Share

7. Ramandika Tiba di Padepokan Lembah Naga

Seketika itu, Ramandika merasa cemas dengan kehadiran orang-orang tersebut. Ramandika curiga jika orang-orang tersebut bukanlah manusia biasa.

Apa yang dia cemaskan memang benar-benar terbukti, hanya dalam sekejap mata saja, orang-orang tersebut sudah hilang dari pandangannya.

Seketika itu, Ramandika baru sadar, ternyata ia sudah berada di tengah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk seperti yang ia lihat beberapa menit lalu. Bahkan sabana hijau yang sebelumnya ia lihat pun sudah tak ada lagi.

Tempat itu hanya sebuah hutan belantara yang ditumbuhi banyak pepohonan besar. Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan, sehingga Ramandika masih mampu melihat keadaan di sekitar hutan itu, meskipun samar-samar.

"Dugaanku ternyata memang benar, mereka tadi adalah bangsa jin. Semoga mereka tidak menggangguku," gumam Ramandika sambil mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.

Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, orang-orang biasa tidak mungkin berani berlama-lama. Karena tempat itu merupakan sebuah hutan yang sangat menyeramkan. Bahkan para penduduk yang ada di desa di sekitaran hutan tersebut tak ada seorang pun yang berani menginjakkan kakinya di hutan itu, hanya orang-orang dari Padepokan Lembah Naga saja yang berani keluyuran di hutan tersebut.

Dengan keadaan seperti itu, Ramandika menjadi putus asa, karena ia berpikir sudah tidak ada harapan lagi untuknya. Ramandika juga berpikir bahwa dirinya sudah tersesat.

"Sepertinya, hutan ini bukanlah tempat yang aku tuju, aku sudah tersesat di hutan ini," desis Ramandika beranggapan bahwa dirinya sudah tersesat.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara gonggongan serigala. Suaranya menggema membuat bulu kuduk merinding. Dengan demikian, Ramandika mulai waspada, karena kemungkinan besar sesuatu yang buruk bisa saja menimpanya secara tiba-tiba.

"Ya, Dewata agung. Selamatkan hamba," ucap Ramandika berdoa kepada yang Maha Kuasa.

Pada saat itu, pikirannya mulai kacau, hatinya pun menjerit meratapi kemalangan yang ia alami. Kondisinya sangat mengkhawatirkan, ia terduduk lemah di antara kesunyian hutan.

Tak terasa, malam semakin larut. Tubuh Ramandika menggigil kedinginan karena pakaian yang ia kenakan basah kuyup. Ramandika sudah merasa tak kuat lagi menahan rasa dingin dan lapar. Hingga pada akhirnya, ia jatuh tersungkur, lalu tak sadarkan diri.

Pagi harinya ....

Ramandika ditemukan oleh beberapa orang pemuda yang tengah mencari dedaunan obat. Para pemuda tersebut adalah murid-murid Ki Ageng Penggir dari Padepokan Lembah Naga.

"Kalian lihat itu!" teriak salah seorang pemuda kepada kawannya.

"Ada apa Sena?" sahut dua orang kawannya serentak.

"Lihatlah di semak-semak itu ada orang tergeletak!" jawab Sena meluruskan jari telunjuknya ke arah Ramandika yang tergeletak tak sadarkan diri.

"Siapa dia?" desis salah seorang pemuda itu.

"Entahlah, Tidak mungkin dia berasal dari desa yang ada di sekitar hutan ini, seperti yang kita ketahui bahwa para penduduk desa sangat takut menginjakkan kaki di hutan ini," sahut Sena. "Lebih baik kita ke sana saja, mudah-mudahan orang itu masih hidup!" imbuh Sena mengajak dua kawannya.

"Baiklah, ayo, kita ke sana sekarang!" 

Dengan demikian, ketiga pemuda itu langsung melangkah menghampiri Ramandika yang tergeletak di antara semak belukar di dalam hutan tersebut.

Mereka sangat senang ketika mengetahui bahwa Ramandika masih hidup, sehingga mereka pun berinisiatif untuk membawa Ramandika ke padepokan mereka yang jaraknya tidak jauh dari tempat itu.

"Sebaiknya kita bawa orang ini, supaya guru mengobatinya," kata Sena lirih.

"Baiklah, ayo kita bopong dia!"

Niat mencari dedaunan obat, terpaksa mereka urungkan ketika menemukan Ramandika dalam keadaan pingsan. Sehingga ketiga pemuda itu pun langsung membawa Ramandika menuju ke padepokan mereka yang berada di sebelah Utara dari tempat tersebut.

Setibanya di padepokan, Sena dan kedua kawannya langsung membaringkan Ramandika di atas bebalean yang ada di beranda pondok tempat tinggal Ki Ageng Penggir.

Kemudian, Sena langsung memberitahu gurunya agar segera mengobati Ramandika, karena ia khawatir nyawa Ramandika akan melayang jika tidak segera ditangani.

"Dari mana kalian menemukan pemuda ini?" tanya Ki Ageng Penggir ketika sudah berada di beranda pondok.

"Mohon maaf, Guru. Kami menemukan orang ini di semak belukar yang ada di sebelah Selatan dekat dengan lembah Naga," jawab Sena dengan penuh rasa hormat.

Ki Ageng Penggir hanya tersenyum, lalu menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah Ramandika yang terbaring lemah.

"Dia hanya pingsan, mungkin anak muda ini mengalami kelelahan," desis Ki Ageng Penggir sambil menyasar urat nadi Ramandika.

"Aku pikir dia mengalami luka dalam," kata Sena lirih.

"Kondisi tubuhnya baik-baik saja, dia hanya mengalami kelelahan saja," sahut Ki Ageng Penggir.

Setelah itu, ia meminta kepada Sena dan kedua kawannya agar membersihkan tubuh Ramandika sekaligus mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih.

"Kalian bersihkan badannya, setelah itu ganti pakaiannya! Beberapa saat lagi dia akan siuman."

"Baik, Guru," jawab Sena dan kedua kawannya.

Ketiga pemuda itu pun langsung melaksanakan perintah sang guru, mereka membersihkan tubuh Ramandika dan juga mengganti pakaiannya yang sudah kotor.

****

Menjelang sore ....

Ramandika sudah sadarkan diri, ia bangkit dan langsung disambut oleh senyuman hangat pria paruh baya sang pemimpin padepokan tersebut.

"Syukurlah kau sudah siuman," desis Ki Ageng Penggir sambil tersenyum lebar menatap wajah Ramandika.

Ramandika tampak heran dan merasa kaget, ia beranggapan bahwa dirinya sudah berada di alam gaib.

"Mohon maaf, Ki. Apakah aku ini ada di alam gaib?" tanya Ramandika.

Mendengar pertanyaan Ramandika, pria paruh baya itu tertawa kecil sambil menepuk-nepuk pundak Ramandika. Lantas, ia menjawab, "Bukan, Anak muda. Kau sekarang ini sudah ada di Padepokan Lembah Naga."

"Lembah Naga! Sungguhkah?"

"Ya, ini adalah satu-satunya padepokan yang ada di tengah hutan ini. Kau aman di sini."

"Siapa yang sudah membawaku ke sini, Ki?"

Ki Ageng Penggir tersenyum, lalu menoleh ke arah Sena dan dua kawannya.

"Mereka yang sudah membawamu ke sini. Kau ditemukan dalam keadaan pingsan di hutan," jawab Ki Ageng Penggir lirih.

Dengan demikian, Ramandika pun mengucapkan banyak terima kasih kepada Sena, Braja, dan Kolada. Setelah itu, langsung saling memperkenalkan diri satu sama lain.

"Ternyata apa yang aku cari sudah aku temukan," desis Ramandika tampak senang dan bahagia karena sudah sampai di tempat yang ia tuju.

Mendengar perkataan Ramandika, Ki Ageng Penggir mengerutkan keningnya. Kemudian berkata lagi, "Maksudmu kau sengaja datang ke hutan ini karena mencari padepokan ini?"

"Benar, Ki. Aku mendapat petunjuk dari pamanku untuk datang ke padepokan ini," jawab Ramandika tampak semringah.

Ki Ageng Penggir hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu bertanya lagi, "Siapa namamu dan dari mana asalmu?"

"Mamaku Ramandika, aku berasal dari desa Singkur," jawab Ramandika lirih.

Setelah itu, ia pun langsung menceritakan tentang apa yang terjadi pada keluarganya dan juga mengatakan niatnya untuk berguru di padepokan tersebut.

"Siapa saja yang datang ke padepokan ini, baik secara sengaja ataupun tidak, itu adalah takdir yang sudah ditentukan oleh Sanghyang Widhi," kata Ki Ageng Penggir menanggapi perkataan yang sudah dituturkan oleh Ramandika.

"Lantas, apakah aku diterima menjadi murid Aki?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status