"Apa tidak berlebihan untuk selalu memanjakan Mbak aruni, kau terlalu mengikuti keinginannya, Mas, itu sama sekali tidak elok dilihat," tegurku pada suamiku yang saat itu sedang bermain ponsel. Ia nampak kelelahan dan penat sekali dengan pekerjaannya, seharusnya aku tidak membahas hal itu tapi aku sudah tidak tahan lagi.
"Apa kau mendengarku?" "Ya, ya." Dia menjawab tapi tatapan matanya tidak memandang ke arahku. "Ingat Mas, yang harus dinafkahi adalah anak dari kakakmu, Gilang, bukan ibunya! Tanggung jawab nafkah ibunya kembali kepada walinya." "Aku mengerti Itu, jangan kau ulang-ulang lagi aku juga mengerti Hanifah. Aku hanya bertekad menafkahi mereka setidaknya sampai anak itu berusia 12 tahun." Apa? Jantungku bergemuruh mendengar suamiku menyebut kata 12 tahun. Masya Allah, anak itu baru 5 tahun berarti 7 tahun lagi, mereka masih punya kesempatan untuk berbahagia dengan uang suamiku. Sebenarnya aku ikhlas bersedekah, tapi tidak dalam keadaan diperas dan ditekan seperti ini, seakan-akan wanita itu adalah istri suamiku dan berkuasa atas kehidupannya. "Sampai 12 tahun katamu, Mas? baru 2 tahun menafkahi saja kau sudah kehabisan banyak uang, bahkan kita tidak bisa merenovasi rumah atau upgrade kendaraan kita, tabungan terkuras habis dan itu semua karena kau terlalu fokus pada mereka." "Iya, kau benar, Han. Aku benar-benar minta maaf, aku hanya kasihan pada keponakanku yang sudah kehilangan figur ayahnya, aku tidak mau ibunya lalai atas pengasuhan anak tersebut, sehingga dia kurang kasih sayang dan perhatian lalu tumbuh menjadi anak nakal." "Masalah nakal atau tidaknya itu kembali kepada mental dan didikan anak tersebut, Mas. Kau telah memberikan yang terbaik selama ini sampai kau nyaris lalai pada keluargamu sendiri." "Aku tidak lalai." "Sebut saja begitu, tapi sebagai Istri dan anakmu, kami merasa di-anak tirikan." "Hah?" Suamiku terbelalak dengan perkataanku. "Iya, Mas, aku mulai merasa bahwa kau mengesampingkan dan meremehkan kami. Wanita itu minta pakaian dan uang bedak kau langsung mengirimkannya, sementara kau sama sekali tidak memperhatikan apa yang kubutuhkan." "Tapi aku sudah memberimu uang Hanifa, dan kau bisa beli apa yang kau inginkan tanpa harus bertanya dulu padaku." Lihat bagaimana cara dia membela dirinya! "Bukan tentang uangnya, Suamiku! Ini tentang perhatian dan kasih sayangmu. Bila kau bersikap baik pada wanita itu dan menawarkan apa kebutuhannya maka tentunya kau bisa lakukan lebih baik dari itu kepadaku istrimu," balasku. "Aku tak mengerti, kenapa kau seakan cari perhatian dan seolah-olah iri dengan wanita yang sudah janda itu! Kau tidak lihat bahwa jelas kau lebih beruntung darinya. " "Oleh karena dia jandalah, aku harus berhati-hati Mas. Apa kau ingat kalau ipar adalah maut!" "Aku tidak akan mati karena dia! Apa kau sama sekali tidak paham!" Suamiku memutar bola mata dan mulai kasar. "Astaga capek bicara denganmu Mas, kau tidak paham maksudku! Aku mengerti kau menyantuni mereka tapi kau harus ingat adab, wanita itu bukan mahram jadi kau harus menjaga jarak!" "Astaghfirullah, kaulah yang tidak paham Hanifah! Aku hanya membantu keponakanku agar hidup dengan baik dan tidak kekurangan peran orang tuanya! Jika dia sudah cukup besar, maka aku bisa mengurangi intensitas perhatianku pada mereka. Jangan memintaku untuk berhenti peduli dan menyayangi keponakanku, dia darah daging keluarga kami!" "Kalau begitu bawa anak itu ke sini, biar kita yang mengurus dan menyayanginya sementara Ibunya bisa bekerja dan menentukan pilihan hidupnya sendiri!" "Tidak, aku tidak setuju. Sebaik-baiknya pertumbuhan anak adalah dengan orang tuanya Mengapa kau ingin memisahkan keponakanku dengan ibunya!" "Astaga, Mas...." Demi Tuhan aku kehilangan kata-kata, bibirku kelu serta tenggorokanku tercekat seketika, aku merasa tertekan dan panas hati dengan cara paling jengkel sedunia, sedang aku tidak bisa melampiaskannya, sehingga aku hanya menjatuhkan diri di tempat tidur sambil menahan air mata. Aku belakangnya dirinya yang masih duduk di kursi dan bermain game. Kesal, geram dan sakit hati luar biasa. ** Keesokan harinya. "Mana dompetku?" Aku yang masih sakit hati enggan menjawab pertanyaannya, malah aku sama sekali tidak menyapa atau menegurnya. Kulakukan rutinitas pagi tanpa memandangnya sedikitpun. "Apa kau dengar, mana dompetku?" "Di meja rias." Lelaki itu menghela nafas melihat kekesalanku. "Loh mana kartu ATMku, mana uang yang di dompet ini?" "Sudah kusimpan semuanya, hanya kulisahkan uang bensin dan makan untukmu!" "Apa maksudmu?" "Jika kau tidak bisa mengendalikan pengeluaranmu! Maka aku akan ya lakukan itu untukmu. Lagipula, aku juga ingin perubahan dalam kehidupan kita, jadi akan kutabung uangnya dan kumanfaatkan sebaik mungkin!" "Jadi ini kau lakukan karena pembahasanmu yang semalam?" "Ya, karena aku tidak mau kau lebih fokus pada kakak iparmu dibandingkan istrimu sendiri!"*Menjelang liburan ke Eropa, intensitas kesibukanku semakin meningkat, aku harus memberikan pembekalan pada tim marketing dari orang-orang yang ada di toko agar menjaga kinerja mereka selama aku tidak berada di Indonesia. Aku juga melatih asisten rumah tangga dan penjaga anak-anak agar mereka tetap disiplinkan seperti biasa. Hanya libur di hari Sabtu dan Minggu dan tetap melakukan les tambahan belajar di hari biasa. Tak lupa juga kutekankan agar para pengasuh tetap menyuruh anak-anak disiplin beribadah, juga kuberitahu asisten rumah tangga baru untuk mengurusi obat herbal mertuaku. Mereka harus minum itu setiap pagi sebelum sarapan, jadi asisten harus menyiapkannya dalam keadaan hangat. *Keberangkatanku ke Eropa adalah hal yang paling membuatku antusias. Setelah tujuh bulan menikah, untuk pertama kalinya aku dan Mas Renaldi akan punya waktu berdua saja tanpa kehadiran anak-anak dan kerabat lainnya. Benar-benar hanya aku dan dia saja tanpa asisten atau bodyguard yang mengikuti ka
*"Kulihat-lihat usahamu maju ya," ucap Lorena saat dia berkunjung ke butik tempat mendesain produk dan menjual barang. Aku yang cukup kaget dengan kedatangannya hanya bisa tersenyum sambil mengangguk tipis. "Iya, Alhamdulillah.""Aku tahu kau tak senang aku datang ke sini.""Tidak juga, hanya saja... tumben." Aku sedikit bingung kenapa dia mengunjungiku, ada kecanggungan di antara kami yang membuat aku dan dia hanya saling menatap tanpa bicara lagi."Apa kau senang dengan bisnis ini.""Aku senang, merasa beruntung ada tim marketing dan support yang memadai. Mas Renaldi memberiku kesempatan dan dukungan, tanpa dia mustahil merkku terjual dengan cepat.""Aku yang memberinya saran untuk menggunakan tim marketing dan orang-orang yang terpilih.""Kalau begitu terimakasih," balasku pada wanita berambut panjang itu."Ya kau pantas mendapatkannya."Aku tertawa karena untuk pertama kalinya dia bilang aku pantas mendapatkan sesuatu. "Tumben.""Dipikir-pikir kau memang pantas mendapatkanny
"gimana aku nggak marah kalau kamu nggak adil. Kamu juga membiayai wanita yang unik itu untuk membuka usaha dan memberikan sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. Jomplang sekali dengan pelayananmu pada anak kita.""Kalau begitu biarkan clarra bersamaku, biar dia tinggal denganku maka akan kuberikan perusahaan itu untuknya!"Wanita itu terdiam sepertinya dia keberatan untuk menyerahkan clarra kepada Mas Rinaldi karena jika Clara pindah bersama kami maka wanita itu tak akan punya cara lagi untuk mendapatkan uang bulanan dari Mas Renaldi. Hebat sekaligus licik sekali, saat dia sendiri sudah punya suami tapi masih mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Lima ratus juta perbulan, untuk uang sekolah dan kebutuhan Clara yang sebenarnya tidak akan sebanyak itu. Tapi aku tidak punya hak untuk keberatan pada pemberian suamiku untuk anaknya, itu adalah urusan pribadi yang tidak boleh diganggu gugat."Pulang dan nikmati hidup dengan suamimu, bukankah kau sangat mencintainya! Selagi aku masih m
Sesuai dengan janji Mas Renaldi yang akan pergi ke sekolah anak-anak demi menegur orang-orang yang telah mengganggu mereka dan meminta kepada gurunya agar lebih berhati-hati. Suamiku mengunjungi tempat itu pukul 10.00 pagi dan dikabarkan padaku oleh asisten pribadinya Pak Dedi. Pria yang sudah 15 tahun jadi asisten Suamiku itu bilang kalau Mas Renaldy mengancam kepala sekolahnya, dia bilang tidak boleh Ada kesenjangan di sekolah tersebut, meski muridnya berasal dari latar belakang yang berbeda. "Bukan cuma anak orang kaya atau indo saja yang boleh menikmati fasilitas bagus, bahkan anak-anak dari kalangan menengah ke bawah dan latar belakang biasa saja mereka bisa menikmati pendidikan yang lebih baik dari sekolah umum.""Oh dia bilang begitu ya pak?""Iya Bu, Bapak juga bilang kalau tindakan bullying ini masih berlanjut maka beliau akan melaporkan ini ke dinas pendidikan dan mengadakan rapat pertemuan wali murid yang bisa berujung pada penutupan sekolah.""Wah, itu menakutkan juga Pa
Kilau matahari menerangi kamarku, desir angin meniupkan tirai kamar yang terbuat dari kain satin, pintu balkon meniupkan hawa dingin ke arahku.Lembut gaun satin yang membungkus tubuh seakan memanjakanku, ditambah dengan nyamannya tempat tidur dan mewahnya kamar kami, aku seperti seorang ratu di istana sendiri. "Kalau pintunya terbuka berarti Mas Renaldi sudah pergi," gumamku sambil bangun dari tempat tidur dan menyibak selimut.Saat membuka pintu kamar, asisten rumah tangga yang kebetulan lewat menyapa dan membungkuk hormat. "Selamat pagi Nyonya l, mau sarapan apa pagi ini? Mau dibawakan ke kamar atau sarapan bersama mertua nyonya. ""Tidak apa, saya akan ambil sendiri," balasku. Terbiasa mengurus diriku sendiri sedikit membuatku canggung saat seseorang menawariku hendak makan apa dan diantar ke mana. "Nyonya ada kegiatan hari ini, kalau ada kami akan siapkan pakaiannya.""Tidak ada Mba, terima kasih atas bantuannya.""Dengan senang hati Nyonya," balasnya sambil tersenyum dan mela
Setelah menenangkan anak-anak atas insiden yang terjadi di meja makan, aku langsung menemui suamiku yang sedang menghibur putrinya di ruang keluarga lantai dua. Gadis cantik dengan gaun berwarna peach itu, nampak begitu murung dan menundukkan kepalanya. "Maafin papa ya, kamu baru berkunjung ke sini dan sudah menyaksikan keributan kami.""Ga apa Pa, aku sudah lama mau ketemu papa juga.""Keadaannya sekarang Papa sudah punya istri kamu nggak papa kan?""Iya.""Kamu sudah kenalan sama tante Hanifah?""Belum sempat.""Kalau begitu mari kita berkenalan," ucapku kepada anak itu sambil mendekat dan berjongkok di hadapannya. "Namaku Hanifah, namamu siapa?""Clarissa putri," balasnya. "Kamu cantik sekali, garis wajahmu sangat mirip dengan kedua orang tuamu," pujiku sambil membelai perlahan di pipi gadis kecil itu, mata indah dan hidungnya yang mancung mirip ayahnya, sementara garis bibir dan wajahnya mirip ibunya. Dia tak bosan dilihat, fitur wajahnya seperti perpaduan antara orang Indonesi