Suasana di dalam ruangan terasa begitu tegang. Suara ketukan jari-jari Alden di atas meja mejadi irama tak terduga dalam pertemuan tersebut. Mr. Kendrick, sang manajer pengelola dana kelompok mafia itu duduk di samping Alden sambil menatapnya dengan serius.
Ini pertama kalinya lagi ia melihat wajah serius Alden, setelah sekian lama berada dalam kondisi terpuruknya. Sialnya, ia malah melihat sendiri pegawainya memperlakukan Alden dengan buruk dan secara berani memakinya.
“Beritahu aku apa yang masih tersisa!” pinta Alden tanpa basa-basi dan langsung ke inti pembicaraannya.
Mr. Kendrick akhirnya memulai permbicaraan. Dia melaporkan dengan jelas segala kerugian yang diderita oleh kelompok mereka akibat serangan kelompok David Durant.
Mr. Kendrick menarik napasnya dalam-salam sebelum melanjutkan paparannya. “Situasi semakin parah, Sir. Kelompok David benar-benar telah menghancurkan sebagian besar aset kita. Beberapa gudang yang kita miliki sudah terbakar habis, menyisakan bara dan puing-puing yang kian menggunung. Bukan hanya itu saja, mereka juga menyabotase gedung-gedung yang kita gunakan sebagai markas operasi. Kini kita kehilangan tempat berlindung dan berkumpul,” jelasnya.
Alden mendengarkan dengan penuh perhatian, namun ekspresinya semakin keras saat melihat klip video yang menampilkan gudang yang terbakar. Ia merasa seperti ada api yang membakar dalam dadanya, mengingat bagaimana gudang-gudang itu dulunya berisi aset berharga kelompok mereka.
Mr. Kendrick melanjutkan, "Tidak hanya kerugian materil, Sir. Ada juga kerugian imateril yang lebih sulit diukur. Beberapa anggota kita tewas dalam serangan mereka. Mereka tidak ragu untuk mengambil nyawa anggota-anggota kita yang tak bersalah. Kini, kehilangan nyawa mereka telah meninggalkan celah dalam kelompok kita."
Di tengah paparannya, ia menyertakan video yang menunjukkan serangan brutal terhadap salah satu gudang milik kelompok mereka. Tampak di dalam video, David sedang merokok dengan santai sementara seseorang yang dulu mereka anggap enteng tengah mengalami penderitaan.
"Dan yang lebih buruk lagi," lanjut Mr.Kendrick dengan nada rendah, "serangan ini juga merusak reputasi kita di dunia bawah tanah. Kabar tentang kerentanan kita menyebar seperti api, mengabarkan bahwa kita bukanlah penguasa bawah tanah yang tak tergoyahkan lagi. Kelompok David telah meruntuhkan ketakutan dan rasa hormat terhadap kita."
Ketika video itu berakhir, suasana semakin hening. Alden menatap tajam layar tablet yang ditampilkan oleh Mr. Kendrick. Rasa amarah dan keputusasaan terus tumbuh di dalam dirinya. Kemarahan itu mencapai puncaknya saat David memerintahkan salah satu anak buahnya untuk menembak mati orang yang bertanggung jawab atas gudang tersebut. Dalam sekejap, kepalanya berputar dan pandangannya tertuju pada senjata yang diarahkan ke arah pria tak berdaya itu.
Bunyi tembakan itu memecah keheningan ruangan. Alden merasa seperti dunianya runtuh. Ia merasakan kekosongan di dalam dirinya, melihat sosok pria itu tak berdaya jatuh dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Ia merasa marah pada dirinya sendiri, marah pada situasi ini, dan marah pada David yang telah berhasil memanipulasi segalanya.
Tanpa ragu, Alden meraih tablet itu dan menghancurkannya dengan kekuatan fisiknya. Tablet itu hancur berkeping-keping di tangan Alden, seolah mencerminkan kekacauan yang melingkupi hidupnya saat ini. Namun, tindakannya itu hanya menjadi pelampiasan sebentar. Ketidakpastian dan keputusasaan masih membayangi pikirannya.
Alden merasa darahnya semakin mendidih mendengar paparan dari Mr. Kendrick. Penyeragan David dan kelompoknya telah melukai kelompok mafia mereka dengan sangat dalam. Alden merasa dirinya bertanggung jawab atas semua ini. Ia merasakan beban kesalahan yang mendalam karena kelompok David ternyata lebih licin dan cerdik dari yang pernah mereka duga.
“Sir, kita harus bergerak dengan cepat,” ucap Mr. Kendrick yang memahami kemarahan Alden.
Alden mengangguk dengan pahit, merasa perih melihat wajah-wajah rekan lama yang tewas dalam pertempuran tak adil ini. Dalam diam, ia mengumpulkan amarah dan tekad untuk melawan balik.
“Apa kau akan kembali menyatukan semuanya, Sir?” tanya Mr. Kendrick penuh haram.
Rahang Alden yang mengeras, dengan tatapan matanya yang tajam sebenarnya sudah menjawab semua pertanyaan Mr. Kendrick. Tapi dia ingin memperjelasnya dengan jawaban dari mulu Alden sendiri.
“Tentu saja. Milikku harus kembali!” jawab Alden dengan sungguh-sungguh.
Tidak lama setelah itu, ponsel Alden bergetar dalam saku celananya. Ia mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan singkat yang muncul di layar.
Pesan itu berisi tentang informasi sebuah lokasi apartemen tempat dirinya ditunggu. Pesan itu juga memberitahu Alden untuk datang tanpa membawa anggota atau senjata apa pun. Penggirimnya adalah detektif yang sebelumnya menawarkan kerja sama untuk melawan David.
“Aku akan pergi. Pastikan semua aset tersisa kita berada dalam tempat yang aman. Masalah ini, akan aku selesaikan,” ucap Alden pada Mr. Kendrick.
Dia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan meninggalkan Mr. Kendrick tanpa menunggu jawabannya. Dia juga megabaikan pesan dari detekif itu, sebab dirinya sangat yakin bahwa ia bisa menangani masalah ini sendiri tanpa bantuan orang lain.
Dengan langkah mantap, Alden keluar dari perusahaan importir mobil yang ia kelola itu. Ia menuju mobil mewahnya, merasa semakin tegar untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Namun, ketika Alden hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba sepuluh mobil jeep muncul di depannya. Orang-orang keluar dari mobil-mobil tersebut dengan membawa senjata api, senjata tajam bahkan yang tumpul sekalipun. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa mereka adalah bagian dari kelompok musuh yang sudah merencanakan serangan terhadap Alden.
“Bagus sekali, kami menemukanmu di sini.” Suara seorang pria menggelegar di udara. Senyuman sinis menghiasi wajah pria itu yang jelas merupakan pimpinan dari kelompok musuh yang menghadang Alden.
Alden merespon dengan senyuman tipis. Mata pria itu bertemu dengan mata pria yang dulu dianggapnya sebelah mata. Ketua kelompok mafia musuh itu meremehkan Alden, menganggapnya hanya sebagai pion biasa dalam permainan besar ini.
Senyuman di wajah Alden sama sekali tidak berubah. Di balik ketenangannya, ia merasakan api semangat yang membara untuk membalas dendam.
Alden berdiri di sana sendirian, dengan orang-orang bertubuh besar mengelilinginya. Ia bahkan tak memegang senjata apa pun. Tapi pandangannya tetap tenang, menatap orang-orang itu bagai debu yang menghalangi perjalanannya.
“Kelompokmu sebentar lagi akan habis!” ucap ketua pasukan yang mengepung Alden tersebut dengan tawa sombongnya yang menggelegar.
“Oh, ya? Bukankah kau sudah salah perhitungan datang ke sini? Apa kau tidak takut jika kau dan pasukanmu ini tidak akan pernah bisa kembali lagi, hem?” sahut Alden dengan santai
Ketua pasukan itu mengerutkan keningnya. Alisnya bertaut, sambil menggertakkan giginya. Kemudian dia tiba-tiba tertawa dengan kencang.
“Apa kau pikir dirimu ini sungguh hebat, heh? Kau bahkan tak lebih dari seorang sebuah budak yang tidak berguna di sini! Lebih baik kau menyerah saja, atau jika perlu berteriaklah minta tolong pada bosmu yang pengecut itu!”
Ketenangan Alden sebenarnya mempengaruhi perasaan ketua pasukan yang bernama Mark itu. Dia sedikit tertegun melihat bagaimana wajah Alden yang tak ada tersirat kepanikan atau ketakutan sama sekali. Justru Alden terlihat seperti orang yang sangat sombong dengan keyakinannya. “Kalian semua bukanlah tandinganku. Aku tidak butuh bantuan hanya untuk menghadapi kalian,” ujar Alden dengan suara yang tenang namun penuh dengan kepercayaan diri. Tatapan tajamnya terfokus pada Mark, ketua pasukan penyerang itu. Mark bergeming dengan gertakan di giginya. Sorot mata tajam Alden seolah menembus kegelapan, dan pada saat yang sama, ketegangan semakin terasa di udara. Kelompok orang di hadapan Alden merasa tersulut amarahnya hanya dengan perkataan Alden. Salah satu di antara mereka mengepalkan tinjunya dengan penuh emosi. “Siapa kau, hah? Berani sekali bicara seperti itu pada kami!” Alden tetap tenang, “Siapa aku bukanlah hal yang
Alden menatap tajam wanita yang sejak tadi tidak berhenti bicara itu. Meski dirinya tidak digubris, tapi dia tak juga berhenti. Alden merasa sedikit muak, tapi dia memilih untuk diam. Sepanjang perjalanan menuju ke markasnya, hanya ada suara wanita berambut merah itu bersama Frey. Mereka sudah seperti sepasang kekasih, dan mengabaikan keberadaan Alden di sana. Brak! Wanita berambut merah dan Frey terkejut saat Alden menutup pintu mobil dengan keras. Keduanya saling berpandangan dalam diam, dan Frey mengendikkan bahunya acuh. Dia sungguh tahu bagaimana seorang Alden ketika marah. Meskipun sudah berlalu lama, tapi tetap saja ketua mafianya yang gila itu akan menakutkan ketika marah. Tak ingin ambil pusing, kedua orang itu menyusul Alden yang sudah lebih dulu masuk. Di dalam markas Alden disambut oleh seorang perempuan dengan pakaian seksinya. Dia melangkah mendekati Alden yang dalam mood tidak baik. Sen
Alden sedikit geram dengan Frey yang tidak mau mendengarkannya. Malam ini dia kehilangan sosok detektif wanita yang katanya pembawa informasi penting untuknya itu. Bukannya mengejar Alana, Frey dan Jessica malah meninggalkannya. Sekarang ia hanya sendiri di dalam ruangan kebesarannya itu. Alden duduk di sana sendirian dengan wajahnya yang serius. Perkataan musuhnya terus terngiang-ngiang di dalam otaknya. Penghinaan dan pengkhianatan yang diterimanya, semakin membuat hatinya berdenyut sakit. Ia tidak terima semua itu terjadi padanya. Kesetiaannya selama ini hanya dianggap angin lalu oleh sang istri. Alden bangkit dari kursinya, melangkah menuju jendela yang memperlihatkan kota yang tak pernah tidur. Cahaya gemerlap memantul di matanya, menginggatkannya pada masa-masa ketika kekuasaan dan kehormatannya tidak pernah dipertanyakan. Namun, kini segalanya telah berubah. Keputusaasaan melilitnya, dan tidak bisa membiark
Matahari terasa semakin terik di atas langit, mencerminkan kepanikan yang melanda hati kepala staff. Raut wajahnya berubah menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Sementara itu, suasana restoran yang sebelumnya riuh menjadi hening. Para karyawaran dan pengunjung saling berbisik, mencoba mencerna berita mengejutkan ini. Alden memandang situasi ini dengan eskpresi tak bergerak. Sementara Alana berdiri di belakangnya, memancarkan aura tegas yang membuat semua orang terdiam. Kepala staff yang sekarang terlihat seperti ikan di luar air, mencoba mencari dukungan dari manajer restorana. Namun, wajah sang manajer pun sudah berubah tampak lebih lembut namun tak kalah tegas. “Maafkan atas ketidaknyaman ini, Mr. Alden. Kami akan segera menyelesaikan prosesnya,” ucap sang manajer dengan suara yang terdengar penuh penyesalan. Alden hanya mengangguk singkat sebagai tanggapannya. Tidak ada ekspresi berlebih, tapi ke
Setelah perdebatan kecil di antara Alden dan juga Alan terjadi, mereka berdua kahirnya memutuskan untuk menuju ke markas Alden. Perjalanan pulang terasa hening, dan hanya diisi oleh ketegangan serta pertanyaan tanpa jawaban yang berkeliaran di pikiran Alden. Alana hanya dududk diam, merasakan rasa bersalah yang mendalam. Sebagai seorang detektif, dia seharusnya lebih waspada terhadap potensi ancaman. Sesampainya di markas, suasana terasa berbeda. Ketegangan terasa di udara, dan para agen terlihat sibuk memerikan sistem keamanam. Alden dan Alana menuju ruang komando. “Ada apa, Jessica?”tanya Alden dengan serius pada seorang wanita yang sedang sibuk mengutak-atik monitor di hadapannya. Jessica mengangkat pandagan dari layar komputernya. “Aku sudah melacak sumber ledakannya. Sepertinya ini adalah pekerjaan dari organisasi rahasia yang tidak memiliki nama. Mereka memiliki motif yang belum aku ketahui,” jawabnya. “Tid
Hati Alana berdebar-debar dalam situasi yang begitu mendadak ini. Matanya menatap tajam ke arah Alden, mencari petunjuk di dalam mata pria itu. Ada sesuatu yang menggetarkan antara mereka berdua. “Alden,” bisik Alana dengan suara yang serak. Tangannya tanpa sadar meraih lengan Alden, mencoba menahan kebingungannya sendiri. Namun, seolah mendengar panggilan hati Alana, Alden tiba-tiba menahan gerakannya. Matanya terkunci, pada mata Alana, memancarkan intensitas yang sulit diartikan. Hening menyelimuti ruang kamar itu. Hanya terdengar napas mereka yang berhambutan. Detik-detik terasa seperti jam, seolah alam semesta memperlambat waktu untuk menyaksikan momen ini. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan tubuh seksi detektif wanita itu? Sial sekali, Alden terpana melihatnya! Lalu, dengan perlahan namun pasti, Alden mengangkat dirinya dari atas Alana. Tatapannya masih terkunci pada wajah gadis itu, seolah men
Alden memasuki ruang bawah tanah bangunan itu, dia menemukan ruangan yang kelam dengan sinar lampur redup yang terangkat dari lantai kayu yang sudah usang. Di tengah ruangan, matanya menangkap sosok Alana yang terikat di kursi dengan matanya yang terpejam. Alden bergerak dengan cepat, membebaskan Alana dari ikatan yang mengikatnya. Detik-detik itu terasa seperti waktu yang tak berujung, namun akhirnya Alana bisa merasakan kebebasan tangan dan kakinya. “Alana, apa kau baik-baik saja?” tanya Alden dengan suara lembut, mencoba membangunkan Alana. Alana membuka matanya perlahan, pandangannya langsung bertemu dengan mata tajam Alden. Dia bisa merasakan kelegaan yang mendalam saat melihat Alden di sana. “Alden...,” bisiknya dengan suara yang kemah namun penuh dengan rasa syukur. Tidak ada waktu lagi, Alden segera keluar dari bangunan itu membawa Alana menjauh dari bahaya yang mengancamnya. Alana dibawa ke mo
Frey menggeleng cepat, mencoba menepis kebingungan Alden. “Tidak, Tuan. Kami hanya rekan kerja, dan aku menghargai keberanian dan profeisionalisme detektif Alan,” jelasnya. Alden masih memandang tajam, tetapi kemudian mengangguk seolah menerima penjelasan Frey. “Baiklah, selama kau tidak mengganggu tugasmu gara-gara ini, itu tidak masalah,” ucap Alden. Frey menghela napas lega, “Terima kasih, Tuan. Aku akan memastikan semuanya ini tetap berjalan lancar.” Setelah percakana itu, Alden meninggalkan ruangan dan kembali ke dalam kamarnya yang ada di markasnya itu. Pikirannya terus memutar-mutar informasi yang mereka dapatkan, mencoba mengaitkan setiap petunjuk yang ada. Sementara itu, Frey kembali ke timnya untuk terus menyelidiki jejak organisai rahasia tersebut. Pun dengan Jessica yang kembali dengan kesibukannya sendiri. Malam semakin larut, markas Alden terasa semakin hening. Alden duduk sendirian di ru