Share

S.T.M. (Siaran Tengah Malam)
S.T.M. (Siaran Tengah Malam)
Penulis: Desi Puspitasari

1. Lowongan Pekerjaan

“Dibutuhkan 1 orang penyiar, usia 20 – 35 tahun, sudah lulus kuliah, bla-bla-bla, bla-bla-bla. Tidak begitu berpengalaman tidak apa-apa. Hah? Gimana?”

Jessie membaca selebaran yang baru saja disodorkan Rahmi, temannya. Mereka sedang makan siang di kantin karyawan. Menu sederhana macam nasi dengan sayur bobor daun ketela dan ikan asin menjadi pilihan mereka sehari-hari. Gaji kecil sebagai kasir dan karyawan di sebuah supermarket membuat mereka harus pandai mengirit.

“Daftar tuh,” saran Rahmi. “Kamu kan demen cuap-cuap, seneng bergosip, cocok, deh!”

“Sejak kapan orang doyan bergosip bisa jadi penyiar?” tanya Jessie dengan menjengitkan wajahnya. Mereka memang senang membicarakan bos-bos dan karyawan senior di tempat kerja. Ada saja kelakuan ajaib orang-orang yang menarik untuk dibahas.

“Doyan bicaranya itu, lhoh,” jelas Rahmi. “Menjadi penyiar radio kan mudahnya dituntut cerewet. Sudaah, coba ajaa. Daftar, ikuti tesnya, tanya gajinya berapa. Kalau gede kan lumayan. Kamu bisa tinggalin kerjaan jadi kasir di sini.”

Jessie pura-pura mememblekan bibirnya. “Kalau aku pindah kerja, nggak ketemu kamu lagi, dong!”

“Halah, gayamu!” Rahmi tertawa. “Padahal setiap hari mengeluh gajinya sedikit. Lagian, ya, Jess, kamu masih muda. Pindah-pindah tempat kerja enggak apa-apa. Ngumpulin pengalaman. Cari yang gajinya gede.”

Jessie kembali membaca selebaran berisi lowongan pekerjaan.

Menjadi penyiar radio? Memangnya ia bisa?

Memang, sih, ia pernah punya cita-cita menjadi penyiar radio. Berbicara di belakang mikrofon, menyapa para pendengar, memilihkan lagu-lagu enak untuk didengarkan. Ia cerewet tapi dengan orang yang pas. Pertanyaannya: apakah ia bisa cerewet di tempat kerja baru yang bernama radio – kalau ia diterima kerja di sana.

“Bisa. Bisa.” Rahmi masih terus berusaha meyakinkan. “Minimal kamu mencoba dulu. Kalau gagal, ya nggak masalah. Kalau berhasil, dadah pekerjaan kasir yang membosankan tapi penuh risiko.”

Jessie membaca persyaratan melamar pekerjaan menjadi penyiar radio. Simpel sekali. Tidak ada syarat yang memberatkan. Besok pun ia bisa tinggal datang dengan membawa berkas yang dibutuhkan.

“Lagian, tinggal ngoceh ini. Kamu bisa aja membahas cuaca, membahas kisah asmaramu yang selalu kandas –“

“Ih!” protes Jessie dengan menonjok lengan temannya.

Rahmi malah tertawa-tawa “Lho, benar, kan? Hal-hal kayak gitu yang bikin pendengar tertarik dan sudi mendengar lebih lama. Sudaah, coba aja daftar! Kerjanya oke kayaknya.”

“Oke, ya?” gumam Jessie. “Besok aku mencoba daftar, deh. Besok aku masuk sif sore. Jadi pagi sampai siang harinya masih bisa mampir ke sana untuk tes.”

“Nah gitu dong! Kudu semangat begitu! Kamu masih mudah, punya banyak kesempatan untuk berkembang!” pekik Rahmi senang. “Kalau berhasil diterima, kabar-kabarin, ya!”

“Ish, daftar saja belum sudah minta dikabarin,” gerutu Jessie berpura-pura.

“Kalau sudah ketrima kerja, gajian pertama kamu traktir aku makan-makan.”

“Mau ditraktir apa?” tanya Jessie.

Rahmi nyengir. “Pizza mau, doong….”

“Ya,” angguk Jessie. “Kalau gajinya gede. Yaaa, minimal 70 kali lipat gajiku jadi kasir di sini.”

“Huuu…!” protes Rahmi. Jelas-jelas tidak mungkin gaji penyiar radio, terlebih yang masih ‘hijau’ seperti Jessie akan mendapatkan bayaran lebih banyak – yang jauh lebih banyak dari gajinya menjadi kasir di minimarket.

Seusai istirahat makan siang, Jessie memikirkan kembali nasihat Rahmi. Ia masih muda, bebaskan saja kalau mau melamar pekerjaan di mana saja, kumpulin banyak pengalaman, mumpung masih muda masih punya banyak kesempatan berkembang.

Thit!

Mesin pemindai harga barang kembali berbunyi. Anak magang yang berdiri di belakang Jessie sigap memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam kantung plastik.

Jessie menyebutkan total uang yang harus dibayarkan pembeli. Ia menerima uang, menghitungnya, memberi kembalian sembari menyodorkan nota belanjaannya, tersenyum dengan mengucapan terima kasih.

Sampai kapan mau terus jadi kayak begini? Sampai tua bertahan di balik meja kasir? Padahal banyak kesempatan yang barangkali seru untuk dicoba.

Di dalam hati Jessie akhirnya memutuskan. Ia akan mencoba kesempatan melamar pekerjaan sebagai penyiar radio itu. Hitung-hitung mencari pengalaman. Syukur-syukur kalau gajinya juga besar.

Sebelum pulang ia kembali memperhatikan selebaran yang digenggamnya. Sekali lagi ia membaca nama radionya: Radio Siul.

Radio Siul?

Hmmm… dari namanya saja sudah aneh. Yah semoga tak bakal ada kejadian aneh-aneh selama ia melamar kerja di sana – dan juga saat ia diterima kerja nantinya.

***

Berbekal alamat yang tercantum di selebaran, Jessie berhasil menemukan radio yang dimaksud.

“Astaga…,” gumam Jessie tidak percaya.

Radio Siul.

Sebuah plang berkarat dan tampak lusuh bertuliskan nama radionya.

“Nama radionya aneh, tampilannya tua banget. Apa jangan-jangan kalau malam hari sering terdengar suara siulan?” gumam Jessie.

Tiba-tiba sekujur tubuhnya merinding sendiri. Ia masih belum mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Sebuah bangunan terbengkalai dengan plang bertuliskan Radio Siul. Tua dan terbengkalai.

Semalam ia sudah mencari informasi tentang radio yang akan ditujunya untuk melamar pekerjaan. Radio Siul – dulunya bernama Swaramuda – sudah berdiri sejak lama, sekitar tahun 90-an. Memiliki banyak penggemar. Sayangnya, ia tak cukup program-program yang menarik. Penyiarnya pun berjiwa old-soul. Jadul habis! Lama kelamaan pendengarnya berkurang. Iklan yang masuk pun semakin jarang. Kini radio itu hanya bertahan dengan memutar lagu-lagu lawas, lagu-lagu campursari, lagu-lagu dangdut, dan sangat jarang sekali lagu-lagu mancanegara.

Jessie membuka pintu banguanan radio tua tersebut. Kepalanya celingukan. Ternyata bangunan tua tersebut memiliki bagian dalam yang disetel minimalis dan modern. Sepertinya telah dirombak habis-habisan.

Sebelum masuk Jessie membayangan ruangan pengap, lembab, dengan dinding berbercak jamur dan noda bekas rembesan hujan. Di sudut-sudut langit-langit terdapat sarang laba-laba. Ternyata kecurigaan itu tak ditemui sama sekali.

Bagian dalam bangunan Radio Siul memiliki tembok yang bersih seperti baru dicat. Foto-foto terpajang dalam piguran simpel dan minimalis. Tembok sepanjang lorong yang putih bersih tersebut tampak segar dengan penempatan beberapa pot tanaman hijau.

“Permisiii…,” panggil Jessie. Kepalanya celingukan. Tak tampak satu orang pun di dalam ruangan. Padahal speaker di ruangan terdengar sedang memutar satu lagu lawas tahun 90-an. Seharusnya ada satu orang yang berada di ruangan. Minimal si penyiar-lah. Atau jangan-jangan sedang ke toilet?

Jessie memutuskan untuk mencari. Ia melongok di balik meja resepsionis. Benar-benar kosong. Ia berjalan menyusuri koridor menuju ke halaman belakang gedung.

“Wah, kosong dan kurang terawat,” gumamnya. Ia bisa membayangkan saat sore hari halaman belakang ini pasti terlihat ngeri-ngeri sedap. Rerimbunan semak yang belum sempat dipangkas, beberapa pohon pisang yang tumbuh berjajar, toilet tua yang tampak usang di bagian ujung.

Sssuiiuuutttt….

Tengkuk Jessie meremang. Barusan ia seolah mendengar siulan seseorang. Ah, pasti embusan angin dari bagian atas tembok. Atau siulan angin yang melewati jajaran pohon pisang.

“Sebaiknya aku segera ke depan saja. Kebun ini kosong nggak ada orang,” putus Jessie.

Begitu ia membalikkan badan, sesosok laki-laki tua, bungkuk, berkeriput, berdiri di belakang. “Cari siapa, Mbaaakk…?”

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status