Home / Romansa / SANG MENANTU TERBUANG / KINANTI, DAN SARAPAN DI NERAKA

Share

SANG MENANTU TERBUANG
SANG MENANTU TERBUANG
Author: langitkelabu

KINANTI, DAN SARAPAN DI NERAKA

Author: langitkelabu
last update Last Updated: 2025-10-19 02:11:13

Langit di atas kota Jakarta pagi ini terasa dingin dan mendung, seolah ikut merasakan kebekuan di dalam sebuah rumah megah di kawasan Pondok Indah, kediaman keluarga Atmadja.

Di ruang makan mewah yang dihiasi lampu kristal dan meja marmer putih, aroma roti panggang dan kopi Arabika seharusnya menciptakan suasana hangat, namun bagi Arya Dirgantara, sarapan selalu terasa seperti duduk di atas bara api, dikelilingi oleh sekelompok algojo.

Arya, berusia 25 tahun, duduk di sudut meja, mengenakan kemeja lusuh yang sedikit kebesaran—satu-satunya pakaian formal yang ia miliki.

Rambut hitamnya sedikit gondrong, menutupi sebagian wajah tirus yang menyimpan bekas-bekas kelelahan.

Di mata anggota keluarga Atmadja, ia adalah gambaran sempurna dari kata ‘sampah masyarakat’ yang entah bagaimana bisa menikahi permata mereka.

Di ujung meja, duduklah Bramantya Atmadja, kepala keluarga dengan perut buncit dan wajah angkuh, tampak sibuk membaca koran bisnis dengan dahi berkerut.

Di sebelahnya, Nyonya Laras, sang ibu mertua, menatap Arya dengan tatapan jijik yang tak pernah pudar, seolah kehadiran menantu malang itu telah mengotori perabotan antiknya.

​“Arya, berikan aku garam itu,” perintah Kinanti, suaranya tajam seperti pecahan kaca.

​Kinanti Atmadja. Wanita itu. Istri Arya. Mengenakan gaun sutra yang memamerkan leher jenjangnya, dengan riasan sempurna yang menonjolkan mata elang dan bibir merah berani.

Kinanti adalah tipe wanita yang diciptakan untuk kemewahan; cantik, memikat, tetapi berhati sekeras batu, terutama padanya.

Arya segera meraih botol garam, tetapi karena terburu-buru, tangannya yang kaku menyenggol gelas air putih. Klang! Gelas itu jatuh dan pecah di atas lantai marmer, airnya membasahi karpet persia mahal di bawah meja.

​Hening. Sunyi yang mematikan, lebih mematikan dari suara tembakan.

​“Dasar ceroboh!”

​Suara Laras melengking, memecah kesunyian. Ia meletakkan sendok garpu peraknya dengan kasar.

​“Lihat, Bram! Kelakuan menantu tidak berguna ini! Bahkan hanya untuk mengambil garam pun ia tidak becus! Itu karpet kesayanganmu dari Italia, Arya!”

​Wajah Bramantya terangkat dari koran. Matanya menatap Arya dengan pandangan menghina yang tidak berusaha disembunyikan.

​“Arya,” desis Bramantya, nadanya datar namun menusuk, “Tidakkah kau tahu harga karpet itu bisa memberimu makan selama sepuluh tahun? Kau bahkan tidak layak menyentuh udaranya. Ambil lap dan bersihkan sekarang!”

​Arya segera beranjak dari kursinya, mengambil lap yang tergeletak di dekat dapur, dan berlutut di lantai yang dingin, mulai mengelap pecahan kaca dan air.

Darahnya mendidih, tetapi ia memilih diam. Diam adalah satu-satunya perisai yang ia miliki di rumah ini. Ia tidak ingin melihat sorot mata Kinanti, tetapi bayangan pantulan gaun sutranya di lantai membuat kepalanya semakin tertunduk.

​“Cepat sedikit, pecundang,” Kinanti akhirnya bersuara, menggunakan sebutan yang hampir menjadi nama panggilannya. Ia menyesap kopinya dengan elegan, seolah pemandangan suaminya berlutut membersihkan pecahan kaca adalah hal yang biasa—dan memang, itu adalah rutinitas yang biasa.

​“Kau tahu, Arya,” Kinanti melanjutkan, suaranya kini terdengar seperti belati yang diasah,

“Aku benar-benar muak. Kau menyandang nama Atmadja, tapi kau hanya mempermalukan kami. Ayah sudah memberimu pekerjaan di gudang, tapi kau selalu terlambat. Kau bahkan tidak mampu membeli kopi enak di warung, apalagi membelikanku perhiasan. Aku bahkan tidak tahu kenapa dulu aku setuju menikah denganmu hanya karena Ayah merasa berhutang budi pada Panti Asuhanmu.”

​Arya merasakan urat di lehernya menegang. Ia ingin sekali membentak, ingin bertanya, apakah kau tidak melihat sedikit pun kebaikan di hatiku?

​Ia berdiri setelah selesai membersihkan, tangannya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena emosi yang tertahan.

​“Maafkan aku, Kinanti. Aku akan bekerja lebih keras hari ini,” ujar Arya dengan suara serak.

​Kinanti hanya tertawa kecil, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati.

“Bekerja keras? Kau hanya tukang angkut barang, Arya. Berhentilah bermimpi. Lihatlah Daniel. Pria itu jauh lebih sukses, tampan, dan berasal dari keluarga terpandang. Dia adalah masa depanku yang seharusnya. Sedangkan kau…” Kinanti menghela napas dramatis,

“...Kau adalah kesalahan masa laluku.”

Daniel. Nama itu selalu menjadi belati yang mencabik-cabik hati Arya. Daniel Kusumo, putra tunggal dari keluarga Kusumo yang kaya raya, kolega bisnis Bramantya. Pria yang dengan bangga Kinanti pamerkan sebagai ‘calon pasangan sejati’-nya, meskipun mereka masih terikat pernikahan.

​“Kinanti, jaga bicaramu,” Bramantya mengingatkan, tetapi tanpa ketegasan. Seolah ia hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang ayah di depan si menantu.

​Kinanti mengibaskan tangan.

“Untuk apa, Ayah? Semua orang tahu status kami. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengirim sampah ini keluar dari rumah kita.”

​Arya terdiam sejenak. Ia menatap Kinanti dengan tatapan yang lama. Tatapan yang bukan lagi berisi cinta yang buta, tetapi kekecewaan yang telah mengeras menjadi es.

​Di tengah tatapan dingin itu, sebuah bayangan aneh melintas di benak Arya.

​Bukan bayangan Kinanti, bukan juga wajah Bramantya yang sinis. Tapi, bayangan yang kabur...sebuah aula besar yang gelap, suara tembakan yang memekakkan telinga, dan bau amis darah yang menyengat. Secepat kilat, bayangan itu lenyap, meninggalkan sakit kepala berdenyut dan sensasi aneh di telapak tangannya, seolah ia baru saja memegang senjata berat.

​Apa itu tadi?

​Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir halusinasi aneh tersebut. Mungkin ia hanya kurang tidur.

​“Aku sudah selesai,” kata Arya, suaranya lebih dingin dari yang ia kira.

​Tanpa menunggu respon, ia berbalik dan melangkah cepat menuju pintu belakang. Ia harus segera berangkat bekerja di gudang Atmadja, pekerjaan yang membuatnya lebih mirip kacung daripada karyawan.

​Saat ia berjalan melewati koridor panjang, ia tak sengaja menabrak seorang pelayan yang membawa keranjang pakaian kotor.

​“Maaf, Tuan Arya!” Pelayan itu membungkuk ketakutan.

​“Tidak apa-apa,” jawab Arya. Tiba-tiba, mata Arya menangkap sebuah benda kecil yang jatuh dari saku celana kerjanya yang baru ia ambil dari keranjang.

​Sebuah kepingan logam hitam.

​Benda itu berbentuk seperti koin kuno, tetapi permukaannya berukir. Arya segera mengambilnya. Di bawah cahaya yang remang-remang, ia melihat ukiran naga berkepala dua yang sedang melilit huruf T dan Z. Koin itu dingin, berat, dan terasa familiar di genggamannya, seolah kepingan itu adalah bagian yang hilang dari ingatannya.

​Apa ini? Aku belum pernah melihatnya.

​Ia cepat-cepat menyembunyikannya di saku kemeja. Sebuah insting primitif, naluri bertahan hidup yang entah dari mana asalnya, menyuruhnya untuk menjaga koin ini sebagai rahasia.

Tepat saat ia hendak membuka pintu belakang, suara teriakan Kinanti dari ruang makan kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya.

​“Ayah, aku sudah putuskan! Hari ini aku akan menemui pengacara! Aku tidak tahan lagi! Aku ingin bercerai dengan Arya dan menikah dengan Daniel!”

​Langkah Arya terhenti.

​Meskipun ia sudah tahu ini akan terjadi, mendengar kata-kata itu diucapkan dengan lantang, dengan nada lega dan gembira, tetap meremukkan sesuatu di dalam dirinya. Pria malang itu bersandar di pintu, menelan pahitnya kenyataan.

Cinta yang telah ia berikan selama tiga tahun, kesetiaan yang ia pertahankan di tengah caci maki, kini hanya berujung pada pengkhianatan dan penolakan.

​Cukup.

​Sesuatu di dalam diri Arya patah. Bukan dengan suara keras, melainkan dengan keheningan yang mematikan. Patahan yang melepaskan segel yang telah lama tertutup.

Rasa sakit di hatinya tiba-tiba berubah menjadi rasa hampa, lalu menjadi amarah dingin yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

​Ia menegakkan tubuhnya. Punggungnya yang selalu membungkuk kini tegak. Matanya yang selalu menyimpan rasa takut dan lelah kini memancarkan api yang membeku.

​“Silakan, Kinanti. Lakukan sesukamu,” bisik Arya pada angin, sebuah janji yang hanya ia yang mendengarnya.

Arya melangkah keluar, meninggalkan rumah megah itu untuk menuju gudang di kawasan industri, membawa serta kepingan logam misterius, patahan hati yang baru, dan sebuah tekad baru yang dingin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SANG MENANTU TERBUANG   HUKUM

    Tepat tiga jam kemudian, Erika Schmidt, The Architect, kembali ke penthouse Arya dan Aruna Laksita. Ekspresinya menunjukkan konflik antara kehati-hatian dan ambisi yang menggebu. Komite Tujuh di Eropa telah memberikan izin; Proyek infrastruktur Singapura yang ditawarkan Black Dragon Capital terlalu besar dan terlalu menguntungkan untuk dilewatkan."Kami menerima tawaran kemitraan Anda," kata Erika, menjabat tangan Aruna dengan profesional. "Namun, kami menuntut transparansi penuh. Kami ingin semua perjanjian kontrak diatur di bawah hukum Swiss untuk menghindari yurisdiksi Asia.""Tentu saja," jawab Aruna dengan senyum dingin. "Kami menghargai standar hukum Eropa. Namun, untuk memulai proyek di Singapura, kontrak awal harus ditandatangani di bawah Hukum Kontrak Singapura, hanya sebagai formalitas awal. Setelah itu, kita bisa beralih ke Swiss."Erika Schmidt, yang terlalu fokus pada klausa utama yang akan ia negosiasikan nanti, sedikit mengabaikan formalitas kecil ini. Ia menganggap Huk

  • SANG MENANTU TERBUANG   KEKUASAAN

    Setahun setelah kehancuran Geng Utara dan pernikahan politik mereka, kekuasaan Arya dan Aruna Laksita berada di puncaknya. Klan Tirtayasa telah sepenuhnya mencaplok aset Tuan Besar, dan Black Dragon Capital menjadi entitas keuangan global yang tak terhindarkan. Pesta pertunangan Arya dan Aruna, meskipun dikemas secara minimalis, telah mengukuhkan mereka sebagai Pasangan Kekuasaan yang tak tertandingi di Asia.Mereka sekarang tinggal di markas utama yang baru, sebuah menara pribadi di jantung distrik bisnis Singapura, simbol perpindahan pusat gravitasi kekuasaan mereka.Sore itu, Aruna sedang berada di kantor pribadinya, mengawasi pergerakan konsolidasi aset real estate di Eropa Timur. Arya masuk, wajahnya menunjukkan ketegasan yang mendalam, bukan kemarahan."Masalah di Rumania?" tanya Aruna tanpa mendongak, merasakan aura Arya."Lebih besar," jawab Arya, mendekati meja Aruna. Ia meletakkan selembar dokumen tebal yang dihiasi dengan segel resmi yang asing. "Aku menerima ini dari Jari

  • SANG MENANTU TERBUANG   TAKDIR

    Beberapa bulan telah berlalu sejak malam berdarah di atas kapal pesiar The Northern Star. Berita tentang kekalahan Geng Utara tidak pernah sampai ke media massa; itu adalah berita yang hanya beredar di kalangan elit tergelap di Asia. Tuan Besar dari Mongolia tewas, Evan Adhiguna tewas, dan kekosongan kekuasaan yang tercipta dengan cepat diisi oleh kekuatan baru klan Tirtayasa, yang kini dipimpin oleh Arya.Di mata publik, Tuan R baru saja menuntaskan investasi besar besaran di Singapura dan kembali ke Jakarta dengan kekuasaan yang tak tergoyahkan.Arya dan Aruna Laksita duduk di ruang kerja penthouse mereka, yang kini jauh lebih besar dan lebih mewah, terletak di puncak gedung tertinggi di ibukota. Lantai kaca memperlihatkan pemandangan seluruh Jakarta yang berkilauan di bawah kendali mereka.Arya, meskipun telah pulih dari luka tembaknya, kini membawa bekas luka tipis di perutnya—pengingat permanen akan malam di Panti Asuhan. Ia tampak lebih tenang, lebih dingin, dan jauh lebih berba

  • SANG MENANTU TERBUANG   PERTARUNGAN

    Kapal pesiar mewah The Northern Star berlayar perlahan di Selat Singapura. Di dek teratas, ruang dansa yang dihias mewah menjadi tempat pertemuan paling berbahaya di Asia. Para kepala sindikat kriminal terbesar berkumpul, menunggu konfrontasi yang telah mereka dengar: bangkitnya Klan Tirtayasa melawan hegemoni Geng Utara.Arya dan Aruna Laksita tiba dengan perahu speedboat di tengah malam, dikawal oleh Kakek Pranata dan dua pengawal Tirtayasa yang menyamar sebagai kru kapal. Arya terlihat sempurna dalam tuksedonya, menyembunyikan rasa sakit dari luka tembak di perutnya. Aruna, mengenakan gaun malam emas yang mencolok, memancarkan aura kekuasaan yang kejam, persis seperti Ratu yang sombong.Mereka memasuki ruangan. Semua mata tertuju pada mereka. Bisikan berdesir, mengomentari keberanian, atau kebodohan, Arya yang muncul di hadapan musuh-musuhnya.Di tengah ruangan, duduklah Lelaki Tua dari Mongolia, Tuan Besar Geng Utara. Ia adalah pria tua dengan aura dingin yang mematikan, dikelilin

  • SANG MENANTU TERBUANG   LANGKAH TERKAHIR

    Setelah insiden di Panti Asuhan Kasih Bunda dan markas Menteng, Jakarta kembali tenang, namun di bawah permukaan, gejolak kekuasaan sedang memuncak. Arya dilarikan ke fasilitas medis rahasia Tirtayasa di bawah pengawasan ketat Kakek Pranata. Luka tembak di perutnya cukup dalam, membutuhkan operasi mendesak dan pemulihan yang lambat.Beberapa hari pertama adalah pertarungan antara hidup dan mati. Darah yang hilang dan trauma akibat benturan fisik membuat Arya terbaring lemah. Ia tidak bisa langsung "naik tingkat" atau pulih secara instan.Aruna Laksita tidak pernah meninggalkan sisinya. Ia duduk di samping ranjang Arya, di ruangan steril yang dijaga ketat oleh pengawal klan. Ia mengabaikan pekerjaannya di Laksita Corp, mendelegasikannya kepada Raya. Bagi Aruna, Arya adalah prioritas utama."Anda melanggar perintah," bisik Aruna suatu sore, saat Arya membuka matanya, wajahnya sangat pucat. "Anda seharusnya tetap hidup dan sehat, bukan berakhir di sini."Arya mencoba tersenyum, tetapi h

  • SANG MENANTU TERBUANG   PENGORBANAN

    Di Panti Asuhan Kasih Bunda, Arya dihadapkan pada ancaman mematikan. Dua pengawal Evan melepaskan tembakan ke arahnya. Arya bergerak cepat, mengandalkan refleks yang diasah oleh pelatihan Klan Tirtayasa. Ia melompat ke balik tiang beton, peluru menghantam dinding di belakangnya."Kau tidak akan lari, Arya!" teriak Kinanti, kini berdiri di samping Evan, wajahnya puas melihat mantan suaminya dalam kesulitan. "Kau akan mati di sini, di tempat kenanganmu!"Arya tahu ia tidak bisa melawan mereka berdua dengan senjata api di ruang terbuka. Ia melemparkan pisau Tirtayasa ke arah lampu gantung, memadamkan satu satunya sumber cahaya di aula. Kegelapan menyelimuti ruangan, memberikan Arya keunggulan.Pertarungan kembali ke mode yang Arya kuasai: pertempuran bayangan. Ia bergerak secepat hantu, menggunakan suara langkah kaki Kinanti dan Evan sebagai panduan.***Sementara itu, di kawasan Menteng, Aruna Laksita telah tiba di rumah tua yang dicurigai sebagai markas rahasia Evan. Drone kecil yang i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status