Tante Clarrisa hampir saja menjatuhkan gelasnya. Ia seperti melihat Jessie berjalan bersama Om Wisman menuju lobi penginapan. Dengan tangkas ia kembali menahan sehingga gelas minumannya tidak jatuh dan pecah.
“Ada apa, Clarrisa?” tanya Pak Burhan.
“Oh, tid – tidak apa-apa. Tanganku cuma sedikit basah. Kena embun es di permukaan gelas. Hampir saja tergelincir, tapi tidak apa-apa,” jawabnya dengan tersenyum manis.
Pak Burhan mengangguk. Ia kembali pada pembicaraan ringan tentang bisnis villa dan penginapan di pulau ini. Sepertinya menjanjikan. Pak Burhan juga ingin mendirikan penginapan tapi menurutnya selama setahun ke depan lebih ia melakukan investasi terlebih dulu saja.
Tante Clarrisa kembali melayangkan pandangan. Ia tak lagi melihat keponakannya. Jalanan menuju lobi hotel dipenuhi oleh tamu-tamu hilir mudik yang tak dikenalnya. ‘Mungkin aku kecapekan,’ batin Tante Clarrisa letih. Ia menenggak mojito-nya. Ia mengernyitkan wajah lalu merasakan kemepyar yang
Pakansi Jessie kali ini tidak berjalan dengan lancar. Ia hanya ngendon di kamar. Om Wisman keluar sesuai keperluan, lalu kembali menghabiskan waktu dengan kekasih gelapnya.“It’s okay…,” katanya santai. “Rencana tidak harus berjalan sesuai kenyataan. Lagian, aku sudah sering liburan. Agak-agak gagal begini, kan, membikin pakansi kali ini jadi agak-agak berwarna.”Jessie merasa tidak enak. Tapi, kalau dipikir-pikir bukan salahnya juga kalau Tante Clarrisa dan Pak Burhan berada di tempat yang sama. Om Wisman tidak menyebut apa-apa tentang Clarrisa. Laki-laki itu juga tidak menyebut apa-apa tentang Pak Burhan. Jessie pun memilih untuk tidak bertanya padahal sebenarnya ia sangat penasaran.Mengapa Tante Clarrisa ada di sini? Dengan siapa dia datang – nunut undangan grand-opening party siapa, nih? Jangan-jangan Tante Clarrisa dibawa Pak Burhan?Jessie segera menepis kemungkinan. Sepertinya tidak mungkin kalau Tante Clarrisa dibawa Pak Burhan. Mereka kenal dari man
Jessie berusaha mengingat-ingat siapakah John Burgundy. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Ia juga seperti pernah melihat wajah dengan rahang tegas itu. Tapi ia tak ingat sama sekali pernah bertemu di mana. Barangkali hanya sama nama dan sama wajah saja. John Burgundy dengan wajah tegas dan sorot mata disiplin bisa jadi siapa saja. Barangkali manajer di salah satu resort atau villa tempat ia dan Om Wisman berpakansi. Saking banyaknya Jessie tak mampu mengingat satu demi satu dengan detail.“Selamat datang di Flowery-Rose Ice Cream Resto, Nona Jessie,” sambut John dengan ramah. Sorot matanya tulus. Sikapnya begitu mengayomi. “Saya harap Anda mendapatkan banyak ilmu untuk menggantikan posisi saya kelak. Saya sangat bangga bisa membimbing Nona Jessie untuk menjadi yang terbaik.”Mommy terlihat sangat bahagia. Ia senang anak perempuannya akhirnya mau memegang salah satu cabang anak perusahaannya. Resto yang kecil-kecil dulu nggak apa-apa, deh, Jessie sudah mau terlibat sa
Ponsel milik John mendentingkan notifikasi. Laki-laki itu cepat memeriksa pesan singkat yang dikirim Papi. ‘Siap memegang anak perusahaan di Cina, John? Perusahaan top. Nomor satu. Omzet ratusan milyar. Kepemimpinan John di sana pasti bisa membuatnya lebih pesat lagi.’John termenung-menung. Tawaran yang datang tepat pada waktunya. Selepas dari Flowery-Rose Ice Cream Resto sebaiknya ia pindah saja. Menjadi bos dan tak lagi jadi manajer di perusahaan orang lain benar-benar penawaran yang bagus. Sungguh, laki-laki itu selalu tertantang setiap kali diserahi tugas baru. Terutama tantangan membuat perusahaan menjadi semakin pesat maju.Hanya satu yang membuat John Burgundy masih bertahan sudi menjadi karyawan orang lain. Ia masih ingin mendapatkan cinta Lisa. Gadis cantik, muda, dan sukses. Sayangnya, gadis itu arogan luar biasa. Sulit dikendalikan.“Kalau aku berhasil sekali saja membuat Lisa takluk, aku akan terima tawaran Papi,” janji John
“Es krim! Aku suka banget es krim! Ini buatku?” pekik Reni kesenangan. Sengak dan wibawa yang dibikin-bikin kayak biasanya mendadak lenyap. Ekspresinya kegirangan seperti anak SD yang mendapat mainan kesukaan.“Iya, Mbak. Ini buat teman-teman di sini. Eh, di sini cuma ada aku, Mbak Reni, Sisil, dan Mas Bambang, ya? Hehe. Yaa, buat kita semua,” jawab Jessie. “Tapi boleh ambil banyak-banyak. Aku juga bawa banyak banget.”“Sisanya simpan di freezer aja!” saran Reni.Jessie mengangguk. Ia membiarkan penyiar senior yang super-duper galak itu mengambil jatah premannya terlebih dulu. Ia tak menyangka Reni si jutek langsung berubah jadi ramah dan baik setelah diberi es krim.“Aku seneng banget sama es krim. Kecilnya dulu keluargaku orang susah. Mau es krim aja nggak bisa langsung beli. Kudu ngumpulin banyak duit dulu,” lanjut Reni.‘Oh, oke…,’ gumam Jessie di dalam hati. ‘
Serrr….Jessie baru saja mengambil air putih di dapur. Tenggorokannya haus sekali. Ia banyak makan es krim di sela istirahat lalu kembali siaran. Bambang bertugas dengan semangat. Pasti karena banyak makan es krim juga. Reni tidak kelihatan batang hidungnya. Beberapa cup es krim berbagai rasa berkurang banyak dari freezer almari es. Mestinya dibawa gadis sengak itu di kamar karyawan. Dinikmati sendiri sampai mabuk lalu kekenyangan dan ketiduran.Segelas air putih dihabiskan. Haus di tenggorokan berkurang. Masih satu jam lagi jam siarannya. Jessie meregangkan tubuhnya. Lalu memutar pinggang hingga bunyi bergemerutuk.Serrr….Bulu kuduk Jessie meremang. Sekelebat bayangan hitam terlihat di pintu kaca pembatas koridor studio dan halaman belakang kantor. Ada yang barusan lewat.“Siapa, ya?” tanya Jessie. Ia melangkah pelan. Barangkali ada orang asing yang iseng biar dibentaknya pergi.Jessie melongok keluar. Pintu dibuka sedikit. Angin mala
Ckrekk… ckrekk… ckrekkk….Jessie mencoba melepaskan pelukan Om Wisman yang terlalu erat. “Ih, Om. Jangan main peluk-peluk di ruang terbuka gini, dong. Malu kalau dilihat orang?”“Ini jam kerja, Sayang. Aku tidak bisa membawamu check-in ke hotel bintang tujuh lalu kita pelukan di sana.”Ckrekk… ckrekk… ckrekkk….Seketika itu juga wajah Jessie bersemburat merah. Dengan cepat ia menguasai kesadaran dirinya. Jangan sampai baper: karena digombali Om Wisman dan ini masih jam kerja – di ruang publik lagi. Pandangan Jessie bertatapan dengan Pak Sopir. Laki-laki yang bekerja sebagai sopir pribadi Om Wisman segera menyunggingkan senyum dan menggangguk sebagai bentuk sapaan. Jessie membalas sapaan itu dengan melakukan hal yang sama.“Ngapain kamu?” tanya Om Wisman menyelidik. Pelukannya sudah dilepaskan.“Kerja, Om,” jawab Jessie. “Om sendiri ngapain ke sini?”“Memeriksa keadaanmu,” Om Wisman ganti menjawab pertanyaan. “Pesan-pesanku tidaak kamu balas.
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl