Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap.
Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya.
Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka.
Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya.
"Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek.
"Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa mengantongi nama-nama orang yang terlibat dengan kasus pembunuhan 15 tahun silam.
Sambil menatap layar komputernya, sebenarnya dia merasa janggal dengan Headline yang di ajukan bosnya. Tidak biasa-biasanya sang editor mengupas bahkan mengulas berita yang sudah usang.
Pembunuhan yang menewaskan ke dua orang tuanya itu, sekarang mulai bergulir lagi di media berita. Seluruh surat kabar sekarang sedang berame-rame menjadikan trending topik Headline tersebut.
Seingat Arbia, tidak ada yang tahu kalau dirinya adalah anak dari korban pembunuhan itu. Hanya kapten Axelle dan Arka Abianta yang paham siapa dirinya. Tidak mungkin sekali, kalau Axelle yang membuat Headline itu, apalagi Arka! Dia adalah gembong mafia yang jadi target operasi Axelle.
Akh-, Arbia menghembuskan nafas kuat-kuat. Ada sesuatu yang janggal ia rasakan, ketika mengulas tentang Headline yang bertajuk pembunuhan 15 tahun silam. Ada semacam konspirasi. Entah konspirasi antara apa dan siapa.
Arbia menoleh ke atas meja kerjanya, ketika terdengar dering telpon ponselnya.
"Hallo, Pak! Arbia di sini!"
"Arbi! Tolong ke ruangan Saya ya, ada berkas yang ketinggalan di meja kerja. Langsung antarkan ke Hotel Buana!" seru seseorang yang ada di seberang telpon.
"Ok, siap, Pak!" Tanpa menunggu lama Arbia langsung ke ruang direksi. Dicarinya berkas yang katanya ada di atas meja. Namun hampir 5 menit berkas itu belum ketemu. Di cobanya dia membuka brankas yang ada di samping meja kerja.
Satu per satu, Arbia memilah file-file itu. Tanpa sengaja matanya terbentur sebuah foto, sang editor dan beberapa foto temannya. Dengan ragu, Arbia mengambil bingkai foto itu.
Detak jantungnya berhenti sesaat, ketika dilihatnya, di situ ada foto praditia Wicaksana dan Zakaria lawalata pimpinan sebuah organisasi di zamannya. Entah ada hubungan apa mereka, lebih mengejutkan lagi, selain foto mereka berdua tampak jelas seorang Arka Abianta di sana memeluk erat wanita yang di gandeng Zakaria Lawalata.
Arbia semakin merasakan detak jatungnya tidak normal. Sebenarnya ada hubungan apa mereka. Tidak lupa di situ tersisip seorang Soepomo Hadiningrat.
Mungkin usia foto itu baru berusia 3 atau 4 tahun yang lalu. Sayangnya sang kapten tidak ada di sana. Tidak tahu pikiran dari mana, Arbia menjepretkan camera ponselnya beberapa kali ke arah bingkai foto itu.
Tersentak sesaat ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Sesegera mungkin dia mengangkatnya.
"Hallo, Pak! Ini, berkasnya belum ketemu, di atas meja nggak ada!" seru Arbia panik. Suara di seberang lebih panik lagi.
"Coba cari lebih teliti ya Arbi, berkas itu penting sekali! Saya ada pertemuan penting hari ini. Tolong segera ya Arbi! Tut ..."
Arbia tertegun sesaat. Tapi dia masih berusaha mencari berkas itu.
******
Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memasuki hotel Buana. Dia menuju lantai 10. Di tangannya ada berkas penting yang diminta bosnya.
Pintu lift terbuka. Dengan tergesa dia berjalan ke ruang pertemuan. Tapi baru beberapa langkah kakinya berjalan, terlihat Praditia Wicaksana selaku bosnya sedang berbicara dengan seseorang yang sudah terlalu familiar.
Zakaria Lawalata! Yah, Praditia Wicaksana sedang berbicara serius dengan laki-laki di masa zamannya itu sukses memimpin organisasinya.
Arbia berjalan perlahan mendekati mereka. Dia memasang masker di mukanya supaya tidak ada yang mengenalinya.
"Mainkan semua dengan cantik Praditia! Saya nggak mau ada kegagalan. Bagaimanapun dia umpan yang tepat buat menjebak Soepomo Hardiningrat masuk ke hotel prodeo."
Laki-laki yang sudah menginjak umur 60 tahunan itu menatap Praditia sesaat. Sosok tampan itu terdiam. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.
"Aku tahu kamu menyukainya, Arka juga lebih menyukai dia terlebih dahulu. Jangan bikin kesalahan yang sama seperti Arka. Hanya karena dia menyukai gadis itu, karena dia teman semasa kecilnya, Arka menghancurkan semua rencana besarku." Laki-laki itu menarik nafas pendek sebelum melanjutkan perkataannya.
"Jangan sampai kamu juga berbuat hal yang sama. Aku mengandalkanmu, Praditia. Kalau rencana kita berhasil, kamu sudah bisa membalaskan dendam ayahmu."
Ucapan dan perkataan yang panjang itu mambuat Praditia membisu. Ada yang bergejolak di dalam hatinya. Antara iya dan tidak.
Sedang Arbia tidak melewatkan sedetikpun kalimat demi kalimat itu dari rekaman ponselnya. Selanjutnya dia memutar arah kembali ke lantai dasar.
Di dalam lift, Arbia banyak berpikir. Ternyata selama ini banyak yang tidak diketahuinya. Termasuk Arka, adalah teman masa kecilnya. Memorinya sebagian hilang karena trauma 15 tahu silam.
Sebenarnya rencana apa yang akan di lakukan laki-laki itu. Ada hubungan apa antara Zakaria Lawalata dengan bosnya. Juga dengan Arka. Apakah mereka masih punya kekerabatan?
Akh entalah, Arbia merasakan sakit di kepalanya. Yang pasti saat ini dia sudah mengantongi bukti penting. Mungkin kasus 15 tahun silam itu sengaja di buat Headline, karena itu bagian dari rencana mereka.
Dan yang lebih pasti, saat ini dia lah yang dijadikan umpan oleh mereka. Otak Arbi terus berjalan, sampai lift terbuka. Yang tidak dia habis pikir, apakah seorang Praditia tega berbuat kejahatan seperti itu? Orang yang selama ini dikagumi olehnya.
"Pak, Saya sudah di lobi ya, tolong Bapak ke bawah saja, soalnya Saya harus segera ke kantor. Headline hari ini harus segera tayang." Arbia menutup telpon singkatnya.
"Terima kasih ya Arbi, maaf ya sudah buat pekerjaanmu tertunda." Arbi hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya, masih tak percaya kalau seorang Praditia bisa melakukan semua dengan rapi.
Selintas Arbia teringat Axelle. Ada perasaan ragu di hatinya, kalau kasus pembunuhan itu didalangi Soepomo Hardiningrat. Tapi kenapa, ayahya meninggalkan wasiat seperti itu.
Semakin bingung Arbia dengan kasus yang mulai bergulir kembali ke media itu. Ada semacam konspirasi dari beberapa orang yang memanfaatkan keberadaannya.
Mungkin sebaiknya Arbia harus mendiskusikan masalah ini dengan Axelle. Bagaimanapun sekarang , Axelle sudah menjadi bagian dalam hatinya. Apalagi ini menyangkut kasus ayahnya di masa lalu silam yang sengaja di gulirkan kembali untuk menjatuhkan atau mengkambingkan hitamkan seseorang demi menutupi kebenaran yang ada.
Dalam hal ini, rasanya Arbia menyerah kalau harus berurusan dengan bosnya. Apalagi ini ada hubungannya dengan kasus berat seperti ini. Kasus masa lalu, kasus pembunuhan berantai, kasus kepemilikan senjata tajam dan, juga kasus suap.
BERSAMBUNG
Hai teman-teman Saya up lagi
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin