LOGINAkibat kecelakaan yang dialaminya, Nadia mengalami luka di bagian perut yang sangat serius. Selain kehilangan kedua bayi, rahim Nadia pun harus diangkat. Dan kini ... ia koma.“Kami minta Anda terus berdoa. Kondisi Bu Nadia sampai saat ini, belum stabil. Tapi kami sudah melakukan yang terbaik,” ujar dokter.Bryan mengangguk. Ia meminta izin untuk menemui Nadia karena hanya Bryan, selaku suaminya yang diperbolehkan masuk.Padahal setengah enam pagi tadi, Bryan baru bertolak dari Malang. Kemarin jenazah Twins langsung dibawa ke Malang dengan ambulans untuk dikebumikan di sana. Kedua orangtuanya masih menemani Adelia di rumahnya sedangkan Sharman bersama Devan turun tangan mengurus proses pemakaman Septi di sini.Ruang ICU sunyi. Hanya bunyi alat monitor yang terdengar. Tubuh Nadia dibalut alat-alat medis. Selang pernapasan tertancap di mulutnya. Napasnya tersengal, dijaga oleh mesin.Bryan mendekat. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan yang dulu selalu mengusap pipinya dengan le
Sebuah mobil jeep yang menabrak mereka buru-buru kabur dari tempat kejadian.Pengunjung swalayan yang berada di parkiran segera melihat keadaan mereka. Bryan dan Adelia akan menjemput Nadia memelankan laju mobilnya ketika melihat mobil ambulans dan keramaian di seberang jalan gerbang perumahan 'Andalusia.'"Ada kecelakaan, Pak?" tanya Bryan menurunkan kaca mobilnya."Iya, dua orang wanita. Kayaknya yang satu sudah meninggal. Wanita yang hamil mungkin kondisinya kritis karena waktu diangkat tadi, bajunya juga penuh darah.""Hah! Wanita hamil? Jangan-jangan Mbak Nadia, Mas!" seru Adelia panik.Dada Bryan seketika terasa nyeri, sebenarnya dari tadi pagi firasatnya kurang enak. Dan tumben sekali, Nadia ketika nunggu antrean periksa tadi memintanya mengelus perutnya. Twins seolah demo dalam perut istrinya itu, hingga Nadia meringis ketika melihat gerakan yang aktif di perutnya."Kita ikuti ambulans, itu, Mas ... untuk memastikannya karena kuhubungi ponsel Mbak Nadia tidak diangkat."•Adel
Hari-hari Nadia makin berwarna ketika membersamai Septi mengasuh kedua putranya. Sesuai harapannya teman kecilnya itu, tinggal di rumahnya bersama Sindy.Nadia juga sering menginap di rumah pemberian Bryan itu. Kadang ia meminta bantuan Sharman untuk mengantar dan menjemputnya dari rumah Pak Narendra."Semenjak bertemu Septi, aku seperti kamu lupakan, Nay ..." Alinka cemberut sembari mengelayut manja di lengan Nadia ketika mereka jalan-jalan pagi seperti biasanya."Ya, ampun Alin. Aku ke sana itu, hanya seminggu tiga kali karena belum boleh ninggalin rumah ini, sama mama dan papa. Masih banyak waktu untuk kita bersama.""Aku jadi sedih, ya ... kalau ingat, habis lahiran kamu enggak tinggal di sini lagi, Nay ...""Lha, enggak mungkinlah aku masih tinggal di sini. Sementara aku bukan bagian dari keluarga Narendra lagi. Tapi, aku tetap sering-sering main ke rumahmu nanti. Sekalian aku bawa Raihan dan Rayyan menjenguk princes kesayangan kelu
"Bagaimana kalau aku tidak ingin menceraikanmu, Nadia?" tanya Bryan menyela kalimat Nadia.Nadia menatap tak berkedip ke arah suaminya, "Maksudnya tidak ingin bercerai?""Ya, kamu tetap jadi istriku, Dia.""Oh," balas Nadia lantas tersenyum tipis menatap wajah Bryan. "Aku sih, enggak masalah. Toh, selama jadi istrimu kamu tinggalnya di Malang, aku di sini. Enak malah, dapat dua pemasukan nanti. Nafkah bulanan dan sebagai pemegang saham di Petra Jaya.""Begitu?""Hu um. Sungguh beruntungnya hidupku menjadi sepia untuk seorang Bryan Narendra.""Sepia?""Iya, Sepia ... selamat tidur kekasih gelapku," jawab Nadia ngasal. "Astagaaa ..." Ingin rasanya Bryan mengunyel-unyel wanita hamil di hadapannya sangking gemasnya. "Setidaknya kamu mau jadi kekasih gelapku," balas Bryan membuat Nadia tertawa lepas. "Terpaksa, karena sayang duitnya. Sebulan seratus juta masuk rekening. Dapat kartu kredit sebagai mantu kel
Di dalam mobil yang terparkir, Nadia masih diam. Matanya sembap, pipinya basah, dan napasnya tampak tertahan seperti menanggung sesak yang berat."Aku enggak menyangka ketemu Septi dengan kondisi dia seperti, ini," ucapnya memandang Bryan yang dari tadi sabar menemaninya di dalam mobil."Besok, aku akan kemari lagi untuk melihatnya, Yan. Kamu terbang jam berapa?""Kalau kamu mau jenguk ke sini, aku akan undur pulangku ke Malang." Nadia menganggukkan kepala. Sekarang ia tak bisa seenak hati mengajak Alinka, karena kondisi sahabatnya itu, juga sama sepertinya, sedang hamil besar. Sebenarnya Nadia bisa pergi sendiri, tapi Bryan dan mertuanya pasti akan melarangnya.Bryan melajukan mobil, meninggalkan parkiran rumah sakit. Sepanjang perjalanan pulang, Nadia bergeming. Sesekali Bryan menoleh ke arahnya sebelum kembali fokus ke jalan di depan."Yan, berhenti!" seru Nadia tiba-tiba.Bryan menghentikan mobil secara mendadak. Dari belakan
Siang itu, Nadia diantar Bryan melakukan pemeriksaan rutin di RS. Kasih Bunda."Bu Adelia," panggil suster keluar dari ruang periksa dr. Shafa, SpOgNadia mengangguk ke arah Bryan, keduanya langsung masuk ke ruang pemeriksaan. Dokter Shafa tersenyum menyambut mereka berdua. "Mari, Bu Adelia ... kita langsung periksa duo jagoannya," ujar dr. Shafa dengan tersenyum. "Masyaallah mereka berdua aktif sekali, ya ... Alhamdulillah semua organ utama sudah terbentuk dengan baik," ujar dr. Shafa sambil memperhatikan monitor. "Ini, sudah masuk 33 minggu ya, Bu. Rencananya nanti mau melahirkan normal atau secar?""Saya ingin normal, Dok."Dokter Shafa mengangguk, "Bisa, kalau melihat posisinya ini. Salut saya dengan papanya twins ini, yang selalu merekam momens pemeriksaan. Bisa dijadikan cerita saat mereka besar nanti."Bryan dan Nadia hanya saling tatap. Dokter Shafa tidak tahu saja, tujuan Bryan merekam untuk memperlihatkan perkembangan







