Alden sedikit geram dengan Frey yang tidak mau mendengarkannya. Malam ini dia kehilangan sosok detektif wanita yang katanya pembawa informasi penting untuknya itu. Bukannya mengejar Alana, Frey dan Jessica malah meninggalkannya. Sekarang ia hanya sendiri di dalam ruangan kebesarannya itu. Alden duduk di sana sendirian dengan wajahnya yang serius. Perkataan musuhnya terus terngiang-ngiang di dalam otaknya. Penghinaan dan pengkhianatan yang diterimanya, semakin membuat hatinya berdenyut sakit. Ia tidak terima semua itu terjadi padanya. Kesetiaannya selama ini hanya dianggap angin lalu oleh sang istri. Alden bangkit dari kursinya, melangkah menuju jendela yang memperlihatkan kota yang tak pernah tidur. Cahaya gemerlap memantul di matanya, menginggatkannya pada masa-masa ketika kekuasaan dan kehormatannya tidak pernah dipertanyakan. Namun, kini segalanya telah berubah. Keputusaasaan melilitnya, dan tidak bisa membiark
Matahari terasa semakin terik di atas langit, mencerminkan kepanikan yang melanda hati kepala staff. Raut wajahnya berubah menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Sementara itu, suasana restoran yang sebelumnya riuh menjadi hening. Para karyawaran dan pengunjung saling berbisik, mencoba mencerna berita mengejutkan ini. Alden memandang situasi ini dengan eskpresi tak bergerak. Sementara Alana berdiri di belakangnya, memancarkan aura tegas yang membuat semua orang terdiam. Kepala staff yang sekarang terlihat seperti ikan di luar air, mencoba mencari dukungan dari manajer restorana. Namun, wajah sang manajer pun sudah berubah tampak lebih lembut namun tak kalah tegas. “Maafkan atas ketidaknyaman ini, Mr. Alden. Kami akan segera menyelesaikan prosesnya,” ucap sang manajer dengan suara yang terdengar penuh penyesalan. Alden hanya mengangguk singkat sebagai tanggapannya. Tidak ada ekspresi berlebih, tapi ke
Setelah perdebatan kecil di antara Alden dan juga Alan terjadi, mereka berdua kahirnya memutuskan untuk menuju ke markas Alden. Perjalanan pulang terasa hening, dan hanya diisi oleh ketegangan serta pertanyaan tanpa jawaban yang berkeliaran di pikiran Alden. Alana hanya dududk diam, merasakan rasa bersalah yang mendalam. Sebagai seorang detektif, dia seharusnya lebih waspada terhadap potensi ancaman. Sesampainya di markas, suasana terasa berbeda. Ketegangan terasa di udara, dan para agen terlihat sibuk memerikan sistem keamanam. Alden dan Alana menuju ruang komando. “Ada apa, Jessica?”tanya Alden dengan serius pada seorang wanita yang sedang sibuk mengutak-atik monitor di hadapannya. Jessica mengangkat pandagan dari layar komputernya. “Aku sudah melacak sumber ledakannya. Sepertinya ini adalah pekerjaan dari organisasi rahasia yang tidak memiliki nama. Mereka memiliki motif yang belum aku ketahui,” jawabnya. “Tid
Hati Alana berdebar-debar dalam situasi yang begitu mendadak ini. Matanya menatap tajam ke arah Alden, mencari petunjuk di dalam mata pria itu. Ada sesuatu yang menggetarkan antara mereka berdua. “Alden,” bisik Alana dengan suara yang serak. Tangannya tanpa sadar meraih lengan Alden, mencoba menahan kebingungannya sendiri. Namun, seolah mendengar panggilan hati Alana, Alden tiba-tiba menahan gerakannya. Matanya terkunci, pada mata Alana, memancarkan intensitas yang sulit diartikan. Hening menyelimuti ruang kamar itu. Hanya terdengar napas mereka yang berhambutan. Detik-detik terasa seperti jam, seolah alam semesta memperlambat waktu untuk menyaksikan momen ini. Lelaki mana yang tidak tergoda dengan tubuh seksi detektif wanita itu? Sial sekali, Alden terpana melihatnya! Lalu, dengan perlahan namun pasti, Alden mengangkat dirinya dari atas Alana. Tatapannya masih terkunci pada wajah gadis itu, seolah men
Alden memasuki ruang bawah tanah bangunan itu, dia menemukan ruangan yang kelam dengan sinar lampur redup yang terangkat dari lantai kayu yang sudah usang. Di tengah ruangan, matanya menangkap sosok Alana yang terikat di kursi dengan matanya yang terpejam. Alden bergerak dengan cepat, membebaskan Alana dari ikatan yang mengikatnya. Detik-detik itu terasa seperti waktu yang tak berujung, namun akhirnya Alana bisa merasakan kebebasan tangan dan kakinya. “Alana, apa kau baik-baik saja?” tanya Alden dengan suara lembut, mencoba membangunkan Alana. Alana membuka matanya perlahan, pandangannya langsung bertemu dengan mata tajam Alden. Dia bisa merasakan kelegaan yang mendalam saat melihat Alden di sana. “Alden...,” bisiknya dengan suara yang kemah namun penuh dengan rasa syukur. Tidak ada waktu lagi, Alden segera keluar dari bangunan itu membawa Alana menjauh dari bahaya yang mengancamnya. Alana dibawa ke mo
Frey menggeleng cepat, mencoba menepis kebingungan Alden. “Tidak, Tuan. Kami hanya rekan kerja, dan aku menghargai keberanian dan profeisionalisme detektif Alan,” jelasnya. Alden masih memandang tajam, tetapi kemudian mengangguk seolah menerima penjelasan Frey. “Baiklah, selama kau tidak mengganggu tugasmu gara-gara ini, itu tidak masalah,” ucap Alden. Frey menghela napas lega, “Terima kasih, Tuan. Aku akan memastikan semuanya ini tetap berjalan lancar.” Setelah percakana itu, Alden meninggalkan ruangan dan kembali ke dalam kamarnya yang ada di markasnya itu. Pikirannya terus memutar-mutar informasi yang mereka dapatkan, mencoba mengaitkan setiap petunjuk yang ada. Sementara itu, Frey kembali ke timnya untuk terus menyelidiki jejak organisai rahasia tersebut. Pun dengan Jessica yang kembali dengan kesibukannya sendiri. Malam semakin larut, markas Alden terasa semakin hening. Alden duduk sendirian di ru
Alana mengangkat dagunya dengan mantap menatap Alden. Dia tidak akan membiarkan pesona Alden mempengaruhi keputusannya. “Aku menghargai tawaranmu, Tuan Alden. Tapi aku telah memilih menjadi detektif. Tidak ada gaji yang bisa mengganti kepuasaan menuntaskan kasus-kasus,” jawab Alana dengan tegas. Alden tersenyum penuh arti. Ia menganggumi ketegasa Alana. Tanpa berkata apa-apa, ia memundurkan dirinya sedikit. Alana merasa sedikit lega, dan segera bangkit dari atas kaki Alden. Dia berdiri dengan canggung, dan kejadian barusan masih membuat hatinya berdegup kencang. Ada magnetisme yang sulit diabaikan. Tok... tok... tok Suara ketukan pintu membuat keduanya tersadar dan saling pandang. Alden beranjak dari duduknya, dan pergi membuka pintu. Makanan yang dipesannya baru tiba. Ia pun mengajak Alana untuk sarapan bersama. “Ini baru namanya makanan,” ucap Alden kembali menyindir Alana. Al
Alana mencoba mengingatnya kembali. Suaranya memang persis seperti suara atasannya, tapi nomor yang digunakan memang berbeda. Saat itu, ia tidak berpikir dengan jernih, dan segera mengambil tindakan karena telepon dadakan. “Aku tahu aku salah, maafkan aku,” ucap Alana dengan sungguh-sungguh. Alden terdiam, keningnya mengkerut memperhatikan gadis itu. Dia masih tidak habis pikir dengan Alana. Ketika Alana menyampaikan rencananya, dia terlihat sangat tegas dengan keseriusannya. Namun, ketika dia terlalu ceroboh untuk hal-hal sepele seperti ini. Alden mengembuskan napas kasar, dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia tidak mau membahas masalah itu lagi, dan fokus pada tujuannya yang sekarang. Dering ponsel Alana memecahkan keheningan yang ada di antara mereka. Gadis itu menjawab teleponnya, sementara Alden hanya diam mendengarkan. “Baiklah, aku mengerti,” ucap Alana sebelum memutuskan sambungan teleponnya.