Saat cinta mematikan logika, aku menganggap Shanti adalah sebaik-baik istri. Tapi, ternyata dia tega berbuat zalim di belakangku. Sepasang penumpang yang memesan taksiku rupanya adalah istriku sendiri bersama dengan selingkuhannya. Aku marah. Marah sekali, merasa terhina dan harga diriku seperti ditelanjangi. Aku merencanakan sesuatu untuk membuat peringatan. Tapi ragu, karena ada hati yang harus dilindungi. Apa yang akan aku katakan pada Fikri, anak semata wayang kami tentang hubungan kami nanti?
View More“Cantik, enggak?”
“Cantik.”
“Cocok ‘kan, Bang?”
“Iya.”
“Abang, coba lihat. Pas ke badanku 'kan baju yang kubeli online kemarin?”
Shanti berlenggok di depanku, kemudian berpindah ke depan cermin yang ada di kamar kami. Dia memutar badannya beberapa kali guna memamerkan baju baru yang memang cocok sekali di badannya.
“Memangnya kamu mau ke mana? Abang baru saja pulang kerja, loh?”
“Mau keluar sebentar. Ketemu sama teman-teman. Lagian, Abang kerjanya 'kan cuma duduk sambil nyetir mobil. Gak capek-capek amat 'kan?”
“Maunya, ya pas abang di rumah, kamunya juga di rumah.”
“Halah cuma sebentar. Nanti semalaman aku temanin. Mau berapa ronde? Mau sampai pagi juga boleh. Sudah ah, temenku sudah menunggu.”
Shanti memaksa pergi. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya.
"Abang istirahat saja. Pasti ngantuk habis perjalanan jauh. Persiapkan tenaga untuk nanti malam." Setelah berucap, Shanti benar-benar pergi.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Seperti biasanya, dia tak mendengarkan laranganku.
*
Masih terlalu awal untuk tidur siang. Aku hanya tergolek di ranjang sambil memikirkan banyak hal. Tentang Shanti yang mulai boros, tentang tabungan yang mulai menipis dan tentang masa depan kami yang masih menjadi tanda tanya.
Saat mata ini mulai lelah dan hampir saja terpejam, tiba-tiba ponsel di saku bergetar tanda panggilan masuk.
Aku menekannya, lalu terdengar suara khas temanku.
“Mau duit, gak? Ada langgananku yang minta dijemput sekarang juga, tapi aku gak bisa karena lagi menemani istriku lahiran. Dia minta dicarikan driver,” ucapnya tanpa basa-basi.
“Oke,” jawabku bersemangat. Pikirku, rejeki tak boleh dilewatkan.
“Aku kirimkan alamatnya.”
Setelah itu panggilan terhenti. Tak lama kemudian, sebuah pesan darinya pun masuk.
Gegas aku bersiap-siap. Menyambar topi dan jaket yang masih terbungkus plastik. Kemudian, pergi mengejar si rejeki.
Aku meluncur menuju alamat yang diberikan oleh temanku. Tak lupa sebelumnya sudah menghubungi customer yang bersangkutan.
Lima menit kemudian, aku berhasil menemukan seseorang yang kucari. Pria bertubuh gempal, tinggi dan putih memasuki mobilku.
“Maaf, lama menunggu,” ucapku.
“Gak pa-pa. Saya sedang terburu-buru sebenarnya. Tapi, gak apa-apa terlambat beberapa menit.”
“Iya, maaf.”
“Kalau saya, sih gak masalah, tapi pacar saya suka ngambek kalau saya datangnya telat. Dia gak punya waktu banyak soalnya.”
“Iya, maaf, maaf.”
Aku mengerti arti kata menunggu. Terlebih untuk orang-orang tertentu yang memiliki keterbatasan waktu. Maklum, tinggal di kota besar bermacam-macam kesibukan yang mereka lalui. Dan aku adalah salah satu orang yang menghargai waktu.
“Kita jemput pacar saya dulu, baru ke hotel,” ucapnya.
“Hotel?”
Tiba-tiba aku nyeletuk. Maksudnya heran saja, karena dia mengaku sekadar pacar, tapi kok berakhirnya ke hotel.
“Kami biasa menghabiskan waktu di sana. Maaf, jadi curhat.”
“Santai saja. Banyak pelanggan saya yang suka cerita dalam perjalanan begini.”
“Saya percaya, sih. Oya, kita berhenti di depan salon Anjani. Pacar saya menunggu di sana.”
Salon Anjani?
Tak asing di telingaku, karena beberapa kali Shanti mengaku sedang di sana saat kutelepon. Mungkin secara kebetulan saja salonnya sama.
Aku menghentikan mobil tepat di depan salon yang dia sebutkan. Menunggu beberapa saat sampai penumpangku ke luar dan masuk kembali.
“Lama menunggu, Sayang. Maaf, ya?” ucap si pria pada wanitanya. Aku tak berani menoleh, karena harus memutar arah saat kondisi jalan padat sekali.
“Hu’um,” jawab si wanita.
Aku terfokus ke jalanan, dan berusaha mencari celah di antara mobil-mobil yang merambat.
“Aku sudah membelikan hadiah untukmu. Tapi, kita buka nanti saja setelah sampai hotel,” ucap di pria lagi.
Tak ada sahutan dari si wanita. Yang terdengar hanya suara desa—han si wanita yang entah diapakan oleh pria itu.
Ingin kutegur, tapi tak jadi. Karena sebentar lagi sampai di tempat tujuan mereka.
“Ahh ....”
Suara si wanita semakin meresahkan. Aku jadi teringat Shanti karenanya. Sialan memang, saat-saat begini malah teringat yang enak-enak.
Untung sudah sampai di hotel. Aku segera menghentikan mobil, dan mempersilahkan penumpangku untuk turun.
“Terima kasih banyak. Kembaliannya ambil saja,” ucap si pria.
Aku menoleh ke belakang untuk meraih bayaranku. Tetapi yang terjadi adalah, aku langsung memandang wajah lain yang bersama pria itu.
“Shanti!”
****
Dua di antara empat pembegal itu tanpa aba-aba langsung menyerangnya. Terlihat pria itu sedikit kewalahan. Tetapi akhirnya dia bisa membuat dua orang tadi terkapar. Maka, dua orang yang semula membekapku juga turun tangan. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebilah pisau.Mereka menyerang secara membabi buta. Dua orang ini terlihat nekat dan semakin brutal. Hingga naas, pria itu terkenal sayatan pisau. Tidak hanya mengaduh, dia juga setengah terkapar di jalanan.Saat itu, Udin punya kesempatan untuk mengambil balok di pinggir jalan, kemudian memukulkannya pada salah seorang pembegal yang memegang pisau. Melihat itu, mereka langsung lari. Apalagi apa yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan.Aku dan Udin buru-buru membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Dia mendapatkan luka yang cukup serius, dua puluh jahitan sepanjang bahu kiri hingga lengan.Aku hanya menunggu di mobil, karena masih syok dengan kejadian yang baru saja kualami.Udin lah yang mengurus pria itu.Saat Udin mem
“Kamu pasti heran kenapa saya menjadikan kamu orang kepercayaan saya?”Pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Dia paham ekspresi wajahku seperti apa saja ini. Dan aku hanya bisa mengangguk saja.“Ya, karena kamu punya kemampuan. Ketika beberapa kali melihatmu membantu Renata, saya yakin kamu bisa. Hanya saja, saya butuh faktor pendukung lainnya untuk memutuskan apakah saya memilihmu atau tidak.”Setiap tuturnya, seperti membawa hawa sejuk di hatiku. Aku merasa disanjung. Tapi, aku yakin pak Baskoro memutuskannya bukan karena hanya melihatku pernah membantu putrinya. Dia pasti punya maksud terselubung. Otak politikus, mudah ditebak.“Maaf, saya masih belum mengerti maksud pak Baskoro,” ujarku.“Oke. Terang-terangan saja saya bicaranya. Jadi begini, Rohan.” Pak Baskoro memindahkan tangannya ke atas meja, menatapku dengan tajam, lalu mulai bertutur kembali.“Saya hentikan kamu dari sopir pribadi. Kamu saya angkat menjadi orang kepercayaan saya. Tugas kamu, memegang data penting perusahaan
POV RohanHidup memang dihadapkan pada banyak pilihan. Kehidupan yang dijalani pada dasarnya merupakan hasil dari pilihan-pilihan.Aku sendiri tidak selalu bisa membuat keputusan yang tepat, kendati sudah melakukan banyak pertimbangan. Apapun keputusan akhirnya, pasti membawa ke dalam jurang penyesalan.Betapapun kusadari, bahwa melalui kesalahan dan kegagalan dalam hidup, maka bertambah kedewasaan itu. Jadi, tidak guna terus menyesali pilihan. Mestinya, belajar dari kegagalan dan menjadi lebih bijaksana ke depannya.Itu harapku.Tetapi lagi-lagi, tinggal bijaksana seperti apa dulu yang sudah menjadi keputusan saat ini. Walaupun mungkin, Shanti masih menganggapku tidak adil karena tidak memberinya pilihan. Tapi, yang jelas, luka batinnya tidak begitu dahsyat jika dibandingkan dengan lukaku..Kuantarkan Shanti ke terminal, sekadar menjalankan tugasku yang terakhir. Mungkin setelah ini, kutemui dirinya sebagai sosok yang lain, yaitu sang mantan.Aku mengamati dari kejauhan. Shanti meno
POV ShantiKupandangi foto di atas meja. Seorang anak yang tersenyum sedang bergandengan dengan empat teman lainnya. Pakaian yang dikenakannya membuat sejuk, mengenakan baju koko putih, memakai sarung dan lengkap dengan pecinya. Tampan, sepert bapaknya.Tidak ada foto lain yang tersisa. Bang Rohan hanya membawa foto Fikri seorang ke kontrakan barunya. Sedangkan foto kami bertiga, foto-foto pernikahan dan foto-foto kebersamaan keluarga kecilnya, tidak tampak lagi saat ini.Mungkin bang Rohan sudah menyembunyikannya, atau bahkan mungkin sudah membakarnya.Maafkan aku, bang . Aku merusak bangunan rumah tangga yang sudah susah payah kita bangun berdua. Batinku merintih.Tak dapat lagi kubendung air mata ini.Menyesal, dan sangat sakit menerima kenyataan pahit ini.Berkali-kali kusentuh handphone. Berharap ada sebuah panggilan atau pesan yang tertinggal di sana, tapi tak ada. Harapanku musnah. Bang Rohan enggan menghubungiku, bahkan ketika aku tinggal di rumah kontrakannya.Bang, tak adaka
“Mencintai tidak harus memiliki. Justru dengan tidak memiliki bisa saling mendoakan. Andai kamu bisa ikhlas menerima keputusan Rohan, andai saja kamu menyadari bahwa pucuk permasalahannya ada sama kamu, kamu nggak akan seegois ini.Biarkan dia pergi, menentukan keputusannya. Dia akan bahagia tanpa kamu, dan kamu pun bisa melanjutkan hidupmu tanpa dia. Simple kan?” Aku berusaha menanggapi dengan tenang.Shanti tertunduk. Menarik tangannya yang sedari tadi kuusap dengan lembut. Mungkin ucapanku tidak akan dia dengar. Aku yakin itu. Kesimpulannya, dia menginginkan Rohan, entah bagaimana caranya. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pendengar, tanpa bisa memberikan solusi. Dan itu sangat Menyakitkan bagiku.Apa yang dia pikirkan tentang diriku, tentang perasaanku pada suaminya adalah sebuah kekeliruan.Aku mencintai suaminya, dan dia sadar itu. Dengan begitu,dia berharap aku bisa mengalah, lalu membantunya. Mana bisa begitu. Sedangkan Rohan, tidak bisa tertebak di mana sisi hatinya berdiri.
“Shan,” panggilku yang kemudian membuatnya menatapku. Anehnya hanya sesaat saja, lalu dia tertunduk. Bahkan terdengar isakannya.“Kenapa menangis?” tanyaku.Dia menggigit bawah bibirnya, seperti sedang menahan rasa sakit.“Aku sudah kehilangan dia,” jawabnya.Aku menghela nafas. Merasa prihatin. Sebab, aku pun pernah merasakan perasaan yang sama. Sangat mencintai, berharap memiliki, tetapi dihadapkan pada pilihan harus melepas perasaan itu karena tidak mungkin memilikinya.“Aku ikut prihatin. Sabar, ya.”Aku berusaha menguatkan. Terdengarnya lucu, di balik berita yang seharusnya membuatku gembira. Tapi aku tak setega itu.“Aku pikir, kamu akan bisa membantuku, “ ucapnya.“Membantu? Membuatnya kembali padamu?” Aku menebak dengan mudah.“Iya. Kamu kan temannya.”“Kami nggak seakrab yang ada dalam pikiranmu, Shan. Rohan itu tertutup, termasuk permasalahan kalian.”“Tapi setidaknya kamu bisa membujuknya.”Sebuah keinginan yang sulit.Aku menegakkan punggung sebagai respons ketegangan pad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments