Share

Dijemput Suami

Author: PutriNaysaa
last update Last Updated: 2024-02-12 16:47:46

                “Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh.

                “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya.

                “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring.

                “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu.

                “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith.

                “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat, katakan sama aku dia melakukan apa sampai menyakiti kamu begini padahal kalian baru juga menikah. Dia harusnya sujud syukur punya istri seperti kamu.” Galuh menyingkirkan helai rambut di kening Yudith dengan senyum hangat.

                “Kenapa Abang enggak mau menikahi aku saja kalau bilang harusnya bersyukur menikah sama aku. Sepupu boleh menikah kan, setahu aku?” Yudith kembali duduk menjuntai kaki di tepi ranjang apartemen Galuh.

                Galuh menyentil kening Yudith lumayan kencang hingga jerit kesakitan terlepas dari mulut sepupunya dan menjadikan ia terkekeh mengusap kening tersebut sebagai permintaan maafnya.

                “Kamu tahu kita bukan sepupu yang bisa menikah. Kalau boleh juga sudah aku kawinin kamu dari lulur kuliah, secara harta kamu enggak bakal habis tujuh turunan,” kelakar Galuh.

                “Sialan,” kekeh Yudith.

                “Heh mengumpat lagi, aku bilang tante Astrid biar dijewer ya kamu, Dek. Senang lihat kamu akhirnya bisa tertawa juga.” Galuh membelai punggung Yudith dengan senyuman.

                Yudith menipiskan bibirnya, ia menyadari jika memang sudah dua hari ini bagai mayat hidup di apartemen sepupunya.

                “Thanks ya Bang, sudah bolehin aku nebeng tidur. Aku sudah setua ini tapi enggak punya rumah sendiri. Papa mama enggak pernah bolehkan aku beli rumah atau apartemen dari dulu,” keluh Yudith.

                “Ya pastilah Dek, kamu anak tunggal. Ibarat berlian, kamu harus di jaga jangan sampai lecet sedikit saja. Banyak orang jahat di luar sana yang mengincar kamu terang-terangan dan hei rumah tante om sebesar istana dengan anak satu. Kamu bisa main bola di sana.” Galuh dengan berlebihan menjawab kekesalan Yudith mengenai ia yang tidak diperbolehkan keluar rumah tinggal sendirian.

                “I see Bang, Abang enggak masuk kerja? aku sudah bolos dua hari, Abang enggak boleh ikutan bolos juga. Yang ada karyawan pada tidur nyenyak enggak ada yang mengawasi,” kelakar Yudith.

                “Mana bisa aku meninggalkan kamu yang gelisah galau merana karena suami kamu itu, dia enggak memukul kamu, kan?” Galuh menelisik raut wajah pucat Yudith.

                “Enggak kok, Bang. Akan aku laporkan polisi kalau sampai hal itu terjadi. Sudah ah aku mandi dulu, belikan aku makanan enak, Ya. sekalian malak abang sendiri sesekali.” Yudith kabur ke kamar mandi sebelum dapat jitak dari Galuh.

                Yudith langsung makan nasi mandi yang dibelikan Galuh seusai membersihkan diri. Ia menghentikan kunyah di mulut saat Galuh memberikan sebuah informasi.

                “Tadi aku angkat panggilan Jendra, gemas sekali kan getar terus. Aku minta dia jemput, tunggu jangan bilang aku mengusir ya Dek. Aku ras cukup main kabur-kaburannya, hadapi, bicara baik-baik. Aku mendengar Jendra begitu cemas saat menanyakan keadaan kamu. Aku suruh langsung ke sini, aku akan ajak bicara dia dulu sebelum bertemu kamu. Aku bukan mau ikut campur, kalian sudah menikah, komunikasi harus di jaga semarah apa pun kamu. Jika memang kamu sudah sangat tidak bisa memaafkan ... aku akan bantu urus perceraian kalian.” Galuh menepuk punggung tangan Yudith yang terkulai di atas meja masih dengan memegang sendok.

                “Iya Bang, enggak usah bicara sama Rajendra. Nanti Abang tiba-tiba jadi kriminal karena emosian,” cibir Yudith.

                “Asem.” Galuh mengacak kepala sepupu yang bahagia mengejeknya.

                Yudith keluar kamar setelah didatangi Galuh dan memberitahukan bahwa ia sudah selesai bicara dengan Rajendra.

                “Nomor aku aktif 24 jam, kamu tahu bukan?” bisik Galuh.

                Yudith mengangguk membalas pelukan hangat Galuh sebelum mengikuti langkah Rajendra keluar dari apartemen tersebut. Saat tangannya hendak di gandeng, Yudith menolak, Rajendra menghela nafas menyugar rambutnya dan tidak memaksa. Sepanjang perjalanan pulang, Yudith diam seribu bahasa.

                “Kenapa kamu tidak cerita sama Galuh?” Pertanyaan Rajendra memecah sunyi perjalanan yang baru setengah mereka lalui.

                “Buat apa? kalau aku cerita, sudah pasti kamu akan mati di tangan bang Galuh,” jawab Yudith tanpa menoleh ke arah suaminya.

                Hela nafas kembali Yudith dengar di telinganya, ia tidak menggubris saat laki-laki di balik kemudi mengunci mulutnya kembali. Sesampainya di rumah mereka, Yudith hendak memasuki kamar saat suara berat suami menahannya.

                “Bisa kita bicara?” tanya Rajendra.

                “Mengenai apa? aku tidak peduli lagi kalau kamu mau menggugurkan kandungan Clara atau sekalian melenyapkan nyawa Clara. Aku sudah tidak peduli lagi, mari kita selesaikan sampai kontrak pernikahan kita habis. Sembilan bulan, seperti perjanjian awal kita. Selebihnya anggap saja aku enggak ada,” tutur Yudith.

                “Aku tidak menggugurkan kandungan Clara, kamu harus tahu itu,” timpal Rajendra.

                “Oh .... “

                “Oh?” Kening Rajendra berkerut dalam mendengar reaksi istrinya dengan wajah datar tanpa ekspresinya.

                “Aku harus memberikan reaksi bagaimana memangnya?” tuntut Yudith.

                Yudith tidak gentar di tatap lama penuh intimidasi dari Rajedra, ia membalas dengan wajah tanpa ekspresinya yang tidak tersentuh make up sedikitpun.

                “Untuk sementara aku akan tinggal di sini sampai aku menemukan jalan yang tepat,” ucap Rajendra.

                “Terserah kamu saja, toh ada atau tidak kamu di rumah ini ... aku tidak peduli.” Yudith mengatakannya seraya melangkah memasuki kamarnya.

                Benar, semenjak mereka menempati rumah tersebut, Yudith tidak pernah tidur dalam satu kamar dengan Rajendra. Bahkan setelah mereka melakukan malam pertama menyakitkan dulu, Rajendra memilih tidur di kamar lain dan meninggalkannya yang menggigil kedinginan dan kesakitan. Yudith sudah memutuskan akan menempatkan Rajendra sebagai orang yang tidak lagi ia pedulikan selama sisa hari perjanjian mereka. Ia hanya perlu bertahan sekitar enam bulan lagi, Yudith yakin ia sanggup melewatinya.

                Keesokan harinya, Yudith sudah berpenampilan rapi siap kembali bekerja setelah dua hari bersembunyi. Ia akan kembali menjadi manusia produktif.

                “Mobil kamu kemarin berasap, jadi aku bawa ke bengkel. Pakai mobil aku saja.” Rajendra meletakan kunci mobil di samping cangkir teh Yudith yang tengah sarapan sendirian tanpa menawari atau membuatkannya sarapan juga.

                “Tidak perlu, aku sudah minta dijemput driver kantor.” Yudith menggeser kunci mobil tersebut ke arah Rajendra duduk.

                “Ok,” jawab Rajendra singkat.

                Yudith tidak mengeluarkan suara sampai roti selai coklatnya habis berpindah ke dalam perutnya. Ia beranjak membawa piring serta cangkir teh ke sink, mencucinya dalam diam. Setelah itu memasukkan ke mesin pengering dan ia beranjak kembali ke kamar mengambil clutch, bersiap berangkat ke kantor.

                “Kamu mau bermain? Baik mari kita bermain dengan sungguh-sungguh?” Yudith berbisik pada diri sendiri saat melangkah anggun menuju mobil kantor yang sudah menunggunya di luar pagar rumah.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Paripurna Sempurna

    “Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Gaun Merah

    “Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kemesraan Hangat

    “Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Kilat Cemburu

    “Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Angker

    “Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda

  • Rupanya Aku Istri Kedua   Serangan Lanjutan

    “Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status