“Kopinya, Bang.”
Aku hanya melirik saja ketika secangkir kopi yang masih mengepul terhidang di depanku.
Aku yang masih asik berbalas pesan dengan beberapa teman seprofesi, sengaja tak menghiraukan ucapan Shanti. Bahkan, ketika dia pergi dan datang lagi dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
“Bang, aku masak hari ini. Coba dicicip.”
Dia menawarkan.
Aku melirik masakannya, terlihat menggiurkan. Tapi, seleraku lenyap seketika saat melihat wajahnya.
Tuhan, ampuni aku yang belum bisa memaafkannya.
“Abang, gak lapar?”
Shanti terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan. Membuatku merasa kasihan juga.
“Abang cicip, gih.”
Sebenarnya, aku tak tega mendiamkan dia seperti ini. Terlebih Shanti sudah berusaha berubah tiga hari terakhir ini. Dia tak lagi ke luar rumah, ke salon atau arisan bersama dengan teman-temannya.
Ada perubahan yang baik saat dia tak lagi mengutak-atik ponsel untuk belanja online. Benda yang biasanya tak pernah lepas dari tangannya itu pun hanya tergeletak berhati-hati di tempat yang sama.
Untuk masalah dengan pria selingkuhannya itu, aku masih enggan membahasnya. Kutolak saat Shanti ingin mengatakan jati diri pria itu dan tentang hubungan mereka. Bagiku, apa yang kulihat dan kudengar di dalam mobil itu sudah cukup sebagai kesimpulan.
“Bang Rohan ampuni aku. Jangan siksa aku dengan diam seperti ini. Ngomonglah walaupun itu akan menyakitkan untukku. Aku siap menerima akibatnya, asalkan kita bisa seperti dulu lagi.”
Shanti kembali merengek dan menangis, seperti siang itu.
“Bang, aku-“
“Sudah, cukup!” potongku. “Aku gak mau membahasnya lagi. Oke, aku makan.”
Kuangkat sendok yang ada di atas piring, lalu memulai menyuap. Rasanya enak, cukup di lidah saja. Ke hati tetap tak ikhlas menikmati. Hanya demi telinga yang tak ingin mendengar rengekan dan tangisan saja.
Shanti mengamati sampai makanan yang dia hidangkan ludes tak tersisa. Sedangkan aku cukup merasa kenyang. Andai saja saat seperti ini terjadi jauh-jauh hari, pasti akan terasa sangat menggembirakan. Di mana Shanti yang memang jarang memasak, tiba-tiba membuat menu masakan yang lumayan enak. Tapi, keadaan berbeda. Bahkan, setiap sendok makanan hanya numpang lewat saja di tenggorokan, tanpa bisa kurasakan kenikmatannya.
Tiba-tiba ponsel berdering. Sebuah panggilan telepon dari Roni. Dia menawarkan seorang pelanggan padaku.
“Oke, bisa. Aku pergi sekarang juga.”
Ponsel langsung kumatikan. Tak lupa menghabiskan sisa kopi yang mulai menghangat, lalu bergegas menyambar jaket dan topi.
“Abang pulang jam berapa?” tanya Shanti sebelum sempat kulangkahkan kaki melewati pintu.
“Entah. Mungkin malam,” jawabku sekenanya. Semenjak peristiwa itu, aku memang sering ngumpul di warung kopi.
Shanti menatapku di tepian pintu. Wajahnya terlihat pucat dan tak terurus. Mungkin kebanyakan menangis. Entahlah, aku malas menebaknya.
Selanjutnya, aku memacu kuda besi. Menjemput rejeki untuk Fikri, harapanku satu-satunya yang masih tersisa.
*
Waktu sudah hampir Maghrib saat aku beristirahat beberapa menit di depan sebuah masjid. Berniat menghabiskan waktu di sini sekalian berjamaah, tetapi bau badan mengajak untuk segera pulang, lalu membersihkan diri.
Akhirnya, kulangkahkan kaki menuju mobil, berniat pulang. Baru saja akan masuk, pandanganku menangkap sosok yang tak asing lagi sedang berlari kecil menyeberangi jalan.
“Shanti. Mau ke mana dia?”
Dituntun oleh rasa penasaran, diam-diam aku mengikutinya.
Mau ke mana dia? Kenapa terlihat terburu-buru?
Kupikir dia akan berbelanja, tapi mana mungkin, sedangkan dia sudah menenteng sebuah paper bag.
Shanti melewati beberapa toko baju dan swalayan. Langkahnya berhenti. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti sedang memastikan tidak ada orang yang mengikutinya. Lalu, melanjutkan langkah menuju ke sebuah gang.
Aku mengikutinya dengan perasaan was-was. Sebab, gerak-geriknya cukup mencurigakan.
Dia berbelok ke sebuah rumah. Eh, bukan rumah, tapi sebuah bengkel.
Hah, bengkel? Ada urusan apa dia di sana?
Aku mendekat, dan semakin dekat padanya. Tentu saja masih dengan sembunyi-sembunyi.
Kulihat Shanti sedang berbicara dengan seorang pekerja yang sudah bersiap-siap mau pulang. Tak lama kemudian, pekerja itu masuk dan ke luar bersama dengan seorang pria.
Mereka berbincang bertiga, lalu pria yang pertama pergi mengendarai sepeda motor. Tinggal Shanti dan pria kedua yang ada di sana. Ada urusan apa mereka?
Tapi tunggu dulu. Aku seperti mengenali pria itu.
Hari yang mulai gelap membuat pandanganku tak terlalu jelas. Aku memutuskan mendatangi mereka. Pikiranku berkecamuk karena menebak bahwa pria itu ... pria yang sama dengan kekasih Shanti.
Setelah berada di jarak yang semakin dekat, maka sudah dapat kupastikan keduanya adalah mereka, istriku dan selingkuhannya.
“Bagus sekali kelakuan kalian.”
Mereka terperanjat, menoleh bahkan menggeleng seakan tak percaya.
“Bang Rohan!” kejut Shanti.
"Jadi, ini kelakuanmu di belakangku? Kamu masih menemuinya, sementara kata maaf saja belum kamu dapatkan."
"Abang, kamu salah sangka."
"Cukup, Shanti. Penglihatanku masih normal. Kamu pikir aku buta, ha?"
"Abang, aku-"
"Tak perlu beralasan lagi. Saat ini juga, tak usah pulang ke rumah."
Aku berpaling, lalu pergi. Tak kuperdulikan lagi teriakan Shanti yang terus memanggil.
Hatiku sudah beku, dan mungkin juga sudah mati rasa.
****
“Bang, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku. Itu tadi takseperti pikiran burukmu!”Shanti mengejarku saat aku turun dari mobil. Rupanya, dialangsung naik taksi dan mengejar mobilku saat aku pergi tadi.“Bang Rohan!” panggilnya lagi. Kali ini dia memaksa menghentikanaku dengan cara menarik lengan jaketku.“Dengerin dulu, atau kita akan malu dilihat para tetangga.”Dia menunjuk kontrakan sebelah di mana beberapa orang masih mengobraldi teras.“Malu sama mereka,” ucapnya lagi.“Kamu yang membuat malu. Tingkahmu sudah gak bener,”sahutku.“Iya, Bang. Aku sadar, aku--.”“Sudah-sudah! Gak usah ribut-ribut. Kamu dengar suara azan,enggak?” Aku memotong ucapannya.Suara azan Maghrib yang menggema menjadi pemisah perdebatankami. Aku bergegas masuk, diikuti Shanti yang ternyata masih sesenggukan.Halah, cuma akting!*Aku melepas peci dan meletakkannya di atas meja, usai melaksanakankewajiban tiga rekaat. Kemudian duduk di kursi dekat meja tersebut sambilmengamati seorang yang masih duduk di pingg
Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberik
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Aku berjongkok di depan kolam renang sambil menikmatisegelas kopi dan menghabiskan sisa-sisa rokok. Sehabis makan siang tadi,aku berpindah tempat ke bagian samping rumah ini. Sekedar mengambil udara.Sejenak menyendiri, tiba-tiba teringat akan diri Shanti. Tak terasa sudah dua Minggu berpisah dengannya. Rasanyarindu juga.Beruntung sekarang punya kesibukan, sehingga hanya saat-saatsendiri begini baru teringat padanya.Di sini, di kediaman pak Baskoro ini aku diterima denganbaik. Dengan para pekerja lainnya juga mulai akrab. Rata-rata mereka malahsungkan padaku, padahal seprofesi, sama-sama sopir. Tukang kebun dan parapembantu juga pada segan.Kata mereka, aku sedikit berbeda dari mereka. “Mas Rohan kansopir merangkap asisten pribadinya non Rena. Ya jelas berbeda dengan kita,”kata pak Mun, si tukang kebun.“Rohan!”Sebuah teriakan mengagetkan aku. Suaranya berasal darilantai atas. Aku memutar kepala dan mendongak, Rena tampak melambai.“Naiklah! Aku butuh bantuanmu!”“Baik, Non.”Aku m