Share

Hancurnya Sebuah Hati

“Shanti!”

Dunia seakan berhenti berputar sepersekian detik, sebelum akhirnya kusambardua lembar uang ratusan ribu, lalu buru-buru memalingkan wajah. Pria itu masih melongo.

“Kamu mengenalnya, Sayang?” Suara pria itu terdengar. Tak ada jawaban dari Shanti.

“Silahkan ke luar. Saya buru-buru harus menjemput pelanggan yang lain,” ucapku beralasan. Sengaja mendahului ucapan mereka sebelum terjadi keributan.

“Ayo, Sayang.”

Pria itu terlihat menarik tangan Shanti. Setidaknya terlihatdari kaca. Untuk pertama kali melihat benda itu selama perjalanan tadi.

 Rasanya... entahlah. Aku seperti tidur siang dan berharap terbangun, lalu semua akanmemudar seiring terbukanya mataku. Tapi kenyataannya, aku tetap saja melihatsosok mereka berdua.

“Maaf, bisa tinggalkan mobil saya!” pintaku setengahmembentak. 

"Hei, sabar, dong, Bung!" Dia membalas.

"Iya, iya, aku turun. Sudah jangan ribut," sahut Shanti.

Blem!

Ketika pintu sudah tertutup, aku langsung menancapkan gas.Tak menoleh lagi ataupun berusaha tau apa yang mereka lakukan.

Tanganku gemetar, bahkan nafas yang sedari tadi menahan luapanemosi pun masih terengah-engah.

Shanti! Istriku!

Aku menggeleng berkali-kali. Rasa tak percaya memenuhi isikepala. Panas rasanya seperti terbakar. Tiba-tiba kepala berdenyut hebat.Tenaga terporsir, kurang tidur dan kurang istirahat membuat tubuh ini lemah.

Aku memacu mobil lebih cepat dan sampailah di depan sebuahrumah. Sudah ada dua mobil yang terparkir di sana. Dengan segera, aku memasukirumah itu.

“Cepet amat,” tegur pria pemilik rumah ini sambil menggendong seorang bayi. “Kenapa kusut begitu?” tanyanya lagi.

Apakah kondisiku sedemikian memprihatinkan sehingga bisaterbaca olehnya?

Aku tak menjawab. Hanya memberi respons sebuah senyuman singkat. Kurogoh saku celana, lalu mengeluarkan kunci mobil dan meletakkannyadi atas meja. Selanjutnya, aku mengenyakkan bokong di sofa.

“Pusing,” keluhku menanggapi pertanyaan dia sebelumnya.

“Pulang sono. Kurang istirahat mungkin,” tebaknya.

Aku memilih memijit pelipis dan tak ingin menanggapi.

“Pilih saja mau pakai mobil lama atau yang baru. Sementarawaktu, aku mau santai-santai dulu, sambil menemani istri dan si baby ini,”ucapnya.

“Oya, semua pelangganku akan kuoper untukmu. Seperti katakutadi, aku mau fokus ke anak dan istri. Katanya kamu mau cari tambahan buat DPrumah? Ayo, semangat!” ucapnya lagi, tapi aku semakin loyo mendengarnya.

Dari dalam kamar keluar seorang wanita paruh baya yang meminta si baby untuk disu--sui.

“Dipanggil istrimu, tuh, minta disuapin,” ucap si ibu.

“Masuklah. Aku juga mau pulang. Kubawa mobil lama saja,deh.” Aku bangkit, lalu meraih kunci mobil lain di atas meja.

Tanpa basa-basi langsung ke luar dari rumah itu, rumah yangbiasa kusinggahi. Rumah Roni, sahabatku dari kampung.

Aku berjalan menuju mobil yang biasa kupakai. Namun, tatapanku tak sengaja mengarah ke satu mobil yang baru saja kupakai. Tiba-tiba,pikiranku berkecamuk.

Andai aku tidak memakai mobil baru itu, tentu tak kualamikejadian naas ini. Tapi, haruskah kusesali? Bukankah akan lebih baik begitu?Karena berkat mobil baru itu terkuak perselingkuhan Shanti di belakangku.

Entahlah.

Pastinya, Tuhan punya cara untuk menunjukkan kuasanya.

.

Cuaca yang menyengat semakin membakar hatiku yang memangsudah memanas. Sampai juga di depan rumah. Bukan rumahku, tapi sebuahkontrakan.

Rasanya, tak sanggup menjejakkan kaki ke dalam sana. Rumahdi mana tempat aku dan Shanti menghabiskan waktu hampir dua tahun ini. Setelah sebelumnya aku tinggal di rumah mertua. Tapituhuhku butuh berbaring untuk meringankan beban. Terlalu besar guncangan yang mendadak kualami hari ini.

Ternyata Shanti belum pulang saat aku memasuki rumah. Tega.Tak ada ot-aknya.

Hati yang panas ini menuntunku untuk langsung menuju lemari,di mana setumpuk pakaiannya tersusun rapi di sana. Tangan inisegera menurunkan sebuah koper di atas lemari.

Dengan gerakan cepat, kuangkat tumpukan pakaian, lalu memasukkan seluruh pakaian Shanti ke dalam sana. Semua pakaian, tanpa terkecuali, bahkan yang bergelantungan di belakang pintu pun menjadi penghuni koper ini.

Penuh, sesak hingga tak bisa digerakkan resletingnya.

Saat aku memaksa koper itu agar bisa menutup, tiba-tibapintu di buka dengan kasar.

“Abang!”

Shanti berteriak memanggil. Ketika mendapati koper sudah terisi penuh dengan pakaiannya, ia menggeleng tak percaya.

“Bang Rohan ampuni aku ....”

Shanti berlari, lalu bersimpuh di kakiku.

“Abang ... aku salah. Maafkan aku, ampuni aku ....”

Shanti meraung dan mengiba. Tangisannya itu malah membuatkumuak. Teringat kembali suara desa—han dalam mobil tadi. Tanganku hampir sajamelayang jika tak ingat pesan bapaknya sebelum kami merantau kemari. Hal itu hampir membuatku kalap.

“Abang ... tolong kasih kesempatan untuk bertaubat. Akumenyesal.”

Dia tergugu, tapi rasa sakit ini terlalu besar untuk menganggap kesalahannya sebuah kekhilafan. Aku tak bisa.

Bersamaan dengan suara tangisan Shanti yang masih menggema, ponselkupun tiba-tiba berdering nyaring.

“Halo,” sambutku. Suara Shanti mendadak ditahan. Mungkin malukalau sampai terdengar menangis.

“Halo, Bapak, assalamualaikum.” Suara Fikri terdengar dariseberang panggilan.

“Waalaikumsalam, Nak. Ada apa? Apa kiriman uang bapakkurang?” tanyaku khawatir. Sebab, Fikri biasa menelepon jika ada kepentingandarurat, seperti membutuhkan uang misalnya.

“Bukan, Pak. Bapak bisa jemput Fikri Minggu depan kan? Dipondok sudah selesai ulangan umum. Minggu depan sudah libur,” ucapnya dengansuara lembut.

“Oh, kirain kamu kenapa-kenapa. Iya, bisa bapak akan jemput, jangan khawatir,” balasku.

“Iya, Pak. Jangan lupa ibu diajak juga, ya? Kan ibu sudah janji mau membelikan hadiah kalau Fikri dapat juara,” ucapnya membuatpermintaan. Terbayang rona bahagia wajah bocah dua belas tahun itu ketika tersenyum saat menerima hadiah.

Sejenak, kupandangi wanita yang memang mendengar percakapan kami. Aku mendesah pendek, ada yang terasa menghimpit di dalam sini. Sebuah beban yang teramat berat.

“Bapak.”

“Iya,” jawabku cepat.

“Ya sudah, ya, Pak, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku melempar ponsel ke atas ranjang, lalu menyentak kaki agar terlepas dari Shanti. Langkahku gontai menuju ranjang, dan duduk dengan lemas di sana.

“Ampuni aku, Bang. Enggak mungkin Bang Rohan gak sayang denganku. Aku mohon. Demi Fikri.”

Shanti mengiba dengan suara pilu.

Bisa saja keinginannya kutepis. Sebab, harga diriku sudah sedemikian hina saat ini, tak ada harganya. Tapi, bagaimana dengan permintaan Fikri?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status