Mengenai 10 tahun yang lalu itu! Reporter muda, Arbia Siquilla, menatap bergeming sosok yang berdiri di hadapannya dengan balutan seragam kebesarannya. Seragam dengan pangkat yang tidak main-main, dengan senjata laras panjang di tangannya yang kapan saja bisa dimuntahkannya peluru itu tepat ke arah kepala sang penodong si gadis. Narendra Axelle, kapten satuan polisi yang saat ini bertugas menangkap komplotan mafia dengan pimpinan yang saat ini sedang menodongkan senjata tajamnya ke arah pelipis Arbia. Dia adalah Arka Abianta, diketahui pimpinan mafia yang akhir-akhir ini begitu meresahkan. Erat hubungannya dengan misi sang gadis, reporter muda yang nekad terjun ke dunia jurnalis hanya untuk menemukan siapa pembunuh berantai kedua orang tuanya. Namun tak menyangka dalam peristiwa ini di bertemu dengan sosok cinta pertamanya 10 tahun yang lalu, namun bertepuk sebelah tangan. Alih-alih sebagai jembatan tali kasih sahabat terbaiknya, seorang dokter muda yang berbakat. Sayang, kehidupan berbalik. Sosok kapten yang sedang di hadapannya adalah tunangan sang sahabat. Bersamaan dengan peristiwa ini. Arbia juga menemukan fakta. Seorang Arka Abianta adalah teman di masa kecilnya sekaligus kakak angkatnya. Belum terbongkar siapa pembunuh berantai kedua orang tuanya, Arbia dan Axelle terlibat hubungan asmara yang menyebabkan pertikaian antara dirinya dan sahabatnya. Lebih parahnya lagi mana kala diketahui ayah dari sang ayah di klaim sebagai dalang pembunuhan berantai kedua orang tuanya 15 tahun silam. Dapatkah Arbia mengungkap misteri pembunuhan kedua orang tuanya, dan bagaimana hubungan Arbia dengan Axelle jika diketahui sang sahabat menentang keras pengkhianatan mereka? Tetap ikuti episode selanjutnya di sini SANG KAPTEN, bersama Saya: Ai
Lihat lebih banyakSuara dentingan peluru yang silih berganti itu, tidak sedikit pun membuat gadis cantik, dengan tinggi badan 165cm dan rambut sebahu terurai lepas itu sedikitpun gentar. Dia terus menjepretkan cameranya ke setiap sudut tempat . Bahkan dengan berjingkat lincah dia mengambil gambar dari peristiwa yang terjadi saat itu.
Dengan setengah berlari gadis itu, Arbia Siquilla, seorang jurnalis dari kantor terkenal di kotanya memburu berita tentang terjadinya pembunuhan dan perampokan di kawasan komplek dekat dia bekerja.
Tanpa menghiraukan keselamatannya, dia terus meliput serangkaian peristiwa baku hantam antara tim pasukan khusus dari kepolisian dengan segerombolan mafia yang berbaju serba hitam-hitam.
Ketika Arbia fokus mengambil gambar seseorang yang jauh di depannya, mengarahkan cameranya dan memotretnya dengan hasil sempurna,.tiba- tiba sebuah benda sudah menempel di pelipis kanannya.
"Ah, sial...!" Rutuknya dalam hati menyadari situasi itu. Dari awal sudah diberitahukan, reporter dari media apapun tidak boleh meliput berita, apalagi sampai ikut ke dalam pertempuran. Itu sangat berbahaya. Tapi bagi Arbia itu sudah biasa dan menjadi resiko dalam pekerjaanya. Selama ini dia selalu berani mengambil resiko demi loyalitas kariernya. Resiko apapun dia ambil. Bahkan dengan keberaniannya inilah, namanya mencuat terkenal. Karena ada beberapa berita sensasional mampu dia liput.
Masih dengan camera di tangannya, Arbia berdiri terpatung. Seseorang yang menodongkan pistol ke pelipis kanannya itu, adalah salah satu dari gerombolan mafia. Di seberang tempat Arbia berdiri, ada pria tegap dengan perawakan tinggi, badan kekar, muka ditutup. Di tangannya sebuah senapan laras panjang.
Pria itu dengan tenang melangkah maju mendekati mereka. Tanpa bergeming dan terus berjalan, pria yang tak lain kapten polisi pasukan khusus pemberantas mafia bernama Narendra Axelle itu, menyipitkan mata. Dan tepat di hadapan Arbia yang masih ditodongkan pisto, dia berhenti.
"Lepaskan wanita itu!" suaranya lantang. Sosok laki-laki tegap di samping Arbia itu bergeming. Pembawaanya yang begitu tenang mampu membuat Arbia terpaku tanpa melakukan perlawanan.
"Kamu lepaskan kami, aku akan melepaskan wanita ini!"
Dia, Arka Abianta pimpinan mafia yang akhir-akhir ini menjadi trending topik dengan ulahnya yang begitu extrem. Merampok dan membunuh. Korban- korbannya adalah pejabat pemerintah yang korup. Dan hasil rampokkannya dia donasikan kepada orang- orang kelas bawah, yang kehidupan sehari-harinya serba susah.
Tapi ulah Arka Abianta ini mampu meresahkan kaum atas yang selama ini hidup bergelimang harta. Hidup mereka terancam semenjak mereka mengikrarkan pemberontakan terhadap orang-orang kalangan atas, yang menghambur-hamburkan uang hanya untuk kepentingan pribadi. Hidup bermewah-mewah tanpa mempedulikan kaum jelata.
Arka Abianta seorang aktivis, yang awal mulanya bekerja di sebuah media terkenal. Tapi karena setiap liputannya ditentang sebagian orang yang merasa terancam dengan berita-berita yang ia liput, akhirnya dia diblack-out di semua media berita.
"Jangan bergerak kalau tidak ingin peluru ini nembus ke kepalamu!" sergah Arka ketika Arbia menggerakaĺn tangannya. Tujuannya melempar camera itu ke arah kapten Axelle agar menyelamatkan cameranya. Karena di dalam camera itu memuat banyak berita hari ini.
Suara dentingan peluru dan baku hantam masih berlanjut.
"Kapten Axelle! Perintahkan anak buah mundur ! Atau kalau tidak, peluru ini akan menembus kepala wanita ini...!" teriakan Arka menggema. Seketika akvitas baku hantam dan dentingan peluru itu terhenti. Semua fokus tertuju dengan suara Arka.
Laki-laki yang sering dipanggil kapten Axelle itu memberikan kode, gestur tangan kanannya melambai ke arah belakang setelah terlebih dulu menaruh senapan laras panjangnya ketanah.
"Biarkan anak buahku pergi! Lepaskan mereka!" Suaranya kembali bergema. Belum lagi suaranya berhenti menggema, Arbia, gadis itu dengan keberaniannya yang luar biasa menyikut dada laki-laki di sampingnya.
"Aaaaaa!" pekik Arka dengan pistol yang sudah jatuh ke tanah. Dia memeŕgangi dadanya yang terasa sakit luar biasa. Arbia dengan cepat lari tapi tak kalah cepat juga tangan Arka yang menarik kedua kaki Arbia dan menyeretnya cepat. Arbia tersungkur dan terseret mengikuti gerakan cepat Arka.
Kapten axelle dengan cepat bergerak dan berlari. Di tangannya sudah memegang kembali pistolnya. Tapi untuk fokus menembak peluru kearah Arka tidak mudah. Arka terus berlari menyeret tubuh kecil Arbia.
"Derrrrrrr ...!" Tembakan itu menembus kulitnya.
******
Mata itu mengerjap. Pandangannya kabur. Dia mulai melebarkan matanya mengitari sekelilingnya. Bau khas rumah sakit. Nafasnya masih lemah, ketika pandangannya jatuh pada sosok tampan di hadapannya, dia mulai mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
Pria dengan seragam kebesarannya itu mendekat dan duduk di hadapan Arbia.
"Sudah sadar? Apa yang kamu rasakan? " suaranya datar tapi tegas. Di sana, di matanya, ada kelembutan. Tatapan itu mampu membuat Arbia nervous sesaat. Dengan sedikit membuang muka dia membalas.
" Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan mafia itu, apakah mereka tertangkap?" suaranya lemah.
Kapten Axelle mendekat ke arah Arbia. Laki-laki itu tersenyum dengan manis. "Kamu tidak usah merisaukan itu. Yang terpenting kondisimu harus cepat pulih. Lain kali kamu harus mengikuti prosedur yang ada. Jangan melawan aturan. Itu akan membahayakan diri kamu sendiri." ucapnya tenang, mampu menghipnotis seorang Arbia yang selama ini menentang pendapat orang lain.
"Apa kamu tidak punya keluarga di sini? Aku lihat dari ponselmu, semua kontaknya hanya ada teman-teman kerja kamu?" Kembali laki-laki itu menguarkan suaranya yang mempesona.
Arbia menggeleng lemah. Menutup mata dengan cepat. Pertanyaan kapten Axelle mampu mematahkan hipnotis yang tadi dia rasakan. Ada gulir air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya.
Sang kapten kaget melihat gadis muda itu tiba-tiba menangis.
"Eh kok nangis, apa aku salah ngomong?" Panik jelas terlihat di raut muka pria tampan itu. Sesaat Arbia membuka mata. Dia baru sadar air matanya meleleh sendiri.
"Maaf, kalau Aku salah ngomong," Lembut suara itu membuat Arbia tersenyum dan menggelang. Dia menghapus air matanya.
Sekelumit masa kecilnya membias pedih di hatinya.
15 tahun yang lalu, tragedi itu membuat seorang Arbia terpuruk di lorong rumah sakit begitu lama. Peristiwa pembunuhan berantai kedua orang tuanya, oleh orang-orang yang terancam dengan pemberitaan seputar korup.
Ayah Arbia seorang reporter yang kritis dengan berita-berita kontroversional, memburu setiap berita pejabat-pejabat yang tersandung dengan kasus korupsi. Setiap berita dan liputannya mencuat membuat beberapa orang merasa terancam dan akhirnya terjadi tragedi itu.
Dia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Belum lagi neneknya yang terkena serangan jantung dan meninggal selang sehari pemakaman ayah dan ibunya. Semakin membuat Arbia yang saat itu baru berusia 8 tahun terpuruk.
Mentalnya yang rapuh terjatuh, menerima kenyataan pahit. Kehilangan 3 orang sekaligus, orang-orang yang teramat penting dalam hidupnya.
Arbia terhenyak merasakan sentuhan di bahunya. "Kamu baik- baik saja, kan?" Kapten Axelle mengelus bahunya lembut. Seolah menikmati sentuhan di pundaknya, Arbia mengangguk pelan.
"Jangan banyak pikiran, biar kamu cepat pulih. Sampai dengan kesembuhanmu, aku akan terus di sampingmu." ucapnya memberikan pengharapan.
BERSAMBUNG
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen