Saat sedang asik menyuap makanan di meja makan, tatapan Miranti digagalkan oleh bayangan berkelebat di ruang tamu yang dihubungkan oleh ruang tengah tanpa pintu. Karena posisi wanita menghadap ke ruang tamu, jadi bisa melihat apa yang ada di depan hanya dengan mendongak.
"Hem? Apa itu tadi?" gumamnya sendirian.
Tak ada orang lain, sebab Qinara atau pun Dewa sudah kembali ke kamar. Hanya ada si Mbak yang senantiasa menemaninya, dan siap kapan saja kala majikannya itu memerlukan bantuan.
"Masa Dewa, sih? Kalau iya, kenapa juga dia mengendap-endap ke luar? Qinara? Apalagi dia? Dia kan sedang hamil. Nenek ...? Hem, bisa saja. Tapi masa iya Nenek? Kayanya lebih gembul." Wanita paruh baya itu, berpikir yang bukan-bukan, hingga akhirnya memutuskan bangkit dari duduknya untuk melihatnya.
Miranti berjalan cepat, meninggalkan dapur, menyusuri lantai marmer di ruang tengah, lalu ke ruang tamu.
Namun, terlambat ... baru saja kakinya menjejak ruang tamu, deru m
Kalila keluar kamar mandi dengan langkah gontai. Ada rasa nyeri yang menjalar di salah satu bagian tubuhnya."Aneh, kenapa rasanya lemas begini? Padahal aku sudah mandi dua kali," keluhnya sambil memegangi handuk di kepala yang nyaris jatuh.Tidak seperti mandi pertama yang terburu-buru, kali ini bisa bergerak dengan santai karena Dareen tak lagi mengincarnya. Langkah wanita itu kemudian berjalan ke depan cermin besar hotel yang berdiri di samping lemari.Tak lama, Dareen pun keluar dari kamar mandi. Tampak segar, meski yang ia rasa tak jauh beda dari Kalila. Kalila melirik dengan menyembunyikan malu. Menahan senyumnya karena merasa bahagia.Wanita baru tahu, bahwa melampiaskan cinta bisa membuatnya sesenang sekarang.Pria itu berjalan lebih dulu ke lemari mencari pakaian ganti. Ia ingin menggoda Kalila, tapi entah ke mana sebagian gairah hidupnya menghilang.Ia mereasa begitu lelah. Rasanya Dareen ingin segera menyudahi aktivitasnya dan kem
"Ish, kenapa harus wudhu lagi, sih?" Kalila menggerutu.Bibirnya mencebik seolah kesal karena perlakuan Dareen. Walau sebenarnya Kalila sendiri menyukainya.Perempuan itu bukannya cepat menyempurnakan wudhu, ia malah mematut diri di depan cermin. Kalila melakukan itu, karena sadar kopernya belum datang. Dipegangi bibir merah miliknya sambil tersenyum."Jadi begini rasanya?"Ingatannya berputar saat bersama Dewa dulu. Beberapa kali pria itu berusaha menciumnya. Tak dipungkiri saat jatuh cinta pada Dewa, ia sangat menginginkannya juga. Untung saja, setiap kali hal itu terjadi ada saja gangguan, dan Kalila bisa menghindarinya.Dia bersyukur mengenal Islam, hingga bisa berhati-hari dan menjaga diri dari pergaulan yang Tuhannya haramkan. Meski pun keduanya sudah menetapkan tanggal pernikahannya, tetap saja belum halal melakukan apa saja.Kalila kembali tersenyum, menatap pantulan bayangan di cermin. Seorang wanita cantik yang masih memegangi bibi
"Kenapa?" tanya Dareen.Pasti ada alasan kenapa Kalila melarangnya mentransfer uang pada Dewa. Dan tentu saja akan berbeda dengan alasannya yang ingin memberi pelajaran pria sombong itu."Karena aku gak mau kehilangan, Mas," jawabnya lemah, karena kecemasan tengah memenuhi hatinya."Hah?" Mata Dareen melebar dengan dua alis terangkat. Kalila sekarang menggantikan perannya jadi bucin."Kalila," panggilnya kemudian."Ya?" sahutnya cepat."Jadi kamu masih mau lagi?" Pria itu merasa, ucapan wanitanya adalah sebuah kode."Hah?" Kalila menarik kepala, melihat pada Dareen yang tengah menatap tegang ke arahnya.Wanita itu tertawa kecil. Kemudian mencubit pipi yang ditumbuhi jambang halus milik kekasihnya dengan gemas. Pria itu benar-benar punya otak mesum!"Apaan, sih, Mas? Ini aja masih selimutan kita!" ketusnya. Tangan Kalila mnyubit selimut yang menutupi tubuh mereka dan mengangkat ke atas sebagai penegasan."Ah, ya. K
Dewa turun tangga dengan bersungut-sungut. Mulai merasa frustasi menunggu kabar dari Dareen. Entah, apa rencananya kali ini akan berhasil?"Sial! Dia memang sengaja mempernainkanku! Katanya mau transfer tapi malah tak ada kabarnya sampai pagi," ucap pria yang kakinya menapaki anak-anak tangga.Pria yang selalu berpakaian rapi itu tengah menuju lantai bawah. Untuk menemui Nenek yang selama ini terlihat berpihak pada Dareen."Yah jelas saja ibu tua itu lebih berpihak pada Dareen, pria kaya yang memiliki segalanya. Bukan Dewa yang hanya rakyat jelata," gumamnya kesal.Saat kakinya baru saja menjejak di lantai bawah, matanya menangkap sosok Qinara yang tengah menenangkan Mamanya. Wanita paruh baya itu seperti tengah menangis kehilangan sesuatu."Ada apa?" tanya Dewa penasaran.Bukannya menjawab Qinara melirik pria itu dengan kesal. Mamanya tak peduli, pada keberadaan Dewa. Pria yang sejak awal tak ia sukai.Miranti lebih sibuk memikirkan
"Kamu tahu, karena banyaknya permintaanmu, dan mama ikut-ikutan, Papamu jantungan dan Nenek meminta Papa menceraikan Mama!" Pengakuan Miranti membuat Qinara membeliakkan mata .Ia bertanya dalam benak. Apa maksud mamanya? Kenapa tiba-tiba menyalahkannya? Apa ini tanda wanita itu mulai sadar dan berbalik menentang semua kemauan dan rencana besar yang sudah mereka susun bersama?"Apa maksud Mama? Kenapa Mama tiba-tiba marah padaku?" Qinara bertanya heran."Karena kamu sudah menghancurkan semuanya Qinara. Cinta, hubungan keluarga, hubungan mama dengan nenek dan juga hubungan dengan papamu!" Suara Miranti dipenuhi emosi."Kamu tahu ... Papamu jantungan Qinara, kita harus menghentikan ini Qinara." Meski ia silau terhadap uang, tapi Miranti memiliki perasaan yang dalam pada suaminya. Pria yang selama ini mencintainya dengan tulus.Berbeda dengan kebanyakan pria di luar sana.Pramana satu-satunya pria yang mau menerimanya apa adanya."Heh."
"Silakan Nyonya Dareen yang cantik." Dareen menarik kursi untuk Kalila.Dikulum senyum manis sebagai refleksi hati Dareen.Jangankan hanya menggeser kursi, menggeser hotel pun akan dilakukan jika Kalila yang meminta.Wanita ayu di hadapannya menoleh, matanya menangkap bibir tipis suaminya yang melengkung. Ia pun membalasnya tak kalah manis. Dalam waktu singkat, senyuman yang tulus akan menerbitkan senyum tulus lainnya.Bagi Kalila, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan, selain menimbulkan senyum di wajah orang lain, terutama wajah yang kita cintai."Makasih, Mas."Wanita itu tersipu. Selain lucu dan menyebalkan, Dareen juga bisa bersikap sangat manis untuknya.Keduanya telah saling jatuh cinta, meski Kalila tak pernah mengucapkannya. Jatuh cinta adalah perasaan terbaik yang mereka alami dalam hidup.Namun di sisi lain, perasaan itu kadang menyiksa wanita itu. Jantung berdebar tak karuan, kepala tak karuan rasanya saat melih
Nenek kembali meletakkan ponsel di atas nakas lalu berjalan ke kamar Miranti."Kenapa dia terus di kamar? Apa dia sakit setelah mendengar ucapanku?"Walau bagaimana, mereka selalu akrab selama ini. Layaknya ibu dan anak. Tiba-tiba bertengkar seperti ini, membuat perasaan nenek tak nyaman."Sepi sekali." Wanita itu mengedarkan pandang ke ruang tengah yang lengang lalu ke atas. Matanya memicing ketika melihat Qinara berdiri di depan kamarnya. "Makin hari kenapa makin mencurigakan anak itu.""Sedang apa dia? Masa iya menguping di kamarnya sendiri."Nenek menghela napas. Rasanya akan sulit kalau berhadapan atau pun bernegosiasi dengan Qinara. Sejak awal mereka tak dekat.Bukan hanya tak dekat secara emosional, tapi mereka juga dipisahkan jarak. Cucu bungsunya itu lebih suka tinggal di indekost ketimbang rumahnya sendiri.Ia pun melanjutkan langkah ke kamar menantunya.Lengang sekali.Penasaran, wanita tua itu menempelkan tel
Setelah kelelahan dan mengobrol ke sana ke mari, Kalila dan Dareen tertidur di atas ranjang mereka di bawah selimut berdua.Hingga suara dering ponsel terdengar di nakas.Dareen meraba-raba benda itu dan mengangkatnya begitu saja tanpa melihat siapa yang memanggil."Halo, Dareen." Suara berat di ujung telepon sungguh tak asing. Suara yang langsung mengingatkannya pada satu orang. Biantara."Papi?" Matanya melebar. 'Ah, pasti mau nanyain malam pertamaku,' batinnya. Dia merasa terganggu karena panggilan itu."Halo, Pi. Assalamualaikum." Dareen melemahkan suara."Waalaikumsalam," sahut Presdir Biantara Group tersebut."Dareen. Gimana?" Pria di ujung telepon terkesan tak ingin basa-basi."Apanya?" tanya Dareen heran."Apa kamu sedang jalan-jalan?" Biantara penasaran, apa Dareen jadi berkeliling kota di Paris saat pagi hari. Mengingat cuaca di sana sedang dingin-dinginnya."E, itu ...." Suara Dareen menggantung. Pria i