LOGINHal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.
Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini. “Mbak Nadia baik-baik saja?” tanya Mega khawatir saat langkah mereka beradu dengan lantai marmer lobi hotel tempat pertemuan berlangsung. “Aku baik.” Jawab Nadia singkat. Apa yang sebenarnya ditakuti gadis itu? Oh, sikap menghindarnya Nadia ketika Bryan ingin menyapanya. Pasti rekan kerjanya itu, masih penasaran ada hubungan apa gerangan dirinya dengan putra kedua Adijaya Grup tersebut. Seperti yang sudah Nadia duga, Bryan hadir di ruangan pertemuan. Kali ini ekspresinya datar, seolah tidak begitu perduli dengan kehadirannya. Seharusnya ia senang melihat perubahan itu, tapi mengapa hatinya jadi sebal. "Mengapa dia tampak beda hari ini. Lebih kelihatan tenang dari waktu mampir ke rumah minggu lalu. Apakah dia tengah merencanakan sesuatu? "Oh, tidak bisa! Bryan tidak berhak merencanakan apa pun, karena aku yang akan membuat rencana balas dendam untuknya. Jika memang takdir ingin kita bertemu, itu artinya hari perhitunganku denganmu telah tiba, Bryan." Nadia menyunggingkan senyum sinis, sebelum akhirnya mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan Bryan. Presentasi segera dimulai, segala hal terkait rancangan dan persiapan pembangunan proyek mulai dibicarakan secara detail. . “Jadi, kita sudah sepakat untuk meninjau lokasi pembangunan hotel ini, kan?” tanya Bryan sambil menatapnya. Nadia melengos. "Mengapa pria itu perlu mengulang pertanyaan? Apakah dia tuli dan tidak mendengar persetujuanku, sebelumnya?" “Bagaimana kalau hari Kamis, tiga hari lagi, Bu Nadia?” “Bu Nadia?” Nama itu membuat telinga Nadia gatal. Ingin rasanya Nadia, menyahut "Ibu, ibu memang aku ibumu!" “Kami akan memesan tiket ke Raja Ampat setelah tahu berapa orang yang akan menyertai Bu Nadia ke sana,” lanjut Bryan tenang. “Raja Ampat?” suara Nadia meninggi. Sebentar, kenapa dia menyebutkan Raja Ampat. Apa, ada hal yang aku lewatkan. Bagaimana ia bisa lupa mencari tahu lokasi pembangunan hotel milik Adijaya Grup akan dibangun. Ia berpikir saat Pak Narendra mengatakan pembangunan hotel dibawah naungan Petra Jaya. Dalam bayangannya pembangunan hotel nanti, berada di Malang, Jawa Timur. Karena yang Nadia tahu perusahaan itu, berada di sana. Sejak tahu Bryan yang berwenang atas pembangunan hotel, membuat Nadia melupakan banyak poin penting dalam pekerjaannya. Bahkan seolah Nadia juga lupa, kalau ia harus meninjau langsung lokasi proyek. Yang ternyata, bertempat di ujung paling timur Indonesia itu. “Ya, Raja Ampat, Papua Barat.” Bryan menjelaskan seolah Nadia tidak tahu letaknya. “Kita membutuhkan tiket untuk ke sana, kan?" "Pertanyaan yang enggak membutuhkan jawaban," dengkus Nadia seraya memainkan bolpoinnya. "Jangan khawatir, kami yang akan mengurus transportasi dan akomodasi. Nah, berapa orang yang akan ikut dengan Ibu?” tambah Bryan memperjelas posisinya. Papua Barat? Dan ia akan ke sana bersama Bryan? Nadia hampir kehilangan kendali. Itu perjalanan panjang dan melelahkan. Ia tidak bisa membayangkan terjebak di tempat terpencil bersama laki-laki itu, hanya ditemani nyamuk-nyamuk penyebar malaria. Nadia bergidik, membayangkan yang iya-iya. Jika, hal dalam pikirannya menjadi kenyataan. “Saya boleh ikut, Mbak Nadia?” Tanya Mega dengan mata berbinar penuh harap. Nadia hanya menghela napas. Bukan soal Mega boleh ikut atau tidak. Masalahnya adalah, Bryan akan berada di dekatnya untuk beberapa waktu ke depan. Kepalanya terasa berdenyut. Ia harus memikirkan sesuatu, tetapi pikirannya pun buntu untuk menemukan alibi yang cocok supaya ia tidak ikut berangkat saja. 🍁🍁🍁 —Bandara Soetta— “Mbak Nadia!” panggil Mega. Nadia melangkah ke arahnya. “Sudah lama?” tanya Nadia, meski ekor matanya sempat menangkap siluet Bryan yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Lumayan. Tinggal nunggu Mbak Nadia, terus kita boarding.” Nadia menoleh ke arah kakaknya. “Aku harus masuk sekarang, Mas." Pamitnya dengan mata berkaca-kaca, entah seperti ada hal mengganjal kali ini, saat diantar kakaknya untuk pergi melaksanakan tugasnya. “Kamu akan baik-baik saja.” Sharman mengusap kepalanya lembut. “Nikmati sinar matahari. Bersenang-senanglah. Enggak usah risau mengenai hubungan Mas Sharman dengan Mas Devan, Nadia. Kami akan tetap berteman baik. Fokus saja dengan pekerjaanmu di sana. Main air yang banyak. Bukannya salah satu, impianmu ingin pergi ke Raja Ampat?” Nadia mendengkus. “Kami ke sana untuk kerja, Mas.” Sharman tertawa, lalu menepuk bahu adiknya sebelum pergi bergabung dengan temannya. Nadia pun melangkah ke arah Mega yang kini sudah bersama Bryan. Ternyata selain mereka bertiga, ada dua orang lain dalam rombongan. Lima orang total. Cukup membuat Nadia sedikit lega. Setidaknya ia bisa meminimalisir interaksi berdua saja dengan Bryan. Namun, harapannya langsung runtuh saat melihat Bryan dengan tenang menuju ke tempat duduk yang berada di sebelah Nadia. “Apa dia sengaja melakukan semua ini?” pikir Nadia kesal. Ia ingin protes, tetapi sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap profesional dalam menangani proyek ini. Bryan duduk di sampingnya, tampak tak peduli meski Nadia langsung membuang muka ke jendela. "Masak iya, aku harus lihat ke jendela terus. Bisa tengeng kepalaku, nanti. Mmcchh," gumam Nadia mendengkus sebal. Akhirnya ia memilih memejamkan mata, sengaja supaya tak diganggu oleh pria di sebelahnya. Entah mengapa, ketika terpejam kejadian masa lalu itu, tiba-tiba terputar layaknya sebuah film. Hatinya perih, karena lukanya terbuka kembali. Hingga tanpa sadar Nadia menyentuh dadanya. “Dadamu kenapa?” suara cemas Bryan membuat Nadia membuka mata. “Enggak apa-apa.” Nadia menghentikan gerakan tangannya. Ternyata pria itu memperhatikannya diam-diam. “Dadamu sesesak itu, ya, saat aku duduk di sampingmu?” Bryan menghela napas. “Padahal, aku ingin bicara banyak denganmu, Nadia ....” Nadia mengatupkan bibirnya, kedua jemari tangannya tanpa sadar tergenggam erat. "Maaf ... aku minta maaf atas perbuatanku waktu itu." "Apakah karena ingin mengatakan ini, kamu sampai mengatur tempat duduk, supaya kita bisa bersama." Bryan memandang mata wanita di depannya yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya." "Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. . . Next ..Bryan memandang mata Nadia yang seolah ingin menghabisinya. "Aku sangat mencintaimu, Nadia. Tapi, kau mengatakan mencintai Radith. Maaf, aku khilaf karena cemburu juga sakit hati. Kupikir, setelah itu kamu akan datang memintaku untuk menikahimu. Dan akhirnya akulah yang akan memilikimu seutuhnya.""Pengecut!" umpat Nadia tepat di depan wajah Bryan. Mata wanita yang hingga kini, masih dicintai ia cintai itu, jadi berkaca-kaca, bibirnya bergetar. "Kau, seorang pengecut, Bryan. Dan aku bersyukur saat itu, tidak mengemis minta kau nikahi."Bryan memejamkan matanya yang juga berkaca. Pria itu, mengingat kekhilafan di masa lalu. "Aku datang ke rumahmu, Dia. Seminggu setelah kejadian itu, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu sebelum papa mengirimku sekolah ke luar negeri."Aku bertemu ayah dan ibumu. Mereka mengatakan kau melanjutkan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama kakakmu. Aku pun menemui Radith, sebelum pergi. Saat kutanya, ia pun tak tahu kabarmu. Sungguh aku i
Hal yang paling Nadia harapkan ketika menolak Devan kemarin adalah desain rancangannya dikembalikan. Atau setidaknya dia dikeluarkan dari tim pembangunan hotel itu. Namun, ternyata tidak. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan hari ini, Nadia ada janji bertemu dengan Bryan. Dan Mega sudah mengingatkannya sejak pagi.Sebelum biro 'Pratama' mengirimkan rancangan hotel ke Adijaya Grup. Nadia telah menjanjikan keberhasilan proyek yang sedang ia tangani kepada Pak Yuda jikalau rancangannya terpilih. Dan sekarang, ia harus profesional menepati janjinya itu. Dengan kata lain, ia juga harus menyepakati serangkaian pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki menghancurkan hidupnya itu. Dalam hati, Nadia berharap laki-laki itu tidak perlu hadir dalam pertemuan kali ini. Ya, harapan yang terlalu tinggi, mengingat seberapa keras usaha Bryan untuk terus bisa berbicara dengannya. Anehnya, justru Nadia sendiri yang melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya kali ini.“Mbak Nadia
Ponsel Nadia berbunyi saat yang punya masih sibuk membantu kakak ipar membuat kue di dapur."Dik! ponselmu bunyi terus itu, lo ... dari tadi." Teriak Sharman dari ruang tengah yang disibukan menemani kedua anaknya membuat prakarya tugas sekolah."Sebentar, lagi nanggung mixernya, Mas! Nanti biar kutelepon lagi. Palingan Alinka atau Mega yang telepon hari libur gini."Bunyi ponsel akhirnya berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang mengangkat. Semua orang pada sibuk sendiri. Hari libur adalah hari yang sangat dinanti untuk keluarga kecil Sharman plus Nadia. Kadang kegiatan tiap akhir pekan, sudah masuk list memo awal bulan oleh Nadia, setelah ia dan kakaknya gajian. Indah yang akan meng—acc menyesuaikan jadwal suaminya."Seperti ini, kan, Mbak Indah?" tanya Nadia pada kakak iparnya setelah menuangkan adonan kue yang dimixernya tadi ke dalam loyang."Iya, sip!" Indah mengacungkan jempol kanannya. "Selanjutnya biar Mbak yang lanjutin, kamu lihat ponselmu dulu, siapa tahu telepon penting."
Adelia menyisir rambut panjangnya setelah dikeringkan hair dryer. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Adelia tampak cantik, mengenakan dress selutut berwarna biru muda. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuan, perempuan berusia 23 tahun itu.Sejenak Adelia menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut, dan entah rasa apalagi.Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Adelia dari lamunan, segera diangkatnya. "Halo, Mas. Jadi, pulang hari ini, atau besok?""Hari ini, sebentar lagi boarding.""Ya, sudah ... kalau begitu, aku minta diantar mama untuk pulang ke rumah kita.""Enggak apa-apa, kamu di situ saja, nanti Mas yang ke situ. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan Papa Alby.""Oh, ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati di jalan," sambung Adelia."Hu um, sudah dulu, ya ... nanti sampai rumah Mas langsung ke situ."
"Yan!" Devan menjentikan jemari di depan wajah adiknya yang tak berkedip menatap Nadia. "Hoee, sadar! Ingat istri di rumah, sampai segitunya lihatin Nadia." Akhirnya bahu Bryan ditinju Devan dengan gemas."Nadia temanku saat SMU, Mas ... dua tahun kami sekelas terus. Anggap saja ini, aku lagi nostalgia," jawab Bryan sekenanya dengan tatapan tak lepas dari Nadia, yang enggan menatap balik ke arahnya."Oh, benar juga, ya ... dulu waktu SMU, katanya kamu pindah sekolah di Madiun karena terlibat tawuran," sambung Devan spontan membuat Bryan memelototkan mata tak terima.Nadia mengangguk dengan senyum tersungging di sudut bibir, lebih tepatnya mengejek karena sekarang dia tahu, alasan Bryan pindah ke sekolah tempatnya belajar dulu. "Maaf, bukan niat mengusir ini. Tapi, aku ada janji dengan Mega, jalan sebentar lagi. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, silakan Mas Devan ajak adiknya angkat kaki dari rumah ini.""Astaga! Sopan ngomong seperti itu, sama calon suami, Nad!" Sentak Devan pura-pu
"Bagaimana hasil pertemuan tadi?" tanya Sharman malam itu, pada Nadia, adiknya."Alhamdulillah lancar, Mas. Kemungkinan enggak lama lagi aku akan ke Malang. Di sana sampai hotel jadi.""Devan serius ingin menikahiku, Dik." Sharman menatap serius ke adiknya. Adik semata wayangnya, dan menjadi keluarga satu-satunya setelah ibu mereka meninggal dua tahun yang lalu.Nadia menghela nafasnya, "Mas Sharman pasti tahu alasanku enggan membicarakan tentang pernikahan, kan?""Coba bicara jujur dengan Devan, siapa tahu dia tidak mempermasalahkan masa lalumu, Dik. Mau setahun lo, dia melakukan pendekatan denganmu, masak kamu enggak sadar.""Aku tahu, yang kutakutkan saat aku jujur, Mas Sharman akan kehilangan sahabat sebaik Mas Devan. Tapi, gini saja deh, Mas. Kalau dia memang serius ingin menikahiku. Minta dia bicara langsung denganku. Nanti aku akan bicara jujur dengannya. "Cuma, nanti kalau dia enggak pernah main ke sini lagi, jangan salahkan aku, ya ..."Sharman hanya tersenyum getir mendenga







