Home / Romansa / SANG KAPTEN / Bab 6. TENTANG RASA

Share

Bab 6. TENTANG RASA

Author: Ai
last update Last Updated: 2021-06-25 00:24:04

Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya.

"Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya.

Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh  dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan.

Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline yang ia kerjakan kemarin. Kasus 15 tahun silam, yang kini dilimpahkan padanya oleh Praditia selaku bosnya. Untuk diulas kembali supaya jelas dan gamblang. Dan benar  saja, ketika Headline itu mulai bergulir di media, orang-orang lama yang terlibat kasus serupa mulai menunjukkan taringnya.

Selain kasus pembunuhan berantai, organisasi 15 tahun silam terlibat kasus geng mafia dan kepemilikan senjata tajam. Di lain itu bergulir kasus suap juga. Entah siapa saja yang terlibat. Yang pasti di benak Arbia, Soepomo Hardiningrat-lah yang digadang-gadang oleh ayahnya sebagai pemimpin organisasi itu.

Berlari sekencang mungkin untuk menjauh dari si peneror, Arbia seperti orang yang membabi buta. Tangannya terus bergerak-gerak mencari nomor seseorang yang akan dihubunginya.

Tut ...

Jaringan telpon terhubung. Tapi ...

"Buk-kk! Akh ... " Arbia meringis. Dia menabrak seseorang lagi. Tapi kali ini, dia sangat mengenal  sosok yang ia tabrak. Wajahnya tiba-tiba memucat. Ada kepanikan di sana. Mundur beberapa langkah tapi di belakangnya, seseorang yang menerornya siap siaga. Dalam kebingungan itu,

"Hei! Jangan lari! Peneror itu lari berbalik arah setelah mengetahui sosok yang ada di depan Arbia. Arbia mengatur nafasnya yang tersengal. Dia terduduk sambil terus menepuk-nepuk dadanya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya seseorang itu. Sekembalinya dari pengejaran yang tidak berhasil. Arbia menggeleng lemah. Nafasnya masih tersengal.

"Aku antar pulang." ucap pria itu lagi. Sambil membimbing tubuh Arbia berdiri.

Arbia menatap sosok itu dalam-dalam. "Hari ini, dia bisa sebaik ini. Entah besok, ekspresi apa lagi yang akan ia tunjukkan?"

"Jangan sentuh Aku!" teriak Arbia tiba-tiba. Sosok itu, Arka Abianta. Spontan melepaskan rangkulannya pada bahu Arbia. Dipandangnya cewek cantik itu dengan saksama.

"Sebegitu takutnya kamu sama Aku?" tanyanya kalem. "Apa kamu sudah melupakan Aku , Arbi?" Sesaat Arbia tersentak mendengar  pertanyaan Arka. Lamat-lamat dia mengamati wajah Arka.

"Adakah kita saling mengenal sebelumnya?" tanyanya sedikit gemetar dan beringsut mundur.

Arka! Sosok itu mulai menunjukkan muka serius. Dia menatap wajah Arbi dengan tajam.

"Kamu ingat cincin ini?" ucapnya seraya mengangkat 5 jarinya dan menunjuk jari  manisnya. "Ini! Ikatan cincin kita sewaktu kecil. Ingatkah kamu? Waktu kita bermain di taman. Aku memberimu cincin mainan berbentuk seperti ini. Aku adalah teman kecilmu. Yang sudah begitu lama mencarimu." suara itu memang milik Arka.

Arbia masih terpana. Seolah tak percaya. Benarkah dia punya teman semasa kecil? Karena efek trauma semasa kecilnya, sebagian ingatan Arbia hilang. Arbia mencoba mengingat masa-masa kecilnya. Sekilas bayangan dua orang anak kecil melintas di benaknya. Ada tawa riang dari bibir mereka. Berlari berloncatan dengan girangnya. Tapi Arbia tidak tahu siapa mereka.

Tiba-tiba kepalanya seperti ditikam pisau. Rasanya sakit sekali.

"Aukh-kh" Dia memegangi kepalanya yang bedenyut-denyut. Tubuhnya sempoyongan. Arka menangkap tubuh kecil itu.

"Arbi! Kamu tidak apa-apa, kan?" Suara panik Arka melihat Arbia kesakitan. 

"Jangan sentuh Dia!" Seketika Arka membalikkan badan menoleh ke arah suara itu. Dari arah yang berlawanan terlihat sosok laki-laki tegap melangkah ke arah mereka.

Kapten Axelle, dengan cepat menghampiri mereka.

"Lepaskan dia!" ucapnya sekali lagi sambil menarik tubuh Arbia ke dalam pelukannya.

"Sebaiknya kamu pergi sebelum anak buahku menangkap kamu! Ini kesempatan baik kamu!" Arka berdecih mendengar perkataan dari Axelle.

"Sampai kamu menyakitinya, aku akan bikin perhitungan denganmu!" Jari telunjuk Arka mengarah tepat di muka Axelle. Untuk selanjutnya pria itu sudah menghilang dari hadapan Axelle.

Axelle dengan sigap menggendong tubuh kecil Arbia. Gadis itu terkulai lemah digendongan sang kapten. Matanya samar-samar memperhatikan cowok tampan itu. Dan mengeratkan rangkulannya.

******

"Kenapa setiap pertemuan kita, kamu harus selalu dalam kondisi seperti ini?" ucapnya datar sambil merapikan selimut Arbia dan duduk di sisi pembaringan.

Arbia terbaring lemah. Tapi tatapanya teduh ke arah laki-laki yang selalu jadi super heronya itu. Sudah tak ada lagi untuk menghujat dan saling berdebat pendapat. Apalagi membenci. Yang sekarang Arbia rasakan, tubuhnya lelah sekali. Rasanya seperti tak punya tulang.

Sang kapten mendekatkan wajahnya. "Nggak bisakah setiap pertemuan kita jangan seperti ini? Kamu selalu terluka." bisik Axelle pelan.

Arbia menahan nafas kuat-kuat. Merasakan debar jantungnya yang tiba-tiba meletup. Ketika disadarinya wajah laki-laki itu begitu dekat. Hembusan nafas mereka menyatu. Ini untuk kedua kalinya situasi seperti ini.

"Arbia," bisiknya serak. Wajah mereka sudah menyatu. Axelle mulai menggila. Melupakan status dan kondisi. Diraihnya wajah gadis cantik itu. Dibelainya lembut. Disatukannya bibir itu dengan bibirnya. Disesapnya lembut penuh ketulusan.

Arbia terbuai. Melupakan tentang dendamnya. Tentang rasa bencinya yang begitu kuat. Semakin terpejam semakin dia menikmati sentuhan-sentuhan Axelle.

"Arbi," panggilnya disela-sela sesapannya. Arbia tidak menggubris suara serak itu. Semakin di lelapkannya perasaannya.

"Bolehkah aku menyukaimu?" Sesaat Arbia tersentak. Tapi hatinya sangat bahagia. Dan semakin dia menyesapkan rasanya yang sesungguhnya. Dilingkarkannya tangan mungilnya ke leher sang kapten. Laki-laki itu membenamkan perasaanya dipuncak keinginannya. Kota yang dingin itu, menjadi saksi hati yang bertaut antara benci dan cinta.

Satu jam kemudian,

Suara ponsel di atas nakas berdering. Axelle mengusap lembut kening Arbia. Gadis cantik itu terlelap sesaat.

"Arbi! bisiknya, usapannya turun membelai wajah yang tak pernah bosan dipandang itu.

"Hei!" sekali lagi diusapnya pipi itu.

"Hemm-mm," suaranya terdengar malas.

"Ponsel kamu berdering. Ada yang telpon." Dengan mata masih terpejam tangannya menggapai ponselnya di atas nakas. Axelle hanya tersenyum tipis melihat gadis yang tiba-tiba bersemayam dihatinya itu. Diraihnya ponsel itu lalu diletakkan di telinga sang gadis.

"Hallo, dengan siapa di sana?" Suara orang terkekeh mengejek di seberang telpon. Arbia agak terhenyak

"Nikmati malam terakhirmu bersama dia Nona, karena belum tentu besok kamu bisa menikmati hari-hari seperti ini lagi!" Spontan Arbia membelalakkan mata. Gerakan refleknya membuat Axelle yang bertelanjang dada bangkit mendekatinya.

"Kamu siapa? Mau apa? Dari siang kamu menggangguku terus, mau kamu apa?" Suara Arbia dalam kepanikan. Axelle merapikam selimut yang menempel di dada gadis itu. Punggung telanjangnya membuat Axelle menelan salavinanya.

"Ada apa? Siapa yang nelpon?" tanyanya sambil mendekap gadis itu. Arbia terguncang. Entah kenapa air matanya jatuh sendiri. 

"Tenang, tenang. Ada aku di sini." Usapannya di punggung gadis itu mampu membuat Arbia sedikit melunak.

"Ceritakanlah, ada apa?"

Akhirnya Arbia menceritakan awal mula kejadian hari ini. Bermula dia dilimpahkan tugas oleh pimpinan direksi untuk mengerjakan Headline yang bertajuk tentang kasus pembunuhan 15 tahun silam. Sampai pada hari ini dia menemukan berkas-berkas organisasi yang terlibat dengan kasus masa silam itu.

Hingga dirinya tiba-tiba menerima pesan singkat berkali-kali dari si peneror gelap. Sepulang lembur kerja dia diikutu si peneror. Akhirnya terjadilah musibah. Dilain itu pertemuannya dengan Arka dan berakhir di ranjang dengan Axelle.

BERSAMBUNG

Ai

Mari membaca

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SANG KAPTEN   Bab 143(S2). MENDAMAIKAN HATI

    Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te

  • SANG KAPTEN   Bab 142(S2). TEGEDI YANG TERBONGKAR

    Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin

  • SANG KAPTEN   Bab 143(S2). PEMBUNUH ARBIA

    Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han

  • SANG KAPTEN   Bab 142(S2). MUSUH TERSELUBUNG

    Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi

  • SANG KAPTEN   Bab 141(S2). TRAGEDI LAGI

    Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak

  • SANG KAPTEN   Bab 140(S2). BOOM DI APARTEMEN

    "Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status