Ketenangan Alden sebenarnya mempengaruhi perasaan ketua pasukan yang bernama Mark itu. Dia sedikit tertegun melihat bagaimana wajah Alden yang tak ada tersirat kepanikan atau ketakutan sama sekali. Justru Alden terlihat seperti orang yang sangat sombong dengan keyakinannya.
“Kalian semua bukanlah tandinganku. Aku tidak butuh bantuan hanya untuk menghadapi kalian,” ujar Alden dengan suara yang tenang namun penuh dengan kepercayaan diri. Tatapan tajamnya terfokus pada Mark, ketua pasukan penyerang itu.
Mark bergeming dengan gertakan di giginya. Sorot mata tajam Alden seolah menembus kegelapan, dan pada saat yang sama, ketegangan semakin terasa di udara.
Kelompok orang di hadapan Alden merasa tersulut amarahnya hanya dengan perkataan Alden. Salah satu di antara mereka mengepalkan tinjunya dengan penuh emosi.
“Siapa kau, hah? Berani sekali bicara seperti itu pada kami!”
Alden tetap tenang, “Siapa aku bukanlah hal yang penting. Yang jelas, kalian semua bukanlah tandinganku.”
Merasa marah dengan ucapan Alden yang penuh keangkuhan itu, tanpa ragu mereka mulai melontarkan cemooh.
“Kau bahakn hanya sendirian di sini! Masa jaya kelompokmu itu sudah habis, dan kau hanya salah satu kelemahan kelompok sialanmu! Pemimpinmu saja bahkan seorang pengecut yang lebih memilih bersembunyi dari pada menolong anggotanya sendiri!”
Alden merasa seperti ada kilatan api dalam matanya saat mendengar celaan itu. Namun, dalam lubuk hatinya, ia tahu bahwa ada benarnya dalam perkataan mereka. Ia pensiun demi keselamatan dirinya sendiri, tanpa memedulikan para anggota kelompoknya yang telah lama mendukungnya. Sebenarnya masih ada begitu banyak yang bergantung padanya.
Sebuah gelombang perasaan campur aduk menghantam Alden. Amarah, penyesalan, dan tekad untuk membuktikan diri merayap dalam hatinya. Namun, sebelum emosi bisa merontokkan kendalinya, serangan mendadak datang dari penyerang.
Bugh... bugh!
Pukulan demi pukulan tak bisa dihindari. Ada belasan orang menyerbu Alden dengan benda-benda tumpul dan tajam.
Insting pertarungan Alden mulai terpicu. Ia memblokir serangan-serangan dari pihak lawan dengan gerakan lincah dan tepat. Pukulan dan tendangan melayang dari tubuhnya, menghantam lawan-lawannya dengan kekuatan yang mengejutkan. Tatapan matanya tajam dan fokus, mencerminkan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.
Bugh!
“Sial!” umpat Alden begitu pukulan lawan berhasil mengenainya.
Darah mengalir dari hidungnya, mengaburkan sedikit pandangannya. Tetapi dia masih berdiri tegak, dan melawan.
Ia menggunakan kecepatan dan ketepatan untuk menyerang balik, melumpuhkan musuh-musuhnya satu per satu. Pukulan keras terarah pada titik-titik yang tepat, mengakibatkan beberapa dari mereka terjatuh dengan rasa sakit.
Mark yang melihat semua itu dengan tercengang. Ia menyaksijkan sendiri kekuatan dan kemampuan Alden yang luar biasa saat melumpuhkan anggota-anggotanya.
Pikirannya merenungi tentang seberapa tangguh kelompok mafia Alden. Jika satu orang saja sudah bisa melumpuhkan belasan dari mereka, lalu bagaimana dengan kelompoknya?
Sayangnya, pertempuran itu belum usai begitu saja. Ketegangan kembali merayap di udara dengan sorak-sorai dari kelompok penyerang kedua yang terdengar semakin dekat. Kali ini mereka membawang senjata tajam dan bahan mudah terbakar.
Sudah sangat jelas mereka berniat membumihanguskan markas rahasia kelompok mafia Alden yang juga berfungsi sebagai pusat data dan aset-aset berharga mereka.
"Kau pikir kau bisa menghentikan kami dengan serangan ini?" ejek Mark sang ketua pasukan penyerang pertama.
Senyum pongah terukir di wajahnya. "Pergilah, beritahu ketua kalian untuk kembali. Tapi, percuma saja."
Alden hanya mengepalkan tangan, meresapi kemarahan yang terus berkobar. Terdengar sorakan dari kelompok kedua itu semakin mendekat, dan dalam sekejap, senjata-senjata tajam dan obor-obor menyala memenuhi udara. Tetapi, sebelum serangan itu tiba, Alden melangkah maju, sepasang mata yang membara dalam kegelapan.
"Kali ini, kalian tidak akan lolos," ujar Alden dengan suara yang penuh dengan tekad.
Sementara itu, ketua pasukan penyerang pertama menatap Alden dengan mata yang bersinar ganas. Ia merasa sudah memiliki rencana yang sempurna untuk menghadapi Alden.
"Kau akan mati di tanganku kali ini!” ucapnya dengan penuh penekanan.
"Jika kau mengira aku akan pergi begitu saja, kau salah besar," ujar Alden dengan suara tegas, menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerah begitu mudah.
Tawa Mark semakin membesar, mencerminkan keyakinan dirinya. Dalam sekejap, suasana kembali tegang. Mark mendongak menatap Alden yang sama sekali tidak terpengaruhi.
"Aku akan menembakmu hingga mati!” sambung Mark dengan nada suaranya yang terdengar serius.
Alden tak terlihat gentar, dia malah berjalan ke hadapan Mark seolah-olah menantang pria bersenjata itu. Tatapan matanya sangat tajam, namun eksperisnya tetap terlihat tenang.
“Lakukanlah jika kau mampu,” tantang Alden.
Mark mengetatkan tangannya yang memegang pistol. Raut wajahnya memerah karena marah. Emosi tersulut cepat hanya karena ucapan Alden yang tidak seberapa itu. Tapi dia tetap membencinya.
Orang-orang mulai menertawakan keberanian Alden yang dianggap tidak masuk akal oleh banyak orang. Alden berdiri tegak di tengah medan pertempuran, tanpa senjata, tetapi dengan rasa percaya diri yang membara. Dia melihat lurus ke mata Mark yang mengandung tantangan, dan tidak ada keraguan sedikit pun di dalam tatapannya.
"Maukah kau segera menyerah?" Mark berkata dengan nada yang penuh dengan cemoohan. "Kekalahanmu sudah pasti."
Amarah Alden semakin memuncak. Sejak ia pensiun, instingnya memang tumpul, namun semangatnya masih berkobar. Dengan cepat, ia mengambil sepotong besi dari salah satu musuh yang sudah terkapar di tanah.
“Dengarkan baik-baik!” ucapnya dengan suara tegas. “Kalian terlalu banyak bicara!”
Mark berdecih marah. Dia hendak menarik pelatuk senjatanya yang mengarah pada kepala Alden.
Dor!
Tiba-tiba tangannya terjepit, dan serangan peluru melesat ke udara. Rintihan kesakitan terdengar dari bibirnya.
“Arghh... sialan!” umpatnya.
Semua orang bingung dan berusaha mencari sumber tembakan, termasuk Alden. Tapi sebelum mereka bisa meresepon, segerombolan pasukan mafia datang dengan jumlah setara.
Mereka dipimpin oleh Frey, sosok orang kepercayaan Alden. Dia tidak sendiri, dari belakangnya muncul seorang wanita cantik berambut merah. Wanita itu berjalan di samping Frey dengan santai sambil membawa sebatang sniper dengan sikap penuh percaya diri.
“Ternyata setelah kembali dari masa pensiun, kecerobohanmu masih tetap sama, huh?” goda wanita seksi itu.
“Kamu selalu ingin melakukan semuanya sendiri!” sambungnya.
Alden hanya berdecak malas. Adernalinya kembali terpacu begitu melihat pasukannya. Tanpa ragu dan menunggu para musuhnya bertindak, ia lebih dulu menyerang dari depan. Sementara kelompok mafianya menyerang dari arah samping.
Bugh... bugh!
Suara pukulan dan suara tembakan menyatu dalam udara malam yang penuh dendam itu. Musuh Alden terkejut dan terpencar dalam kekacauan tersebut. Mereka tidak bisa menahan serangan pasukan mafia Alden.
Ketika semua musuh sudah terkapar, Alden berjalan menuju pasukan musuh yang masih hidup. Dia menatap mereka dengan tatapan tajam, tanganya menarik kerah baju Mark yang sudah terluka parah.
“Berikan salamku pada ketua mafia kalian," katanya dingin. "Beritahu dia bahwa kematian akan segera menjemputnya!”
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me