Share

Bab 3: Kawan Lama

Reva berjalan melewati pagar dan mengetuk pintu rumah, beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam dibarengi dengan pintu yang terbuka.

“Eh non Reva,” seorang wanita berusia 30-an menyambut dengan ramah, bajunya yang kumuh tak mampu menghilangkan kecantikan di wajahnya, “mari masuk.”

“Bu, aku ‘kan sudah bilang untuk tidak memanggilku dengan sebutan Non,” Reva memprotes, namun dia tetap tak lupa untuk mencium tangan wanita di depannya.

“Iya, Ibu lupa, kebiasaan.” Ibu tertawa kecil, “mau minum apa?’

“Tidak perlu Bu, nanti akan kuambil sendiri. Di mana Lara?”

“Lara sedang ada di kamarnya, masuk saja.”

“Terima kasih Bu.”

Tanpa basa-basi lagi Reva berjalan menuju kamar orang yang dituju. Rumah ini selain tampak sederhana dari luar, juga minimalis di dalamnya, tak ada banyak ruang dan kelokan seperti rumah milik Reva, gadis ini pun tak perlu berjalan terlalu jauh, cukup sedikit berbelok ke kanan maka kamar kawannya akan terkemukan, sementara dapur dan kamar Ibu berada di sisi lain rumah.

Gordin yang dijadikan pintu untuk kamar Lara Reva sibak, kemudian ia menemukan kawannya yang sedang sibuk menghitung dan menulis.

“Hei, kau sudah mulai tanpaku?” Reva mendekati meja belajar kawannya yang berupa meja lipat kecil dan melihat apa yang sedang ia kerjakan.

“Kau ‘kan tahu pekerjaan rumah tidak hanya kudapatkan dari sekolah,” sekilas Lara menengok ke arah kawannya dan kembali menulis, “tunggulah sebentar lagi, aku hampir selesai mengerjakan satu soal ini.”

“Ya, lagipula aku ingin meregangkan otot kakiku dulu,” segera Reva menaruh ransel di atas lantai dan merebahkan tubuhnya ke kasur kapuk yang berada di pojok ruangan, begitu tubuhnya sampai di sana, sensasi hangat dan bau matahari langsung terasa. “Apa kau baru menjemur kasur ini?”

“Tidak baru saja, aku menjemur sebelum berangkat sekolah, kuangkat dan kurapikan setelah pulang les. Dan kini kasurku sudah berantakan lagi olehmu.”

“Maaf, he he he. Lanjutkanlah pekerjaan rumahmu.”

Lara tidak membalas, tidak jua menengok ke belakang, tapi dia justru menumpuk buku-buku dari rak buku usang dan mengambil satu meja lipat lain.

“Ayo bangun, sebelum kasurku makin tidak karuan sebab kau,” Lara berkata begitu sambil menyodorkan meja lipat lain bergambar Putri Aurora yang serba merah muda. Reva nyengir kemudian bangkit dan menerima meja lipat tersebut.

Keberadaan Lara sudah seperti saudara kandung bagi Reva, mereka sudah berkawan sejak keduanya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama dan hingga kini keduanya tidak terpisahkan. Meski Lara bukanlah orang yang bisa disandingkan dengan Reva dalam hal finansial, gadis ini memiliki sifat ramah yang dapat membuat semua orang disekitarnya nyaman, jauh sekali dengan Reva yang introvert dan pemalu.

Namun terkadang ada saja hal yang membuat Reva jengah pada Lara.

“Aku heran, mengapa kau selalu berusaha menghindari Tobias?” Tanya Lara disela kegiatan mereka mengisi soal pekerjaan rumah, matanya coba menelisik raut di wajah Reva, tampak gadis itu merasa malas dengan menghela nafas panjang.

“Bagaimana ya, aku sendiri tidak yakin,” jawab Reva masih dengan ekspresi yang sama, “entah mengapa aku tiba-tiba merasa malas saja tiap kali bertemu dengannya.”

“Tapi bukankah dia tampan? Wajahnya tidak membuat orang bosan.”

“Iya sih, tapi aku selalu merasa janggal dengan matanya.”

“Matanya? Ada apa dengan matanya?’

“Entahlah, seperti ada pusaran yang selalu menarikku ke sana.”

“Hmm, matanya ya,” Lara termenung mencoba mendapat arti dari perkataan kawannya itu. ”Mungkin kau jatuh cinta padanya.”

“Tidak, bukan seperti itu, rasanya membuatku tidak nyaman.”

“Aneh kau ini, kebanyakan orang pasti akan mengejar lelaki itu.”

“Kebanyakan orang, bukan aku.”

Lara terbungkam oleh perkataan Reva, dia pun memutuskan untuk berhenti mencari tahu dan kembali mengisi soal. Tepat saat itu suara Ibu terdengar memanggil namanya, suara Ibu pun terdengar tidak begitu jauh, di satu sisi Reva merasa lega karena Lara tidak akan lagi membicarakan Tobias, hal yang selalu membuatnya jengah pada Lara.

“Hei, kamu tidak membeli camilan untuk Reva?” Wajah Ibu muncul dari balik gordin.

“Dia membawa camilan sendiri,” balas Lara sedikit menoleh pada Ibunya kemudian memandang Reva, “iya ’kan?”

“i—iya,” Reva membalas sambil mengeluarkan camilan yang dimaksud, dua bungkus besar camilan asin dari dalam ranselnya.

“Ouh,” Ibu sedikit terdiam, tampak di wajahnya dia sedang mencari topik lain untuk dibahas, “kau mau menginap kan sayang?”

“Iya Bu, kalau boleh.”

“Ya tentu, kalau begitu. Lara, bawakan kasur tambahan dari kamar depan untuk Reva.”

“Tidak perlu Bu, aku akan tidur di lantai saja, hari ini udara terasa panas sekali.”

“Tidak boleh, nanti kamu masuk angin.”

“Ya ampun Bu, Reva biasa tidur dengan udara AC di rumahnya, hanya tidur di lantai tak akan membuatnya terserang penyakit.”

“Ok deh,” Ibu menyerah, “Ibu masak dulu, nanti kalian berdua makan, jangan menolak alasan dengan takut gendut.”

“Iya Bu,” Reva membalas sambil sedikit tertawa.

Ibu membalas dengan senyuman kemudian menghilang ke balik gordin. Sementara Reva menatap heran ke arah Lara.

“Bagaimana kau tahu kalau aku membawa camilan?” Reva bertanya, namun kawannya itu hanya tersenyum sambil menunjuk kepalanya lalu tertawa. “Dasar, terus saja kau tonton anime Conan itu, menyesal juga aku bertanya,” ujar Reva selanjutnya dengan wajah malas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status