Jihan baru saja sampai di depan rumahnya. Namun alangkah terkejutnya dia saat melihat beberapa orang berseragam salah satu bank, ditemani oleh pihak berwajib yang berjumlah lima orang sedang melakukan penyegelan di rumahnya.
Beberapa tetangga terlihat juga ikut menonton aksi dari pihak bank. Untung saja Jihan sedang memakai topi sehingga wajahnya tidak kelihatan.Karena takut ketahuan dan diminta pertanggungjawaban kepadanya, Jihan pun mulai meninggalkan tempat itu.Samar-samar dia dapat mendengar dari omongan orang yang berkerumun di situ. jika rumahnya disita karena kedua orang tuanya tidak sanggup lagi membayar cicilan untuk melunasi utang-utang mereka di bank.Setelah agak jauh dari rumahnya. Jihan pun berteduh di sebuah halte bis. Dia lalu merogoh sakunya untuk memeriksa berapa lagi uang yang tersisa kepadanya.Ternyata tinggal dua ribu rupiah."Sial! Gue benar-benar apes sekarang!" kesalnya dalam hati."Apa yang harus gue lakukan sekarang?" Jihan pun menjadi bingung sendiri.Lalu tiba-tiba terbersit di dalam pikirannya untuk menghubungi kedua temannya melalui sambungan telepon."Pasti Salma dan Fabi mau membantuku!" gumamnya senang dalam hati.Lalu Jihan pun mulai menelepon temannya. Awalnya dia mencoba menghubungi Fabi. Namun sang sahabat tidak mengangkat panggilan telepon darinya sama sekali."Fabi kenapa, ya? Kok dia tidak mengangkat telpon dariku?" ucapnya pelan.Jihan pun gantian menghubungi Salma. Akan tetapi ponsel sahabatnya itu malah sedang tidak aktif."Mereka kenapa, sih? Nggak biasanya Salma dan Fabi seperti ini." Jihan mulai merasakan perubahan sikap kedua temannya. Padahal baru juga tadi siang, dia membelanjakan kedua temannya dengan begitu banyak pakaian bermerek.Padahal sebenarnya Salma dan Fabi sengaja tidak mengangkat telepon darinya. Karena keduanya telah mengetahui jika rumah orang tua Jihan telah disita oleh bank.Baik Fabi maupun Salma tidak akan pernah mau terlibat lagi dengannya. Kedua gadis itu sudah tidak mau lagi berhubungan dengan Jihan."Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya dalam hati.Ditengah kebingungannya, Jihan pun mengingat nenek dari ibunya yang selama ini suka menolongnya. Mau tidak mau, dia pun menghubungi sang nenek yang masih tinggal satu kota dengannya.Jihan masih berada di halte bis. Gadis itu baru saja menghubungi neneknya. Dia sedang menunggu orang suruhan neneknya untuk menjemputnya.Jihan juga sedang berpikir bagaimana caranya dia menjelaskan semuanya kepada sang nenek."Aku harus mencari cara untuk mengambil simpatik nenek!" tegasnya dalam hati.Tak berapa lama setelah itu jemputan Jihan akhirnya tiba juga. Ternyata yang menjemputnya adalah pamannya, adik dari ibunya."Bikin masalah lagi kamu? Tahunya cuma bikin susah orang saja!" ketus sang paman kepadanya.Tanpa basa-basi, dia malah memarahi Jihan dan menuduhnya telah membuat masalah. Jihan diam saja mendengar semua omelan sang paman."Ayo naik! Tunggu apa lagi kamu?" seru Paman Kumar kepada Jihan, agar segera naik ke atas motor butut miliknya.Masih dengan mode diam, Jihan mulai menaiki motor sang paman yang akan membawanya ke rumah Nenek Omas. Sepanjang perjalanan menuju rumah sang nenek, Paman Kumar tak henti-hentinya menceramahi Jihan. Namun gadis itu tetap tidak buka mulut. Dia tidak mengatakan apa pun.Akhirnya keduanya sampai juga di rumah Nenek Omas.Sang paman berkata lagi."Jihan, Tante Nini sedang hamil muda saat ini. Saya harap kamu tidak menimbulkan masalah lagi!" seru Paman Kumar lalu segera masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Jihan yang masih terpaku di dekat motor tua milik sang paman.Sekelebat ingatan masa lalu kembali terngiang-ngiang dalam pikirannya. Gadis itu sangat ingat beberapa waktu yang lalu, ada arisan di rumah Nenek Omas. Jihan juga ikut serta di acara itu.Disaat semua orang sibuk bercengkerama dengan santainya sambil bersenda gurau bersama. Jihan pun menepi dari keramaian itu. Dia mulai melangkah menuju ke kamar tidur paman dan tantenya.Gadis itu segera masuk ke dalam kamar dan dengan cepat membuka lemari tempat perhiasan milik Tante Nini tersimpan. Namun Jihan tidak tahu, gerak-geriknya yang mencurigakan itu menimbulkan rasa ingin tau dari Tante Nini dengan apa yang hendak dilakukan olehnya. Sang tante lalu mengikuti langkah Jihan.Alangkah terkejutnya Tante Nini saat melihat jika keponakan dari suaminya itu malah masuk ke dalam kamar pribadinya dan sang suami. Tante Nini yang kaget dengan ada yang dilakukan oleh Jihan saat ini, segera mengirim pesan singkat kepada suaminya untuk segera ke kamar mereka karena ada hal yang sangat penting yang ingin dirinya sampaikan.Tante Nini menunggu suaminya di depan kamar mereka. Dia takut jika Jihan melarikan diri dan semua perhiasannya telah berhasil dicuri oleh gadis belia itu.Tak berapa lama, Paman Kumar sampai juga di depan kamar pribadinya dan sang istri."Nini, ada apa kamu memanggil ku?" tanya Kumar sedikit kaget."Mas, tadi aku lihat Jihan masuk ke dalam kamar kita," ucapnya menjelaskan kepada suaminya."Apa? Mau ngapain anak itu?" tanyanya kepada istrinya."Aku juga kurang tahu, Mas. Apa jangan-jangan dia mau mencuri di dalam kamar kita?" ujar Nini tak suka."Kurang ajar anak itu! Jika dia mau mencuri di dalam kamar kita!" geram Paman Kumar.Tanpa aba-aba sang paman segera membuka pintu kamar mereka. Saat pintu terbuka, alangkah terkejutnya Paman Kumar saat melihat begitu banyak perhiasan Nini, istrinya yang berada di tangan sang keponakan."Jihan! Apa itu di tanganmu? Kamu mau mencuri perhiasan Tante Nini, ya?""Ti ... tidak, Paman. Aku hanya ingin melihat-lihatnya saja," sahut Jihan terbata. Dia pun kembali meletakkan perhiasan itu ke dalam lemari.Namun Paman Kumar tidak percaya begitu saja dengan ucapan sang keponakan yang terkenal sebagai pembohong ulung di keluarganya.Dia segera memeriksa semua saku celana dan saku baju Jihan.Alangkah terkejutnya Paman Kumar saat melihat beberapa perhiasan milik istrinya ada pada keponakannya."Anak kurang ajar! Dasar pencuri!" teriak Paman Kumar lalu menampar pipi Jihan beberapa kali. Dia juga menendang gadis itu sampai tersungkur dan jatuh ke bawah lantai.Semua orang yang tadinya sedang berkumpul di ruang tamu. Kini semuanya masuk ke dalam kamar mereka. Karena mendengar jeritan suara Jihan yang kesakitan.Nenek Omas juga ikut masuk ke dalam kamar pribadi Kumar dan Nini. Sang nenek dapat melihat Jihan yang sedang menangis tersedu-sedu dan sedang tersungkur di bawah lantai. Melihat cucunya yang sedang menangis tersedu-sedu dan terlihat berantakan, Nenek Omas segera angkat bicara,"Kumar! Apa yang telah kamu lakukan kepada Jihan! Kamu kenapa memukulinya?" hardik Nenek Omas."Jihan hendak mencuri semua perhiasan Nini, Bu! Dasar kamu anak tak tahu diuntung!" teriak Kumar sambil melayangkan satu tendangan kepada keponakannya."Sakit!" jerit Jihan histeris.Pagi itu terasa sangat sunyi dan mencekam di rumah kecil yang ditempati oleh Ilham dan Jihan. Ilham terbangun dengan perasaan gelisah, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ketika pria itu bangkit dari tempat tidur dan mendekati Jihan yang berbaring di sebelahnya, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. Napas Jihan terlihat berat, dan kulitnya mulai kehilangan rona. Tanpa berpikir panjang, Ilham segera mengguncang bahunya dengan lembut."Jihan, Sayang! Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu sangat pucat sekarang?" Ilham bertanya dengan nada yang sangat cemas.Namun Jihan tidak merespon sama sekali setiap perkataan dari pria itu. Matanya tetap terpejam, dan tubuhnya terasa semakin lemas. Tanpa buang waktu, Ilham langsung mengangkat tubuh Jihan yang lunglai itu dan segera membawanya ke dalam mobil. Pria itu pun dengan cepat mulai melajukan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang selama ini merawat Jihan.“Jihan! Ku mohon bertahanlah! Aku sedang memba
Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit, kondisi Jihan perlahan pun mulai membaik. Gadis berusia belia itu memang masih tampak rapuh, namun kesehatannya jauh lebih stabil dibandingkan ketika dia pertama kali didiagnosis dengan penyakit mematikan tersebut. Setiap minggu, Jihan tidak pernah absen untuk kontrol ke rumah sakit. Dia tahu, meskipun keadaannya sudah tidak separah dulu, namun tubuhnya masih belum sembuh total. Penyakit yang menyerang karena gaya hidupnya yang tidak sehat, kini meninggalkan jejak di tubuhnya, dan Jihan menyadari bahwa dia harus lebih menjaga diri dan waspada mulai sekarang.Namun, Jihan tidak mau larut dalam kesedihan atau rasa bersalah. Sebaliknya, gadis itu memutuskan untuk menggunakan pengalamannya sebagai alat untuk mencegah orang lain terjerumus ke dalam jalan yang sama. Kini, Jihan aktif dalam sebuah organisasi perempuan yang berkampanye tentang bahaya penyakit menular seksual dan gaya hid
Beberapa tahun kemudian,Di sebuah rumah sakit yang sunyi di salah satu sudut Kota Jakarta, yang terdengar di sana hanya suara mesin-mesin medis yang berirama monoton. Jihan, seorang gadis beli yang berpetualang tentang cinta selama ini, hidup bebas tanpa peduli akan konsekuensi dari tindakannya, kini terbaring lemah di sebuah ruang isolasi. Sebelumnya gadis itu adalah seorang pecinta hidup bebas. Bergonta-ganti pasangan ranjang, tanpa menggunakan pengaman sedikitpun, yang membuat imun tubuhnya ikut turun dan mudah terserang sakit, seperti saat ini.Wajah Jihan sangat pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya semakin parah, dan harapan hidupnya semakin tipis. Tak ada yang mendampinginya di sana, kecuali Ilham, satu-satunya lelaki yang tulus mencintainya.Ilham duduk di kursi di sebelah ranjang Jihan. Matanya tak pernah lepas dari gadis yang dia cintai sejak lama itu. Meskipun Jihan pernah bersama bany
Jihan merasakan tubuhnya mulai terasa panas dan tidak nyaman setelah membaringkan tubuhnya di kamar hotel. Perasaan panas itu semakin menjadi-jadi, membuatnya merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, dia mulai membuka satu per satu kancing bajunya, mencoba meredakan sensasi panas yang terus meningkat.“Panas …. Panas …” lirihnya lemah.Haikal, yang sedang duduk di kursi di dekat ranjang,seketika tercengang melihat sikap Jihan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jihan dengan cermat dan penuh keheranan,karena obat perangsang itu bekerja sangat cepat."Jihan Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Haikal dengan suara terkejut, meskipun hanya pura-pura saja.Jihan, yang masih dalam keadaan tidak sadar, hanya menatap Haikal dengan mata yang sayu. "Aku merasa panas, Haikal. Sangat panas," ujarnya dengan suara yang lemah.Haikal segera menyadarkan Jihan akan situasinya. "Jihan, berhenti. Kamu harus berhenti," ujarnya dengan suara
Petugas hotel itu tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja ada, Tuan. Hotel kami masih memiliki beberapa kamar kosong. Silahkan ikuti saya.”Haikal dan Jihan mengikuti petugas tersebut menuju kamar yang telah disediakan. Begitu pintu kamar terbuka, udara segar dan kenyamanan seketika menghampiri mereka.“Ini kamar Anda, Tuan,” ucap petugas hotel itu dengan ramah sambil membuka pintu kamar.Haikal menoleh ke arah Jihan, seraya berkata, “Ayo, Jihan masuklah. Kita bisa istirahat sejenak dan menyegarkan diri sebelum melanjutkan petualangan kita di Kota Bandung,” ajaknya dengan senyum hangat.Jihan tersenyum lega. “Terima kasih, Haikal. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan,” ucapnya sambil mulai memasuki kamar.Setelah melewati aktivitas yang padat di Kota Bandung, Haikal dan Jihan akhirnya sampai di dalam kamar hotel yang nyaman. Udara segar di dalam kamar membuat mereka merasa rileks setelah beraktivitas di luar. Haikal
Pagi menyingsing dengan sinar matahari yang membelai lembut tirai di sebuah apartemen di salah satu sudut Kota Jakarta. Aroma kopi yang harum memenuhi dapur, bercampur dengan bau sedap bahan-bahan sarapan yang tengah dipersiapkan oleh Jihan. Jihan, gadis muda yang ceria, sibuk mengaduk-aduk panci yang berisi bubur ayam hangat. Semangatnya terpancar dalam setiap gerakan. Sebentar lagi, dia akan memberi kejutan untuk Dulah, pacarnya yang masih tidur di dalam kamar.Untuk memuluskan rencananya ke Bandung bersama Haikal. Jihan perlu merayu Dulah. Agar pria itu mau mengizinkannya untuk pergi.Dulah, yang masih terbaring di kasur dengan mata yang masih setengah terpejam, mendengar derap langkah Jihan di dapur. Dia seketika tersenyum. Setiap hari, kehadiran Jihan memberikan semangat baru baginya. Meski kegiatan Dulah di kantor seringkali sangat sibuk. Namun dia selalu menyempatkan waktu untuk sarapan bersama.Sesaat kemudian, Jihan melangkah keluar dari