Home / Romansa / SANG MENANTU TERBUANG / PUKULAN DI GUDANG TUA DAN JARING PERTAMA

Share

PUKULAN DI GUDANG TUA DAN JARING PERTAMA

Author: langitkelabu
last update Last Updated: 2025-10-19 02:21:19

Panas menyengat dan bau karat yang menusuk hidung adalah sambutan akrab bagi Arya di Gudang Utara milik Atmadja Group. Tempat ini adalah labirin baja dan tumpukan kardus setinggi manusia, jauh dari kemewahan marmer dan kristal yang ia tinggalkan di rumah.

Di sinilah, sebagai menantu yang tidak diinginkan, ia dibuang. Bukan sebagai manajer atau staf kantor, melainkan sebagai buruh angkut, dicampur dengan para pekerja harian lepas.

Ia mendorong troli besi yang rodanya berderit memprotes beban berat. Otot ototnya terasa kaku, tetapi ia memaksanya bergerak. Setelah mendengar keputusan Kinanti pagi itu, rasa sakit fisik ini terasa lebih ringan daripada rasa sakit emosional yang menggerogoti. Ia tidak peduli lagi.

Semua perlakuan buruk yang ia terima telah mengubah hatinya menjadi sesuatu yang keras dan dingin, sebanding dengan koin logam berukir naga yang kini ia genggam erat di saku kemejanya yang kotor.

Koin itu, ia sadar, aneh. Dingin, berat, dan setiap kali disentuh, ia merasakan gelombang energi asing mengalir dalam dirinya, bersamaan dengan kilatan memori yang semakin jelas: bukan hanya aula gelap, tetapi juga wajah wajah tanpa ekspresi yang membungkuk, dan bisikan dalam bahasa yang tidak ia pahami, namun entah bagaimana ia tahu artinya.

Saat Arya sedang memindahkan beberapa kotak berisi suku cadang impor, sebuah bayangan besar menjulang di belakangnya.

“Hei, Menantu Sampah! Kerja itu pakai tenaga, bukan pakai melamun!”

Itu adalah Reno, kepala mandor gudang. Pria bertubuh gempal dengan kumis tebal dan wajah berminyak itu adalah kaki tangan Kinanti dan Laras di tempat ini. Ia sangat menikmati kekuasannya untuk menindas Arya.

Arya berhenti mendorong troli dan menoleh. “Aku sudah bekerja secepat yang aku bisa, Reno.”

“Secepat yang kau bisa?” Reno tertawa mengejek, menarik perhatian beberapa buruh lain yang dengan cepat menjauh, tidak ingin terlibat. “Kau ini menantu Tuan Bramantya. Seharusnya kau memberiku seribu kali lebih cepat, bodoh! Cepat, angkut ini ke truk enam. Dan awas, jangan sampai lecet!” Reno menendang kotak besi di lantai, sengaja menyenggol troli Arya hingga hampir terbalik.

Arya berhasil menahan troli itu agar tidak jatuh dengan refleks cepat, sesuatu yang seharusnya mustahil dilakukan oleh tubuhnya yang kelelahan. Kekuatan yang aneh itu, seperti suntikan adrenalin dingin, muncul tiba-tiba.

“Aku sudah bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu,” kata Arya, suaranya rendah dan menusuk. Ini adalah pertama kalinya ia berani melawan Reno dalam tiga tahun.

Reno terkejut dengan nada bicara Arya. Ia maju selangkah, senyumnya menghilang. “Oh, kau berani membantah sekarang? Dasar tidak tahu diri! Aku ini mandor di sini! Mau kuhajar kau agar sadar tempat?”

Reno tidak menunggu jawaban. Dengan amarah yang sering ia tunjukkan, ia melayangkan tinju besar yang biasa ia gunakan untuk menampar para buruh malas. Pukulan itu diarahkan tepat ke rahang Arya.

Dalam gerakan yang sangat cepat dan hampir tidak terlihat oleh mata telanjang, Arya memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, menghindari pukulan Reno yang hanya menyentuh angin.

Tubuhnya bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan, bukan dari hasil latihan fisik biasa, melainkan dari memori otot yang seolah baru terbangun dari tidur panjang.

Reno, terkejut karena serangannya meleset, sedikit kehilangan keseimbangan. Detik itu juga, Arya memanfaatkan celah tersebut.

Blug!

Blug!

Blug!

Arya tidak membalas dengan tinju. Ia tidak ingin berkelahi, setidaknya belum. Ia menggunakan siku tangannya untuk menyodok perut Reno dengan keras dan terarah. Itu adalah gerakan yang bersih, cepat, dan sangat efektif sebuah teknik bela diri yang mematikan.

Reno langsung membungkuk, wajahnya memerah padam menahan sakit, memegangi perutnya. Nafasnya terengah engah.

“B..brengsek! Kau… kau berani melawan?!” Reno mendesis di antara napas yang pendek.

“Itu hanya untuk mengingatkanmu,” kata Arya datar, menatap Reno dengan mata yang memancarkan aura berbeda, mata seorang predator. “Jika kau memukulku, aku akan membalas. Jika kau menghinaku, aku akan membalas. Kami tidak lagi berada di level yang sama, Reno.”

Arya berbalik, meninggalkan Reno yang masih terbatuk-batuk menahan sakit. Ia mengambil kembali trolinya dan melanjutkan pekerjaannya seolah tidak terjadi apa-apa. Gerakannya kini lebih efisien, lebih teratur. Insiden kecil ini adalah penanda: pria yang lemah itu telah mati.

***

Sore harinya, Arya menerima sebuah amplop dari pengacara keluarga Atmadja saat ia baru saja membersihkan diri dari kotoran gudang. Isinya adalah surat resmi gugatan cerai dari Kinanti. Tidak ada permohonan maaf, tidak ada penjelasan, hanya dokumen legal yang menuntutnya segera menandatangani.

Di dalamnya terdapat cek kosong sebagai uang tutup mulut dan perjanjian untuk tidak menuntut harta gono-gini. Harta apa yang bisa ia tuntut? Ia bahkan tidak memiliki sehelai kaus kaki mahal di rumah itu.

Arya merobek cek itu menjadi potongan potongan kecil. Uang Kinanti terasa menghina. Ia mengambil pena, dan tanpa ragu, menandatangani dokumen perceraian itu dengan kuat. Tidak ada air mata, tidak ada penyesalan, hanya kelegaan yang dingin. Selesai. Tiga tahun neraka pernikahan itu telah usai.

Ia mengemasi satu satunya tas ransel yang ia miliki. Di dalamnya hanya ada beberapa pakaian lama, surat dari panti asuhan, dan koin naga berkepala dua itu. Arya menatap sekeliling kamar kecil di lantai bawah yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya sebuah kamar gudang kecil yang terletak di dekat dapur.

Arya menyeringai tipis. “Aku pergi, Kinanti. Terima kasih atas pelajaran berharganya.”

Ia meninggalkan rumah Atmadja tepat saat matahari terbenam, berjalan kaki tanpa tujuan di trotoar kota. Ia tidak punya uang banyak, tidak ada teman, dan tidak ada tempat untuk kembali. Ia hanyalah Arya, mantan menantu yang baru saja dicampakkan, berdiri di ambang batas antara kehancuran dan kebangkitan.

Tiba-tiba, ponsel tua miliknya berdering. Nomor tidak dikenal.

Arya mengangkatnya dengan curiga.

“Halo?”

Suara di seberang terdengar serak, tua, namun penuh otoritas. “Arya Dirgantara?”

“Ya, saya sendiri. Siapa ini?”

“Aku Kakek Pranata. Aku tahu kau baru saja meninggalkan rumah itu, dan kau tidak punya tempat untuk pergi. Kau juga baru saja menggunakan gerakan ‘Angin Bisu’ di gudang.”

Jantung Arya berdebar kencang. Angin Bisu? Bagaimana pria ini tahu tentang insiden di gudang? Dan yang lebih penting, dari mana ia tahu istilah untuk gerakan bela diri itu?

“Apa maksudmu?” tanya Arya, nadanya kini dingin, mode waspada totalnya langsung aktif.

“Aku adalah teman lama ayah kandungmu. Dan ya, aku sudah mengawasimu. Gerakan itu adalah ciri khas dari ‘Jaring Hitam’, sebuah teknik yang seharusnya hanya dikuasai oleh garis keturunan tertentu. Aku tahu kau bingung, tetapi ada banyak hal yang perlu kau ketahui tentang dirimu, Nak.”

Kakek Pranata terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Identitasmu jauh lebih besar daripada status menantu miskin itu. Kau adalah pewaris dari sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih berbahaya dari yang bisa kau bayangkan.”

“Aku tidak punya ayah kandung,” sela Arya cepat. “Aku yatim piatu.”

“Itu yang kau yakini. Dengarkan aku. Kau pegang koin naga berkepala dua, bukan?”

Arya refleks merogoh sakunya. Ia terdiam, terkejut. Bagaimana Kakek Pranata tahu tentang koin itu?

“Datanglah ke alamat yang akan kukirimkan sekarang. Ini adalah markas lamaku. Aku bisa memberimu kekuatan, pengetahuan, dan sumber daya untuk membangun kembali hidupmu. Lebih dari itu, aku bisa memberimu kebenaran tentang siapa dirimu. Kau ingin membalas dendam pada Kinanti dan keluarga Atmadja, bukan? Aku bisa membantumu mewujudkannya.”

Pesan singkat masuk ke ponsel Arya. Sebuah alamat di kawasan pinggiran Jakarta, jauh dari pusat kota.

Arya menimbang-nimbang. Pria ini tahu terlalu banyak: perceraiannya, gerakan bertarungnya, bahkan koin rahasianya. Apakah ini jebakan? Mungkin. Tapi, ia sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Rasa penasaran bercampur dengan harapan baru yang dingin membuat keputusannya bulat.

“Baiklah, Kakek Pranata,” kata Arya, nadanya kini berkarat seperti baja tua. “Aku akan datang. Tapi jika kau berbohong, aku pastikan kau akan menyesal. Aku tidak lagi sama seperti menantu lemah yang kau lihat.”

Kakek Pranata tertawa kecil, tawa yang penuh rahasia. “Aku tahu, Nak. Aku melihatnya di matamu. Darah Dingin itu akhirnya muncul. Sampai jumpa.”

Panggilan terputus. Arya menatap alamat di ponselnya, lalu menatap langit malam Jakarta. Keputusannya ini mungkin akan membawanya ke puncak kekuasaan atau jurang kehancuran.

Namun, bagi Arya, yang terpenting adalah ia akhirnya menemukan jalan keluar dari kegelapan yang ia jalani selama ini. Ia memanggil taksi dan melaju menuju takdir yang baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SANG MENANTU TERBUANG   HUKUM

    Tepat tiga jam kemudian, Erika Schmidt, The Architect, kembali ke penthouse Arya dan Aruna Laksita. Ekspresinya menunjukkan konflik antara kehati-hatian dan ambisi yang menggebu. Komite Tujuh di Eropa telah memberikan izin; Proyek infrastruktur Singapura yang ditawarkan Black Dragon Capital terlalu besar dan terlalu menguntungkan untuk dilewatkan."Kami menerima tawaran kemitraan Anda," kata Erika, menjabat tangan Aruna dengan profesional. "Namun, kami menuntut transparansi penuh. Kami ingin semua perjanjian kontrak diatur di bawah hukum Swiss untuk menghindari yurisdiksi Asia.""Tentu saja," jawab Aruna dengan senyum dingin. "Kami menghargai standar hukum Eropa. Namun, untuk memulai proyek di Singapura, kontrak awal harus ditandatangani di bawah Hukum Kontrak Singapura, hanya sebagai formalitas awal. Setelah itu, kita bisa beralih ke Swiss."Erika Schmidt, yang terlalu fokus pada klausa utama yang akan ia negosiasikan nanti, sedikit mengabaikan formalitas kecil ini. Ia menganggap Huk

  • SANG MENANTU TERBUANG   KEKUASAAN

    Setahun setelah kehancuran Geng Utara dan pernikahan politik mereka, kekuasaan Arya dan Aruna Laksita berada di puncaknya. Klan Tirtayasa telah sepenuhnya mencaplok aset Tuan Besar, dan Black Dragon Capital menjadi entitas keuangan global yang tak terhindarkan. Pesta pertunangan Arya dan Aruna, meskipun dikemas secara minimalis, telah mengukuhkan mereka sebagai Pasangan Kekuasaan yang tak tertandingi di Asia.Mereka sekarang tinggal di markas utama yang baru, sebuah menara pribadi di jantung distrik bisnis Singapura, simbol perpindahan pusat gravitasi kekuasaan mereka.Sore itu, Aruna sedang berada di kantor pribadinya, mengawasi pergerakan konsolidasi aset real estate di Eropa Timur. Arya masuk, wajahnya menunjukkan ketegasan yang mendalam, bukan kemarahan."Masalah di Rumania?" tanya Aruna tanpa mendongak, merasakan aura Arya."Lebih besar," jawab Arya, mendekati meja Aruna. Ia meletakkan selembar dokumen tebal yang dihiasi dengan segel resmi yang asing. "Aku menerima ini dari Jari

  • SANG MENANTU TERBUANG   TAKDIR

    Beberapa bulan telah berlalu sejak malam berdarah di atas kapal pesiar The Northern Star. Berita tentang kekalahan Geng Utara tidak pernah sampai ke media massa; itu adalah berita yang hanya beredar di kalangan elit tergelap di Asia. Tuan Besar dari Mongolia tewas, Evan Adhiguna tewas, dan kekosongan kekuasaan yang tercipta dengan cepat diisi oleh kekuatan baru klan Tirtayasa, yang kini dipimpin oleh Arya.Di mata publik, Tuan R baru saja menuntaskan investasi besar besaran di Singapura dan kembali ke Jakarta dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan.Arya dan Aruna Laksita duduk di ruang kerja penthouse mereka, yang kini jauh lebih besar dan lebih mewah, terletak di puncak gedung tertinggi di ibukota. Lantai kaca memperlihatkan pemandangan seluruh Jakarta yang berkilauan di bawah kendali mereka.Arya, meskipun telah pulih dari luka tembaknya, kini membawa bekas luka tipis di perutnya—pengingat permanen akan malam di Panti Asuhan. Ia tampak lebih tenang, lebih dingin, dan jauh lebih berba

  • SANG MENANTU TERBUANG   PERTARUNGAN

    Kapal pesiar mewah The Northern Star berlayar perlahan di Selat Singapura. Di dek teratas, ruang dansa yang dihias mewah menjadi tempat pertemuan paling berbahaya di Asia. Para kepala sindikat kriminal terbesar berkumpul, menunggu konfrontasi yang telah mereka dengar: bangkitnya Klan Tirtayasa melawan hegemoni Geng Utara.Arya dan Aruna Laksita tiba dengan perahu speedboat di tengah malam, dikawal oleh Kakek Pranata dan dua pengawal Tirtayasa yang menyamar sebagai kru kapal. Arya terlihat sempurna dalam tuksedonya, menyembunyikan rasa sakit dari luka tembak di perutnya. Aruna, mengenakan gaun malam emas yang mencolok, memancarkan aura kekuasaan yang kejam, persis seperti Ratu yang sombong.Mereka memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada mereka. Bisikan berdesir, mengomentari keberanian, atau kebodohan, Arya yang muncul di hadapan musuh-musuhnya.Di tengah ruangan, duduklah Lelaki Tua dari Mongolia, Tuan Besar Geng Utara. Ia adalah pria tua dengan aura dingin yang mematikan, dikelilin

  • SANG MENANTU TERBUANG   LANGKAH TERKAHIR

    Setelah insiden di Panti Asuhan Kasih Bunda dan markas Menteng, Jakarta kembali tenang, namun di bawah permukaan, gejolak kekuasaan sedang memuncak. Arya dilarikan ke fasilitas medis rahasia Tirtayasa di bawah pengawasan ketat Kakek Pranata. Luka tembak di perutnya cukup dalam, membutuhkan operasi mendesak dan pemulihan yang lambat.Beberapa hari pertama adalah pertarungan antara hidup dan mati. Darah yang hilang dan trauma akibat benturan fisik membuat Arya terbaring lemah. Ia tidak bisa langsung "naik tingkat" atau pulih secara instan.Aruna Laksita tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia duduk di samping ranjang Arya, di ruangan steril yang dijaga ketat oleh pengawal klan. Ia mengabaikan pekerjaannya di Laksita Corp, mendelegasikannya kepada Raya. Bagi Aruna, Arya adalah prioritas utama."Anda melanggar perintah," bisik Aruna suatu sore, saat Arya membuka matanya, wajahnya sangat pucat. "Anda seharusnya tetap hidup dan sehat, bukan berakhir di sini."Arya mencoba tersenyum, tetapi h

  • SANG MENANTU TERBUANG   PENGORBANAN

    Di Panti Asuhan Kasih Bunda, Arya dihadapkan pada ancaman mematikan. Dua pengawal Evan melepaskan tembakan ke arahnya. Arya bergerak cepat, mengandalkan refleks yang diasah oleh pelatihan Klan Tirtayasa. Ia melompat ke balik tiang beton, peluru menghantam dinding di belakangnya."Kau tidak akan lari, Arya!" teriak Kinanti, kini berdiri di samping Evan, wajahnya puas melihat mantan suaminya dalam kesulitan. "Kau akan mati di sini, di tempat kenanganmu!"Arya tahu ia tidak bisa melawan mereka berdua dengan senjata api di ruang terbuka. Ia melemparkan pisau Tirtayasa ke arah lampu gantung, memadamkan satu satunya sumber cahaya di aula. Kegelapan menyelimuti ruangan, memberikan Arya keunggulan.Pertarungan kembali ke mode yang Arya kuasai: pertempuran bayangan. Ia bergerak secepat hantu, menggunakan suara langkah kaki Kinanti dan Evan sebagai panduan.***Sementara itu, di kawasan Menteng, Aruna Laksita telah tiba di rumah tua yang dicurigai sebagai markas rahasia Evan. Drone kecil yang i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status