“Bang, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku. Itu tadi takseperti pikiran burukmu!”
Shanti mengejarku saat aku turun dari mobil. Rupanya, dialangsung naik taksi dan mengejar mobilku saat aku pergi tadi.
“Bang Rohan!” panggilnya lagi. Kali ini dia memaksa menghentikanaku dengan cara menarik lengan jaketku.
“Dengerin dulu, atau kita akan malu dilihat para tetangga.”
Dia menunjuk kontrakan sebelah di mana beberapa orang masih mengobraldi teras.
“Malu sama mereka,” ucapnya lagi.
“Kamu yang membuat malu. Tingkahmu sudah gak bener,”sahutku.
“Iya, Bang. Aku sadar, aku--.”
“Sudah-sudah! Gak usah ribut-ribut. Kamu dengar suara azan,enggak?” Aku memotong ucapannya.
Suara azan Maghrib yang menggema menjadi pemisah perdebatankami. Aku bergegas masuk, diikuti Shanti yang ternyata masih sesenggukan.
Halah, cuma akting!
*
Aku melepas peci dan meletakkannya di atas meja, usai melaksanakankewajiban tiga rekaat. Kemudian duduk di kursi dekat meja tersebut sambilmengamati seorang yang masih duduk di pinggir ranjang sejak tadi.
Matanya sembab, bahkan masih sesenggukan.
“Bang ....” ucapannya terhenti oleh isakan yang kini malah berubahmenjadi tangis.
“Aku tadi berniat mengembalikan barang-barang pemberiannya. Hubungankami sudah berakhir. Pas dia tau Abang sopir itu, kami bertengkar dan langsung mengakhirihubungan kami. Maafkan aku, Bang ....”
Dia kembali menangis, mengusap bawah matanya menggunakan punggungtangan.
“Aku menyesal. Aku mau dihukum apa saja. Tolong ampuni aku.”
Ucapannya terdengar menyakitkan di telingaku. Bagiamana mungkinmemaklumi kesalahannya yang sudah setinggi gunung itu? Kesalahan apapun bisa sajadengan mudah kumaafkan. Tapi, bagaimana jika sudah menginjak-injakharga diriku?
“Coba Abang lihat.”
Dia meraih paper bag, lalu mengeluarkan seluruh isinya ke atas ranjang.
“Ini barang-barang pemberian dia selama ini. Aku berniat mengembalikannyatadi. Aku gak bohong.”
Dia berusaha menjelaskan. Tapi, bagiku itu tak berarti apa-apa.
“Sudah berapa lama hubungan kalian?” tanyaku ketus.
“Setengah tahun.”
Rupanya, sudah sedemikian lama perselingkuhan itu terjadi. Barang-barang mahal itu buktinya, HP, cincin dankalung emas, jam tangan branded dan beberapa pakaian yang biasa Shanti pakai.
“Sejauh mana hubungan kalian? Sudah berapa banyak uang yang dia berikan padamu? Sudah berapa kali kalian menghabiskan waktu di hotel?” tanyaku beruntun.
Meskipun aku tau,jawabannya akan lebih menyakitkan dari sebelumnya, tapi aku perlu tau bahwa hubunganmereka sebenarnya sebuah keisengan atau karena dilandasi cinta.
“Sejauh mana!” bentakku dengan suara lantang.
Bukannya menjawab, Shanti malah menutup wajahnya dengankedua tangan.
“Aku tau, aku banyak sekali kekurangan. Aku gak bisa memenuhisemua keinginanmu untuk hidup mewah. Tapi, aku gak menyangka kamu akan tega berbuatsehina ini.”
“Aku enggak menjual diri, Bang. Dia memberikannya suka rela.”
“Dan kalian zina atas dasar suka sama suka kan?”
Shanti tergugu. Dia tak menjawab.
“Kalian saling mencintai. Kalau enggak, gak mungkin dia memberikanbarang-barang itu. Gak mungkin juga kamu mau ditiduri kalau gak cinta. Lak--natkamu, Shanti!”
Suaraku menggema memenuhi seisi kamar. Mungkin juga terdengaroleh tetangga sebelah. Aku tak perduli, bahkan ketika tangisan Shanti berubah manjadiraungan yang menyayat hati.
Panas. Dadaku rasanya ingin meledak. Aku bangkit danberjalan ke luar.
“Abang ....”
Panggilan Shanti menghentikan langkahku tepat di ambang pintu. Aku menoleh padanya. Menatap dengan rasa benci. Rasa sayang yang dulu pernah ada, tiba-tiba menguap entah ke mana.
“Ampuni aku ....”
“Aku gak bisa untuk saat ini. Kita bertahan sampai Fikri liburandan kembali ke pondok. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang ke bapak.”
“Abang ... jangan begitu ....”
Blum!
Aku menutup pintu dengan kasar. Tak kuperdulikan lagi teriakandan tangisannya.
Aku ... serasa sudah mati bersama dengan hilangnya harga diriini.
*
Hari yang kunantikan sudah tiba, di mana kudapati seorang anakyang sudah mulai remaja itu ke luar melewati gerbang dengan senyumnya yang terus mengembang.
Di sebelahnya, sang ibu menggandengnya dengan suka cita.
Aku berjalan menyambut mereka. Seakan menunjukkan pada duniabetapa hubungan kami itu sangat sempurna.
Miris.
***
Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberik
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus
Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang. Namun
“Aku kan sudah punya pekerjaan? Apa kamu mau memecatku?” tanyaku, bingung.“Bo—doh! Pekerjaan lain maksudku. Siapa tau cocok. Kamu gak harus bekerja denganku kalau sudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Buruan!”“Tapi ....”“Halah! Kamu kan sudah gak punya istri. Buat apa menunggurumah yang kosong?”“O-oke. Tunggu sebentar.”Aku bergegas ke dalam. Menyiapkan syarat yang diminta olehRoni, kemudian pergi. Rumah kutingglkan dalam keadaan kosong. Jelas kosong,karena hanya aku satu-satunya penghuni.“Ayo!”Roni terlihat lebih bersemangat dibandingkan denganku.Semenjak aku dan Shanti bertengkar, dialah tempatku mengeluh.“Ke mana, sih?” tanyaku.“Ada kerjaan untuk tenaga ahli komputer di kantor punyatemanku. Kamu bisa melamar ke sana.”“Kenapa nggak ngomong? Lihat penampilanku?”Aku menunjuk tubuh sendiri. Kaos oblong, celana jeanssobek-sobek dan rambut yang acak-acakan.“Gampanglah. Kita ke salon dulu, sekalian mengganti bajugembelmu itu.”“Sialan lo!”“Eh, ngomong-ngomong, aku mau kas
“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Aku berjongkok di depan kolam renang sambil menikmatisegelas kopi dan menghabiskan sisa-sisa rokok. Sehabis makan siang tadi,aku berpindah tempat ke bagian samping rumah ini. Sekedar mengambil udara.Sejenak menyendiri, tiba-tiba teringat akan diri Shanti. Tak terasa sudah dua Minggu berpisah dengannya. Rasanyarindu juga.Beruntung sekarang punya kesibukan, sehingga hanya saat-saatsendiri begini baru teringat padanya.Di sini, di kediaman pak Baskoro ini aku diterima denganbaik. Dengan para pekerja lainnya juga mulai akrab. Rata-rata mereka malahsungkan padaku, padahal seprofesi, sama-sama sopir. Tukang kebun dan parapembantu juga pada segan.Kata mereka, aku sedikit berbeda dari mereka. “Mas Rohan kansopir merangkap asisten pribadinya non Rena. Ya jelas berbeda dengan kita,”kata pak Mun, si tukang kebun.“Rohan!”Sebuah teriakan mengagetkan aku. Suaranya berasal darilantai atas. Aku memutar kepala dan mendongak, Rena tampak melambai.“Naiklah! Aku butuh bantuanmu!”“Baik, Non.”Aku m
Lewat tengah malam pak Baskoro dan aku ke luar dari sebuah kafe miliknya. Beliau mengajakku bertemu dengan seorang bawahannya, pak Adam, lalu aku pun diberi kesempatan untuk mendengarkan. Mereka membicarakan masalah suatu bisnisyang sedang mereka rancang. Sedikit banyak, aku mulai paham.Hanya itu saja. Aku hanya mendengarkan, setelah itu tidakada yang di bebankan ke padaku. Termasuk laptop yang kubawa pun menganggur. Tak tau rencana pak Baskoro melibatkan aku dalam pertemuan itu. Padahal, bisa saja beliau menyuruhku menunggu di luar.“Kamu perhatikan sikap Adam tadi?” tiba-tiba beliau menanyakan hal yang membuatku bingung, saat dalam perjalanan pulang.Aku tak menjawab, hanya meliriknya melalui kaca.“Bingung?” tanyanya lagi.“Iya, Pak,” akuku.“Kamu bakal tau,” ucapnya.Apa maksudnya? Sama sekali tak tertebak..Suara alarm berdering nyaring membangunkan aku. Semalam,untuk pertama kali mendiami kamar yang sudah dipersiapkan oleh Rena.Jam enam pagi aku bersiap-siap untuk pulang, kar