“Dibutuhkan 1 orang penyiar, usia 20 – 35 tahun, sudah lulus kuliah, bla-bla-bla, bla-bla-bla. Tidak begitu berpengalaman tidak apa-apa. Hah? Gimana?”
Jessie membaca selebaran yang baru saja disodorkan Rahmi, temannya. Mereka sedang makan siang di kantin karyawan. Menu sederhana macam nasi dengan sayur bobor daun ketela dan ikan asin menjadi pilihan mereka sehari-hari. Gaji kecil sebagai kasir dan karyawan di sebuah supermarket membuat mereka harus pandai mengirit.
“Daftar tuh,” saran Rahmi. “Kamu kan demen cuap-cuap, seneng bergosip, cocok, deh!”
“Sejak kapan orang doyan bergosip bisa jadi penyiar?” tanya Jessie dengan menjengitkan wajahnya. Mereka memang senang membicarakan bos-bos dan karyawan senior di tempat kerja. Ada saja kelakuan ajaib orang-orang yang menarik untuk dibahas.
“Doyan bicaranya itu, lhoh,” jelas Rahmi. “Menjadi penyiar radio kan mudahnya dituntut cerewet. Sudaah, coba ajaa. Daftar, ikuti tesnya, tanya gajinya berapa. Kalau gede kan lumayan. Kamu bisa tinggalin kerjaan jadi kasir di sini.”
Jessie pura-pura mememblekan bibirnya. “Kalau aku pindah kerja, nggak ketemu kamu lagi, dong!”
“Halah, gayamu!” Rahmi tertawa. “Padahal setiap hari mengeluh gajinya sedikit. Lagian, ya, Jess, kamu masih muda. Pindah-pindah tempat kerja enggak apa-apa. Ngumpulin pengalaman. Cari yang gajinya gede.”
Jessie kembali membaca selebaran berisi lowongan pekerjaan.
Menjadi penyiar radio? Memangnya ia bisa?
Memang, sih, ia pernah punya cita-cita menjadi penyiar radio. Berbicara di belakang mikrofon, menyapa para pendengar, memilihkan lagu-lagu enak untuk didengarkan. Ia cerewet tapi dengan orang yang pas. Pertanyaannya: apakah ia bisa cerewet di tempat kerja baru yang bernama radio – kalau ia diterima kerja di sana.
“Bisa. Bisa.” Rahmi masih terus berusaha meyakinkan. “Minimal kamu mencoba dulu. Kalau gagal, ya nggak masalah. Kalau berhasil, dadah pekerjaan kasir yang membosankan tapi penuh risiko.”
Jessie membaca persyaratan melamar pekerjaan menjadi penyiar radio. Simpel sekali. Tidak ada syarat yang memberatkan. Besok pun ia bisa tinggal datang dengan membawa berkas yang dibutuhkan.
“Lagian, tinggal ngoceh ini. Kamu bisa aja membahas cuaca, membahas kisah asmaramu yang selalu kandas –“
“Ih!” protes Jessie dengan menonjok lengan temannya.
Rahmi malah tertawa-tawa “Lho, benar, kan? Hal-hal kayak gitu yang bikin pendengar tertarik dan sudi mendengar lebih lama. Sudaah, coba aja daftar! Kerjanya oke kayaknya.”
“Oke, ya?” gumam Jessie. “Besok aku mencoba daftar, deh. Besok aku masuk sif sore. Jadi pagi sampai siang harinya masih bisa mampir ke sana untuk tes.”
“Nah gitu dong! Kudu semangat begitu! Kamu masih mudah, punya banyak kesempatan untuk berkembang!” pekik Rahmi senang. “Kalau berhasil diterima, kabar-kabarin, ya!”
“Ish, daftar saja belum sudah minta dikabarin,” gerutu Jessie berpura-pura.
“Kalau sudah ketrima kerja, gajian pertama kamu traktir aku makan-makan.”
“Mau ditraktir apa?” tanya Jessie.
Rahmi nyengir. “Pizza mau, doong….”
“Ya,” angguk Jessie. “Kalau gajinya gede. Yaaa, minimal 70 kali lipat gajiku jadi kasir di sini.”
“Huuu…!” protes Rahmi. Jelas-jelas tidak mungkin gaji penyiar radio, terlebih yang masih ‘hijau’ seperti Jessie akan mendapatkan bayaran lebih banyak – yang jauh lebih banyak dari gajinya menjadi kasir di minimarket.
Seusai istirahat makan siang, Jessie memikirkan kembali nasihat Rahmi. Ia masih muda, bebaskan saja kalau mau melamar pekerjaan di mana saja, kumpulin banyak pengalaman, mumpung masih muda masih punya banyak kesempatan berkembang.
Thit!
Mesin pemindai harga barang kembali berbunyi. Anak magang yang berdiri di belakang Jessie sigap memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam kantung plastik.
Jessie menyebutkan total uang yang harus dibayarkan pembeli. Ia menerima uang, menghitungnya, memberi kembalian sembari menyodorkan nota belanjaannya, tersenyum dengan mengucapan terima kasih.
Sampai kapan mau terus jadi kayak begini? Sampai tua bertahan di balik meja kasir? Padahal banyak kesempatan yang barangkali seru untuk dicoba.
Di dalam hati Jessie akhirnya memutuskan. Ia akan mencoba kesempatan melamar pekerjaan sebagai penyiar radio itu. Hitung-hitung mencari pengalaman. Syukur-syukur kalau gajinya juga besar.
Sebelum pulang ia kembali memperhatikan selebaran yang digenggamnya. Sekali lagi ia membaca nama radionya: Radio Siul.
Radio Siul?Hmmm… dari namanya saja sudah aneh. Yah semoga tak bakal ada kejadian aneh-aneh selama ia melamar kerja di sana – dan juga saat ia diterima kerja nantinya.
***
“Astaga…,” gumam Jessie tidak percaya.
Radio Siul.Sebuah plang berkarat dan tampak lusuh bertuliskan nama radionya.
“Nama radionya aneh, tampilannya tua banget. Apa jangan-jangan kalau malam hari sering terdengar suara siulan?” gumam Jessie.
Tiba-tiba sekujur tubuhnya merinding sendiri. Ia masih belum mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Sebuah bangunan terbengkalai dengan plang bertuliskan Radio Siul. Tua dan terbengkalai.
Semalam ia sudah mencari informasi tentang radio yang akan ditujunya untuk melamar pekerjaan. Radio Siul – dulunya bernama Swaramuda – sudah berdiri sejak lama, sekitar tahun 90-an. Memiliki banyak penggemar. Sayangnya, ia tak cukup program-program yang menarik. Penyiarnya pun berjiwa old-soul. Jadul habis! Lama kelamaan pendengarnya berkurang. Iklan yang masuk pun semakin jarang. Kini radio itu hanya bertahan dengan memutar lagu-lagu lawas, lagu-lagu campursari, lagu-lagu dangdut, dan sangat jarang sekali lagu-lagu mancanegara.
Jessie membuka pintu banguanan radio tua tersebut. Kepalanya celingukan. Ternyata bangunan tua tersebut memiliki bagian dalam yang disetel minimalis dan modern. Sepertinya telah dirombak habis-habisan.
Sebelum masuk Jessie membayangan ruangan pengap, lembab, dengan dinding berbercak jamur dan noda bekas rembesan hujan. Di sudut-sudut langit-langit terdapat sarang laba-laba. Ternyata kecurigaan itu tak ditemui sama sekali.
Bagian dalam bangunan Radio Siul memiliki tembok yang bersih seperti baru dicat. Foto-foto terpajang dalam piguran simpel dan minimalis. Tembok sepanjang lorong yang putih bersih tersebut tampak segar dengan penempatan beberapa pot tanaman hijau.
“Permisiii…,” panggil Jessie. Kepalanya celingukan. Tak tampak satu orang pun di dalam ruangan. Padahal speaker di ruangan terdengar sedang memutar satu lagu lawas tahun 90-an. Seharusnya ada satu orang yang berada di ruangan. Minimal si penyiar-lah. Atau jangan-jangan sedang ke toilet?
Jessie memutuskan untuk mencari. Ia melongok di balik meja resepsionis. Benar-benar kosong. Ia berjalan menyusuri koridor menuju ke halaman belakang gedung.
“Wah, kosong dan kurang terawat,” gumamnya. Ia bisa membayangkan saat sore hari halaman belakang ini pasti terlihat ngeri-ngeri sedap. Rerimbunan semak yang belum sempat dipangkas, beberapa pohon pisang yang tumbuh berjajar, toilet tua yang tampak usang di bagian ujung.
Sssuiiuuutttt….
Tengkuk Jessie meremang. Barusan ia seolah mendengar siulan seseorang. Ah, pasti embusan angin dari bagian atas tembok. Atau siulan angin yang melewati jajaran pohon pisang.
“Sebaiknya aku segera ke depan saja. Kebun ini kosong nggak ada orang,” putus Jessie.
Begitu ia membalikkan badan, sesosok laki-laki tua, bungkuk, berkeriput, berdiri di belakang. “Cari siapa, Mbaaakk…?”
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.