Share

2. Diterima

Sekujur tubuh Jessie kaku. Ia membalikkan badan lalu tidak bisa bergerak. Tenggorokannya kering. Suaranya seakan tercekat. Hendak berteriak minta tolong tidak bisa.

Kakek tua berbadan bungkuk berdiri di belakangnya. Suaranya berat dan parau ketika mengulangi pertanyaannya. “Mau cari siapa, Mbaakkk… aakkk… aarrkk… aarrkkkhhh!”

Rambut kakek tua itu berupa helai-helai yang jarang. Berwarna putih keperakan. Keriput menyebar di seluruh wajahnya. Kedua matanya hitam – seluruhnya berwarna hitam. Kelopaknya cekung ke dalam.

“Arrkkk… arrrkkk… arrkkkk…!” Kakek tua itu terus meraung parau. Bola matanya membeliak. Mulutnya yang kering membuka. Sulur panjang menjalar keluar dari mulutnya. Menggeliat-geliat mencari mangsa.

Wajah Jessie pucat. Ia tak pernah mengira akan melihat pemandangan semengerikan ini. Tenggorokannya kembali tercekat.

Radio Siul?

Apakah siulan yang ia dengar barusan adalah untuk memanggil monster radio keluar?

“Krrssskk… krrssskkk… krrsskkk…!” Kakek tua mengeluarkan suara berkemeresak seperti radio mencari saluran frekuensi yang tepat. Suara tak mengenakkan terus terdengar.

Mulut Jessie terbuka lebar. Kakek tua berjalan ke arahnya. Gerakan terpatah-patah. Sulur yang menjulur keluar dari mulutnya membuka. Seperti kelopak bunga yang sudah waktunya berbunga. Gigi tajam siap mencaplok Jess –

“Arrgghh….!” Tak ada yang bisa dilakukan Jessie. Kedua tangannya terangkat ke atas mencoba melindungi kepalanya agar tak copot.

“Graauughhh….!”

“Haahhh!” Jessie tersentak bangun. Matanya melek. Terbuka lebar. Napasnya tersengal. Sekujur tubunya gemetaran. Keringat membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.

Jessie menepuk jidatnya sendiri. Hari masih menunjukkan pukul dua dini hari. Sore tadi ia menonton film horor di ponsel secara online. Niatnya mau mengikuti jalan cerita sampai selesai, ehh, dia malah ketiduran di tengah-tengah film. Akibatnya adegan buruk terbawa sampai ke mimpi.

Radio Siul.

Untuk sejenak tubuh Jessie meremang dingin. Ia buru-buru menutup aplikasi menonton film ponsel. Sekali lagi ia memastikan ponselnya dalam keadaan aman dan silent. Cukup disetel mode getar supaya ia tidak kelewatan alarm bangun pagi.

Selimut ditarik hingga menutup kepala. Jessie kembali mencoba tidur. Semoga kali ini ia tidak lagi bermimpi buruk.

***

Keesokan harinya Jessie sudah lupa apa isinya mimpi buruknya semalam. Berbekal alamat dan google-map di ponsel, ia mencari alamat Radio Siul. Tak membutuhkan waktu lama hingga ia tiba di tempat tujuan.

Gedungnya sederhanya. Bangunan dan warna catnya memang terlihat tua. Tak ada kesan menyeramkan sama sekali. Halaman depan berukuran luas dengan rumput yang dipangkas rapi. Tanaman berbunga tumbuh subur. Kentara sekali kalau dirawat dengan baik.

Plang nama bertuliskan Radio Siul terlihat sederhana. Papannya tak berkarat. Sepertinya bikinin baru.

Jessie memarkir motor di halaman depan yang berkonblok. Pintu masuknya berupa kaca lebar. Pada bagian dalam terdapat meja resepsionis dengan penjaga seorang mbak yang manis.

“Selamat pagi,” sapa Jessie dengan mengangguk hormat. Tak lupa ia juga menyunggingkan senyum.

Sebuah lagu lawas mengalun dari speaker yang ada di ruangan. Lagu berganti lagu disetel secara otomatis.

“Selamat pagi,” balas penjaga meja resepsionis.

“Saya Jessie, Mbak,” Jessie memperkenalkan diri. “Saya ke sini karena ada keperluan melamar pekerjaan sebagai penyiar.”

“Ohh, yaaa…,” sambut penjaga resepsionis ramah. “Silakan tumpuk berkas – astaga ya ampun!”

Jessie kaget. Mbak penjaga resepsionis tiba-tiba memekik seolah teringat akan sesuatu yang terlupa atau apa.

“Tumpuk di situ, Mbak!” perintah mbak penjaga resepsionis cepat. “Nanti saya kabari lagi! Duduk sana! Tenang!”

Secepat kilat mbak petugas resepsionis mencelat pergi. Langkah kakinya bergedebukan sepanjang koridor.

Jessie bengong untuk sementara waktu. Ia meletakkan berkas pendaftaran di atas meja. Karena tadi disuruh duduk, ia menghenyakkan tubuhnya di sofa tak jauh dari meja resepsi.

Terdengar lengkingan siul yang merdu dari speaker ruangan.

Jessie menoleh kaget. Lagu lawas yang tadi berkumandang sudah selesai. Suara penyiar yang lincah menyapa para pendengarnya.

“Hai, selamat siang, Sobat Siul, di mana aja kamu berada! Kembali lagi bersama Sisil di sini. Mohon maaf, nii, tiba-tiba nongol. Ada berita penting banget yang perlu Sisil bagi sama kamu.”

Meski masih ragu, Jessie menebak Sisil yang sedang on-air sekarang adalah mbak penjaga meja resepsionis. Suaranya merdu dan renyah juga. Untuk beberapa saat perut Jessie terasa mulas. Mendengar Sisil begitu luwes bicara menyapa para pendengar, sepertinya ide melamar pekerjaan sebagai penyiar adalah hal yang salah.

“Kamu pernah, kaaan, pengin tampil cantik untuk menghandiri sebuah pesta tapi rambutmu lepek, jatuh, lemas dan uuhh jelek banget, gituu? Nah, nggak usah khawatir –“

Sisil terus bercuap-cuap. Jessie mengedarkan pandangan. Hmmm… estetik juga ruangannya. Semuanya sepertinya menggunakan konsep sederhana dan minimalis. Di beberapa sudut ruangan terdapat pot tanaman hijau. Cukup bisa menghadirkan suasana yang segar.

Sebuah lagu lawas kembali mengalun dari speaker ruangan.

Sisil terburu-buru keluar dari ruang siaran dan menyapa Jessie.

“Sori, sori, aku tadi kelupaaan. Hhhh… hampir saja aku lupa membacakan adlips. Padahal sudah telat satu jam dari perjanjian. Adlips itu diminta dibacain pukul sembilan. Sekarang sudah hampir pukul sepuluh.” Sisil terus mencerocos. “Tapi yaaa nggak apa-apa, lah, yaaa. Telat kan lebih baik ketimbang nggak sama sekali. Busyet, pikunan amat sih aku ini, yaaa. Padahal tadi sudah niat sehabis buka-buka Facebook, aku bakal bacain adlips itu, deeh. Ehh, malah kebablasan. Habisan seru banget….”

Jessie bingung harus menanggapi apa. Sisil bicara seolah mereka telah kenal lama. Terus bicara membicarakan masalahnya.

“Emm… anu, Mbak…,” Jessie mencoba memotong pembicaraan yang tak jelas arah juntrungannya. “Saya ke sini untuk mendaftar sebagai penyiar. Kemarin, kan, ada lowongannya di pamflet. Terus saya sudah mengumpulkan berkasnya di meja. Setelah ini saya harus ngapain, ya?”

“Oh, astagaaa….” Sisil menepuk jidatnya sendiri. Lalu, gadis itu membungkam mulutnya yang dilanjut dengan cekikihan pelan. “Maaf, Mbak, saya malah lupa harus ngapain. Hadeeh, malah ceriwis ngomong sendiri, ya. Maaf, maaf. Yaa jadi bagaimana, Mbak?”

“Saya ingin mendaftar sebagai penyiar,” jelas Jessie mengulangi menyebutkan tujuannya datang ke Radio Siul.

“Apakah semua berkas-berkasnya sudah lengkap?”

Jessie mendongak. Sisil menengok. Gadis itu buru-buru membungkuk sambil cengengesan meminta maaf.

Seorang laki-laki paruh baya berwajah teduh berdiri dengan menyunggingkan senyum ramah.

“Om Burhaann…,” sapa Sisil. “Maaf saya teledor lagi, Ooom. Ini, Ooom, ada pendaftar untuk melamar posisi penyiar.”

“Maaf menunggu, Mbaakk….”

Jessie menyahut cepat. “Jessie. Nama saya Jessie, Pak Burhan.”

“Maaf menunggu lama, Mbak Jessie.”

Suara Pak Burhan begitu empuk dan enak didengar. Jangan-jangan beliau dulunya seorang penyiar kawakan?

“Selamat datang di Radio Siul. Terima kasih sudah membaca pamflet yang berisi lamaran di radio kami.”

Pak Burhan menerima berkas-berkas lamaran yang disodorkan Sisil.

“Boleh ikut saya ke ruangan, Mbak? Kita bicara di dalam saja, di tempat yang lebih sejuk, ruangannya ber-AC.”

Jessie bangkit mengikuti langkah Pak Burhan.

Pak Burhan berhenti sejenak. “Sisil jangan lupa satu jam ke depan adlips pupuk tanaman jagung juga harus dibacakan. Jangan sampai lupa lagi.”

Cengiran di wajah Sisil semakin lebar. “Iyaa, Ooom. Sisil nggak akan lupa lagi, deeh. Janjiii….”

“Pasang pengingat di ponselmu,” pesan Pak Burhan.

“Iyaa, Ooommm…. Hehehe.”

Jessie kembali mengikuti langkah Pak Burhan.

“Sisil keponakan saya. Ia baru saja lulus kuliah. Tidak tahu harus melamar kerja di mana dan sebagai apa, untuk sementara waktu ia membantu bekerja di radio ini. Tingkahnya masih kekanakan. Bocah sekali.” Pak Burhan membukakan pintu ruangan kecil tapi nyaman.

Jessie mengambil duduk di sofa yang empuk.

“Sebelum ini, kalau boleh tahu, Mbak Jessie bekerja di mana?”

“Minimarket kecil, Pak. Saya kerja sebagai kasir.”

“Hmmm… menarik.” Pak Burhan mengambil duduk di sofanya sendiri. “Saya minta waktu untuk mempelajari sebentar, ya. Boleh?”

“Silakan, Pak.”

Jessie menunggu Pak Burhan membolak-balik berkas-berkas pendaftaran. Sesekali kepalanya manggut-manggut. “Yaa, yaa, yaaa,” gumamnya.

Perut Jessie mulas.

Pak Burhan mendongak. Ia menutup berkas-berkas pendaftaran Jessie. “Mbak Jessie saya terima bekerja di Radio Siul sebagai penyiar.”

“B— bagaimana, Pak?” Jessie tak yakin dengan yang barusan ia dengar. “S— saya diterima apa, Pak? Bagaimana, Pak?”

Pak Burhan mengembangkan senyum. “Diterima bekerja sebagai penyiar di Radio Siul.”

B—bagaimana bisaa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status