“Kamu pasti heran kenapa saya menjadikan kamu orang kepercayaan saya?”Pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Dia paham ekspresi wajahku seperti apa saja ini. Dan aku hanya bisa mengangguk saja.“Ya, karena kamu punya kemampuan. Ketika beberapa kali melihatmu membantu Renata, saya yakin kamu bisa. Hanya saja, saya butuh faktor pendukung lainnya untuk memutuskan apakah saya memilihmu atau tidak.”Setiap tuturnya, seperti membawa hawa sejuk di hatiku. Aku merasa disanjung. Tapi, aku yakin pak Baskoro memutuskannya bukan karena hanya melihatku pernah membantu putrinya. Dia pasti punya maksud terselubung. Otak politikus, mudah ditebak.“Maaf, saya masih belum mengerti maksud pak Baskoro,” ujarku.“Oke. Terang-terangan saja saya bicaranya. Jadi begini, Rohan.” Pak Baskoro memindahkan tangannya ke atas meja, menatapku dengan tajam, lalu mulai bertutur kembali.“Saya hentikan kamu dari sopir pribadi. Kamu saya angkat menjadi orang kepercayaan saya. Tugas kamu, memegang data penting perusahaan
Dua di antara empat pembegal itu tanpa aba-aba langsung menyerangnya. Terlihat pria itu sedikit kewalahan. Tetapi akhirnya dia bisa membuat dua orang tadi terkapar. Maka, dua orang yang semula membekapku juga turun tangan. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebilah pisau.Mereka menyerang secara membabi buta. Dua orang ini terlihat nekat dan semakin brutal. Hingga naas, pria itu terkenal sayatan pisau. Tidak hanya mengaduh, dia juga setengah terkapar di jalanan.Saat itu, Udin punya kesempatan untuk mengambil balok di pinggir jalan, kemudian memukulkannya pada salah seorang pembegal yang memegang pisau. Melihat itu, mereka langsung lari. Apalagi apa yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan.Aku dan Udin buru-buru membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Dia mendapatkan luka yang cukup serius, dua puluh jahitan sepanjang bahu kiri hingga lengan.Aku hanya menunggu di mobil, karena masih syok dengan kejadian yang baru saja kualami.Udin lah yang mengurus pria itu.Saat Udin mem
“Cantik, enggak?”“Cantik.”“Cocok ‘kan, Bang?”“Iya.”“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya."Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti
“Shanti!”Dunia seakan berhenti berputar sepersekian detik, sebelum akhirnya kusambardua lembar uang ratusan ribu, lalu buru-buru memalingkan wajah. Pria itu masih melongo.“Kamu mengenalnya, Sayang?” Suara pria itu terdengar. Tak ada jawaban dari Shanti.“Silahkan ke luar. Saya buru-buru harus menjemput pelanggan yang lain,” ucapku beralasan. Sengaja mendahului ucapan mereka sebelum terjadi keributan.“Ayo, Sayang.”Pria itu terlihat menarik tangan Shanti. Setidaknya terlihatdari kaca. Untuk pertama kali melihat benda itu selama perjalanan tadi. Rasanya... entahlah. Aku seperti tidur siang dan berharap terbangun, lalu semua akanmemudar seiring terbukanya mataku. Tapi kenyataannya, aku tetap saja melihatsosok mereka berdua.“Maaf, bisa tinggalkan mobil saya!” pintaku setengahmembentak. "Hei, sabar, dong, Bung!" Dia membalas."Iya, iya, aku turun. Sudah jangan ribut," sahut Shanti.Blem!Ketika pintu sudah tertutup, aku langsung menancapkan gas.Tak menoleh lagi ataupun berusaha tau a
“Kopinya, Bang.”Aku hanya melirik saja ketika secangkir kopi yang masih mengepul terhidang di depanku.Aku yang masih asik berbalas pesan dengan beberapa teman seprofesi, sengaja tak menghiraukan ucapan Shanti. Bahkan, ketika dia pergi dan datang lagi dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.“Bang, aku masak hari ini. Coba dicicip.”Dia menawarkan.Aku melirik masakannya, terlihat menggiurkan. Tapi, seleraku lenyap seketika saat melihat wajahnya.Tuhan, ampuni aku yang belum bisa memaafkannya.“Abang, gak lapar?”Shanti terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan. Membuatku merasa kasihan juga.“Abang cicip, gih.”Sebenarnya, aku tak tega mendiamkan dia seperti ini. Terlebih Shanti sudah berusaha berubah tiga hari terakhir ini. Dia tak lagi ke luar rumah, ke salon atau arisan bersama dengan teman-temannya.Ada perubahan yang baik saat dia tak lagi mengutak-atik ponsel untuk belanja online. Benda yang biasanya tak pernah lepas dari tangannya itu pun hanya tergeletak b
“Bang, tunggu dulu! Dengarkan penjelasanku. Itu tadi takseperti pikiran burukmu!”Shanti mengejarku saat aku turun dari mobil. Rupanya, dialangsung naik taksi dan mengejar mobilku saat aku pergi tadi.“Bang Rohan!” panggilnya lagi. Kali ini dia memaksa menghentikanaku dengan cara menarik lengan jaketku.“Dengerin dulu, atau kita akan malu dilihat para tetangga.”Dia menunjuk kontrakan sebelah di mana beberapa orang masih mengobraldi teras.“Malu sama mereka,” ucapnya lagi.“Kamu yang membuat malu. Tingkahmu sudah gak bener,”sahutku.“Iya, Bang. Aku sadar, aku--.”“Sudah-sudah! Gak usah ribut-ribut. Kamu dengar suara azan,enggak?” Aku memotong ucapannya.Suara azan Maghrib yang menggema menjadi pemisah perdebatankami. Aku bergegas masuk, diikuti Shanti yang ternyata masih sesenggukan.Halah, cuma akting!*Aku melepas peci dan meletakkannya di atas meja, usai melaksanakankewajiban tiga rekaat. Kemudian duduk di kursi dekat meja tersebut sambilmengamati seorang yang masih duduk di pingg
Meja yang biasanya hanya berisi satu atau dua lauk saja, kini berubah seperti ala rumah makan. Shanti memasak banyak macam menu akhir-akhir ini.Sebenarnya, bagiku ini sesuatu yang asing, karena biasanya rasa masakan di rumah dengan yang biasa kunikmati di warung makan cenderung sama. Shanti memilih membeli dengan alasan aku lebih sering makan di luar. Jadi, dia pun lebih banyak makan makanan di luar pula. Tidak menyangka juga jika kesempatan itu disalah gunakan sampai terjadi sebuah kesalahan fatal.“Di sana, aku gak pernah makan makanan sebanyak ini.”Tiba-tiba Fikri berkomentar. Ia masih lahap menyantap meskipun sudah masuk piring kedua. Memandangnya seperti itu, aku jadi merasa senang. Setidaknya mengubur sejenak rasa sakit hati.“Makan yang banyak. Besok, ibu akan masak sebanyak ini lagi.” Aku menanggapi.“Nggak usah banyak-banyak. Nanti mubazir kalau gak habis.” Fikri membalas.“Nggak ada yang mubazir di sini, Fikri. Tuh, tetangga kita pun banyak. Nanti setelah ini, biar diberik
Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.*Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembus