LOGINBryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya."
"Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi." Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri. "Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku ingin menebus kesalahanku padamu, waktu itu. "Aku berencana mengakui semuanya di depan kedua orang tua kita bahwa aku telah memper.kosamu. Berharap mereka menikahkan kita berdua, lalu kau ikut denganku ... kita melanjutkan pendidikan di London." Nadia, Bryan dan Radith adalah teman dekat satu sama lain semasa duduk di bangku SMU. Bryan dan Nadia aktif di organisasi OSIS dan tim basket putra-putri. Di kelas dua, Bryan menjabat sebagai ketua OSIS dan Nadia sebagai sekretarisnya. Bryan, pemuda tampan, kaya namun tak sombong jelas digandrungi hampir seantero siswi di sekolah mereka. Demikian juga Nadia, dia cewek smart, cerdas dan mumpuni di segala bidang juga idaman teman cowok di sekolah mereka. Nadia dikatakan cerdas karena dilihat bisa menyeimbangkan otak kiri dan kanannya. Dia pinter dalam akademik, tak kalah aktif di segala lini kegiatan sekolahan. Dari Osis, Pramuka, Beladiri dan Mapala, dia ikutin semuanya. Dan Bryan selalu ada disetiap kegiatan yang ia ikuti itu. Ibarat di atas gunung masih ada rumput, nilai akademik Nadia yang tertinggi di kelasnya saat di peringkat umum keseluruhan kelas, akan dibawah nilai milik Radith. Karena itu, ketika Nadia yang tak pernah kalah berdebat dengan siapapun, akan terdiam saat Radith sudah bicara. Radith yang menjabat sebagai ketua Rohis memiliki pembawaan cool, berbicara seperlunya dan dah pasti apa yang disampaikan berbobot membuat Nadia menyimpan rasa pada tetangga sekaligus sahabatnya itu. Sahabatnya saat duduk di bangku sekolah dasar, lantas terpisah di sekolah menengah hingga kemudian dia bisa satu sekolah di SMU favorit di kotanya. Saat semua mata tertuju pada Bryan, Nadia hanya tertarik dengan Radith. Karena itulah, saat kelulusan sekolah Bryan menyatakan cintanya, Nadia juga mengungkapkan perasaan hatinya. Bahwa ia mencintai Radith. "Sekarang, katakan ... apa yang harus kulakukan supaya kau memaafkanku, Nadia?" Nadia membuang muka, tangannya bersedekap setelah menghapus air mata yang jatuh ke pipi. "Enggak ada! Bukankah, kau juga sudah menikah? Jadi, enggak usah berkata ingin bertanggung jawab ataupun omong kosong lainnya, Bryan. Fokus saja dengan kehidupan kita masing-masing." 🍁🍁🍁 Penerbangan menuju Sorong, Papua Barat, memakan waktu hampir enam jam. Sempat transit di Makassar. Nadia menarik napas lega saat mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat di Bandara Domine Eduard Osok. Ada seorang pria paruh baya yang menjemput rombongan mereka. Pria itu, mengarahkan rombongan untuk makan siang terlebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan memakai speedboat, karena sudah terlambat untuk penyeberangan menggunakan kapal feri. "Sebenarnya dari Sorong bisa langsung terbang ke Waisai, ibu kota Raja Ampat," jelas Pak Joseph, laki-laki yang menjemput mereka tadi. "Tapi, hari Kamis begini Susi Air tidak terbang. Jadwalnya Senin, Rabu, dan Jumat. Pagi-pagi." "Susi Air milik Ibu Susi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, ya, Pak?" tanya Mega antusias. "Iya, Nona. Pesawat kecil, isi cuma 16 kursi." Di sepanjang perjalanan menuju Waisai menggunakan speedboat carteran, Pak Joseph bercerita tentang legenda Raja Ampat. Tentang asal muasal nama tersebut. Menurut Pak Joseph, ada beberapa versi cerita yang diwariskan secara turun-temurun. Waisai sangat panas. Udara pesisir yang kering. Rombongan segera masuk ke kamar yang telah dipesan begitu tiba di hotel. Nadia dan Mega juga menarik koper menuju kamar hotel. Mereka sengaja disewakan sekamar. Bryan mengatakan, mereka baru akan meninjau lokasi pembangunan hotel besok pagi, jadi sekarang rombongan beristirahat. Nadia memang membutuhkan waktu untuk rehat. Perjalanan kali ini, benar-benar menguras energinya. Apalagi emosi jiwanya, dan itu yang paling melelahkan baginya. 🍁🍁🍁 Hotel Petra Jaya akan dibangun di salah satu sudut Waisai. Di tepi pantai. Pemandangannya indah. Hanya saja, menurut pandangan Nadia untuk lokasi seperti itu, resort akan lebih bagus daripada hotel. "Kita harus mundur berapa ratus meter dari garis pantai untuk membangun gedung hotelnya?" tanya Bryan saat mereka sedang menyusuri lokasi pembangunan hotel. Nadia menatapnya sekilas. "Tiga ratus meter cukup. Area depan bisa digunakan sebagai kafe terbuka," jawab Nadia. "Sepertinya kursi-kursi di bawah payung warna-warni akan terlihat bagus. Orang-orang pasti suka. Nyiurnya dibiarkan saja. Kita hanya perlu menebang beberapa di antaranya supaya enggak terkesan padat." "Aku suka ide itu." Bryan tersenyum mendengar konsep yang diutarakan Nadia. Pandangan mereka bertemu, walaupun masing-masing terhalang kacamata hitam. "Aku baru memikirkan ini karena baru melihat lokasinya," sambung Nadia lagi. "Membangun dermaga kayu panjang yang menjorok ke laut, yang bisa dipakai bersantai menunggu matahari terbenam akan terlihat bagus untuk katalog promosi hotel." Nadia menunjuk ke laut. "Di sebelah sana." Bryan mengangguk setuju. "Aku juga bisa mem-bayangkannya. Bagaimana kalau dua dermaga? Jadi kita bisa membangunnya di kedua tepi batas lokasi yang sudah dibebaskan." "Dermaga kembar akan terlihat luar biasa." Nadia mengalihkan pandangan ketika menyadari gerakan tangan Bryan berada di atas kepalanya. Rupanya pria itu, memasang topinya ke kepala Nadia. "Jangan dilepas, wajahmu memerah. Tabir surya yang kamu pakai mungkin enggak terlalu kuat," ujar Bryan mengulas senyum tampannya. Nadia menekan topi milik Bryan hingga terasa nyaman di kepala. "Terima kasih," ujarnya bersikap sewajar mungkin. Nadia memang biasa menggunakan tabir surya dengan SPF-30. Mega tadi menawarkan miliknya yang pelindungnya lebih tinggi, tetapi ia tolak. Dan mereka sudah cukup lama terdapat matahari, terhitung sejak keluar dari hotel pagi tadi. . . Next ...Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i
Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia
Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."
Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."
"Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu
"Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga







