Dengan rasa penasaran yang makin menggebu, Khumaira turun dari mobil sambil membawa oleh-oleh yang telah dipersiapkan untuk mertuanya.
Raut wajah yang penuh selidik menemani setiap langkah Khumaira. Jantungnya mendadak berdebar seakan ada firasat yang nantinya akan membuatnya mengetahui sesuatu yang mengejutkan.Apakah benar, Mas Gifar ada di rumah Ibu? Lantas buat apa dia ke sini? Bukankah dia berpamitan ke luar kota tentang bisnisnya?“Maaf, Bu. Ada acara apa ya?” tanya Khumaira kepada seorang wanita yang belum lama ini keluar dari rumah Laela.Rasa penasaran itu sudah tak tertahan, hingga Khumaira memberanikan diri mencari tahu kepada orang yang tak dikenali.“Oh ini, Mbak. Bu Laela lagi ngadain syukuran. Tapi, mereka sengaja tidak memberi tahu secara jelas syukurannya untuk apa. Katanya, yang penting sudah berniat, tidak perlu diumbar secara jelas lagi ke orang-orang. Bu Laela emang kadang gitu, Mbak. Orangnya suka merendah. Duluan ya, Mbak.” Sambil tersenyum, wanita itu berpamitan kepada Khumaira.“Oh iya, Bu,” balas Khumaira seraya tersenyum pula.“Syukuran? Memangnya syukuran untuk apa? Lalu, Mas Gifar kenapa nggak cerita apa-apa?”Penjelasan dari wanita itu malah membuat rasa penasaran semakin besar. Khumaira kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah rumah Laela. Ia ingin segera melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.Jantung Khumaira yang berdebar ditambah dugaan-dugaan yang datang di pikiran, menjadikan wanita berhijab itu memasang wajah serius bercampur cemas.“Mas Gifar?” ucap Khumaira kala sepasang matanya melihat suami yang dicintainya memakai peci bersebelahan dengan seorang wanita berkerudung putih.Karena mendengar namanya dipanggil, Gifar seketika menoleh. Juga wanita yang ada di sebelahnya.“Se—sesil?” Begitu kagetnya ketika Khumaira mengenal siapa wanita yang ada di sebelah Gifar.“De—dek? Kenapa kamu ada di sini?”Dengan tergagap, seraya melepaskan peci, Gifar menghampiri Khumaira. Wajahnya berubah pucat seakan darahnya berhenti mengalir.“Mas, harusnya aku yang tanya begitu sama kamu.”Gifar yang tampak kebingungan, berusaha mengalihkannya dengan mengambil alih oleh-oleh yang ada di tangan Khumaira dan meletakkannya di lantai tak jauh dari mereka berdiri.“I—ibu ada acara. Jadi, beliau menyuruhku untuk mampir sebentar, Dek. Lalu, dia hanya pembantu di rumah ini, Dek.”Mata Gifar melirik sebentar ke arah Sesil untuk memberikan alasan yang menurutnya paling masuk akal agar rahasianya masih tetap tersimpan dengan aman.“Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa, Mas?”“Soalnya acaranya mendadak, Dek.”Ya, kebohongan demi kebohongan harus terlontar dari lisan seorang Gifar. Ia tak menyangka kalau istri tercintanya malah memergoki kebohongan yang sengaja dirahasiakan.“Sil, ternyata kamu kerja di rumah mertuaku? Kenapa bisa sangat kebetulan? Lalu, apa benar kamu nggak sempat pegang ponsel di rumah Ibu?”Kini, Khumaira bertanya bahkan menginterogasi sahabatnya yang selama ini dirindukannya itu.Namun, secara tiba-tiba, Sesil menghampiri Khumaira dan langsung memeluknya.“Maafkan aku, Khuma. Sebenarnya aku boleh pegang ponsel, tapi aku nggak mau mengganggumu. Aku juga malu karena kerjaku hanya sebagai pembantu. Apalagi di rumah mertuamu.”Khumaira tak langsung menjawab. Ia melepaskan pelukan yang Sesil lakukan. Ada hal lain pula yang membuat Khumaira merasa janggal.“Dek, kamu mengenalnya?” tanya Gifar yang makin terkejut.“Iya, Mas. Dia sahabatku,” jawab Khumaira dengan senyum yang terpaksa.Tanpa sadar, Gifar membuang pandangannya. Hatinya kian hancur karena wanita yang menjadi istri keduanya malah sahabat dari istrinya sendiri.Aku harus bagaimana sekarang? Kenapa mereka malah saling mengenal?“Aku sangat merindukanmu, Khuma? Selama empat bulan ini, aku meminta maaf kepadamu. Aku mengganti nomor agar tidak mengganggumu, Khuma,” ucap Sesil lagi dengan wajahnya yang dibuat sedih.“Khumaira? Ngapain kamu ke sini?”Laela yang datang dari arah belakang langsung bertanya tanpa menghargai perasaan Khumaira sama sekali.“Ibu, Khumaira kan menantu Ibu. Dia datang ke sini pasti ingin menemui Ibu.”Meski Gifar ikut syok dengan kehadiran Khumaira, ia tidak bisa diam saja saat Laela malah meremehkan menantunya sendiri. Bahkan di hadapan Sesil. Itu bisa diartikan kalau memang Laela tidak menyukai Khumaira dan Sesil semakin merasa di atas angin.“Setidaknya, berpenampilanlah yang menarik. Bukan seadanya begitu.” Laras masih mencari-cari alasan untuk menjatuhkan harga diri menantunya.“Ibu!”“Gi, lihat Sesil yang hanya pembantu di rumah ini kan? Dia saja bisa berpenampilan menarik, harusnya Khumaira bisa menjaga penampilannya juga dong.”Gemuruh tentu terjadi di dalam hati. Khumaira terkesan selalu salah di mata Laela. Padahal, Khumaira sudah berusaha semaksimal mungkin agar terlihat rapi dan menarik di mata mertuanya.“Maaf, Bu. Aku memang tak sepandai Sesil dalam ber-make up. Dia memang serius belajar mempercantik diri, sedangkan aku memang kurang mendalaminya, Bu.”“Itu paham kan? Padahal Sesil hanya pembantu loh, tapi malah pantas jadi istrinya Gifar,” celetuk Laela yang sebenarnya ingin mengungkapkan identitas asli dari Sesil.“Ibu! Ibu ngomong apa sih!” bentak Gifar tanpa disadari. Dia sangat ketakutan kalau kenyataan itu terungkap detik itu juga.“Kamu jangan bentak Ibu ya, Gi. Tidak sopan namanya. Untung acaranya sudah selesai. Jadinya tidak ada orang yang melihat sikapmu yang kurang sopan begitu.”“Ibu kalau ngomong jangan asal begitu dong, Bu. Khumaira itu istriku, jangan bandingkan sama dia yang hanya pembantu di rumah ini.”“Gifar! Kamu juga yang sopan ngomongnya. Ingat, Gi—““Iya, Bu. Cukup! Jangan diteruskan,” potong Gifar sebelum Laela malah mengungkapkan kebenaran itu.“Dek, kenapa kamu datang ke sini sendirian? Kamu juga nggak pamitan sama aku. Kenapa kamu melakukannya, Dek?” Gifar sengaja mengalihkan pembicaraan.“Iya, kenapa bikin orang jadi kaget karena kedatanganmu, Khuma? Apalagi tidak meminta izin dulu sama suamimu. Kamu sudah nggak butuh Gifar lagi?” Laela terus saja mengusik ketenangan Khumaira.“Ibu ....” Gifar mengatakannya penuh penekanan.“Mas, aku akan menjelaskannya, Mas. Sebelumnya, aku minta maaf sama kamu. Kenapa aku ke sini sendirian dan nggak pamitan sama kamu, itu karena kamu memang ada bisnis di luar kota. Aku nggak mau buat kamu jadi ke pikiran, Mas. Kalau tahu kamu mau ke sini, aku pasti akan mengatakan semuanya. Setidaknya, kabari aku lewat WA kalau ada acara syukuran di rumah Ibu dan kamu lagi ada di sini, Mas.” Perkataan itu kembali membuat hati Gifar terasa nyeri.“Terus, aku tetap datang ke sini karena nggak enak sama Ibu. Aku sudah lama nggak datang menemui Ibu. Jadi, aku mengusahakan yang terbaik seperti ini, Bu. Aku bukan tidak membutuhkan Mas Gifar, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku bukan wanita manja. Aku bisa menjenguk mertua meski Mas Gifar lagi sibuk sama pekerjaannya. Hanya itu maksudku, Bu.” Khumaira pun menjelaskannya kepada Laela, meski entah akan didengar atau tidak.“Aku juga sangat terkejut, ternyata, sahabatku yang selama empat bulan ini tidak ada kabar malah ada di rumah ini. Dia bekerja di sini sebagai pembantu sampai mengganti nomornya dengan alasan tidak mau menggangguku. Padahal dia sahabat yang selalu ingin kuhubungi, mana ada kata-kata mengganggu untuknya. Terlepas alasan itu benar atau tidak, aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Sil. Apalagi sepertinya kamu betah kerja di sini. Baru empat bulan, tapi tubuhmu sudah terlihat lebih berisi dari terakhir aku melihatmu. Kamu pasti betah tinggal di sini kan, Sil?”Kejanggalan lain yang Khumaira rasakan memang tentang tubuh berisi yang kini Sesil miliki. Yang Khumaira tahu, Sesil begitu memperhatikan penampilannya. Tentang make up pun, dia begitu terampil dan sungguh-sungguh mempelajari.“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.