilihannya apa aku harus menyembunyikan kondisi kamu dari ibu, atau aku kasih tahu ibu untuk merawat kamu. Aku tidak mau merawat kamu soalnya.” Yudith memberikan dua pilihan. “Jangan bilang ibu,” lirih Rajendra. “Ok berarti Clara yang akan menemani kamu,” pungkas Yudith. Yudith mengangkat ponselnya yang bergetar, dari asistennya. Mengangkat sebentar dan mengatakan ia akan segera sampai. Sekali lagi memandang wajah babak belur suaminya, Yudith menghela nafas. “Sory untuk apa yang bang Galuh lakukan, semoga kalian tidak lagi bertemu saat aku enggak ada. Karena aku enggak yakin setelah in
“Tolong rescedule ya, iya saya hari ini enggak bisa masuk. Terima kasih, Risa.” Yudith mematikan panggilan, mengusap wajah. Pagi-pagi sekali ia pergi ke rumah sakit tempat Rajendra dirawat, untuk mengambilkan pakaian dan menyelesaikan urusan di sana agar tidak dilaporkan sebagai pasien hilang. Lalu ia kembali ke rumah mereka untuk mengambil pakaian gantinya, baru kembali ke rumah sakit dan syok dapati Rajendra menggigil kedinginan namun suhu badan begitu tinggi. Ia tidak mungkin meninggalkan suami semarah apa pun, sekali lagi ia menegaskan ia hanya melakukan atas dasar kemanusiaan. “Terima kasih,” ucap Rajendra. Yudith baru saja membantu menggantikan pakaiannya yang basah kuyup karena keringat dingin yang satu jam lalu membuatnya harus mendapatkan sebuah suntikan. “Istirahatlah, kamu bisa mengalami hal seperti tadi kalau kabur lagi,” desah Yudith. “Kamu tidak ingin tahu mengapa Clara kabur?”