Tak seperti hari-hari sebelumnya, kini Rini sudah tak berharap banyak dengan Budi. Dimulai dari terpaksa, ia sudah mulai terbiasa hidup dan mencari uang sendiri. Dia meyakini bahwa Tuhan pasti telah menakar rezekinya dari awal, nyatanya semakin hari pekerjaan Rini semakin banyak hingga tanpa mengambil jatah dari Budi pun ia dan anak-anaknya bisa makan.
Rini mematut dirinya di depan cermin, ia tengah mengamati bintik-bintik hitam yang mulai timbul di wajahnya. Berhadapan dengan panas matahari dan debu setiap hari membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, terlebih lagi ia sudah lupa kapan terakhir kali membeli produk perawatan wajah. Benar-benar mengenaskan.“Assalamualaikum, Nduk.”“Waalaikum salam...” Mata Rini berbinar tatkala melihat wajah yang telah lama di rindukan. Sedetik kemudian ia mengambur pada pelukan wanita dan lelaki berusia senja yang baru saja turun dari becak motor.“Sehat, Bu, Pak.” Bergantian Rini mencium tangan mereka takdim.Setelah acara kangen-kangenan selesai, Rini menggiring mereka memasuki rumah.“Ari, Bagus, nenek sama kakek datang, nih!” teriak Rini memanggil anak-anaknya.Sesaat kemudian dua bocah laki-laki berlari keluar dan langsung mengambur ke pangkuan kakek dan neneknya. “Nih, nenek bawa jajan,” Wanita berpakaian kebaya dan kain jarit itu mengeluarkan satu kantong keresek besar dari tas jinjingnya. Dengan sigap mereka langsung menerima dan membukanya di tempat. Rini hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya sebelum ia masuk ke dalam.Tak berapa lama Rini keluar membawa dua cangkir teh dan sepiring kue untuk di suguhkan pada orang tuanya.“Owalah, Nduk, Nduk. Kamu kok bisa betah tinggal di rumah reyot begini. Kena angin besar sekali aja, bisa roboh rumahmu!” celetuk lelaki yang sedang menghisap rokok kelembak menyan di kursi pojok.“Ah, Bapak bisa aja.” Rini berusaha menanggapinya dengan santai. Dirinya mengiyakan jika rumahnya memang sudah tak layak huni. Ada banyak retakan di dindingnya dan atap yang sudah keropos sebagian. Ia bahkan tak tahu kapan terakhir kali rumah peninggalan mertuanya itu di perbaiki.“Iya, kamu sama anak-anakmu kok ya jadi kurus-kurus begini,” timpal sang Ibu.“Sebenarnya kalian di kasih makan apa enggak sih sama si Budi,” celetuk Ibu kemudian.“Ya di kasih makan, Bu.” Rini memaksakan tawanya.Tak bisa dipungkiri semenjak berkurangnya kiriman dari Budi, konsumsi makanan mereka sedikit berkurang dan itu jelas mempengaruhi pertumbuhan anak-anak Rini. Ditambah lagi berkurangnya perhatian Rini karena harus bekerja membuat anaknya semakin tak terurus.“Owalah Le, Le. Kamu di kasih makan apa sih sama Ibumu? Lihat masa lengan tipis begini,” ucap Ibu Rini mengangkat tangan kanan Ari. “Di kasih makan enak kok, Nek.”Rini tersenyum sembari mengedipkan mata pada anak bungsunya sebagai kode terima kasih karena ia telah menutupi kekurangan keluarganya. Ia tak mau sampai orang tuanya tahu jika kehidupannya begitu mengenaskan.“Gimana kabar Budi di sana?” tanya Bapak sembari mengedarkan pandangan ke segala sudut rumah yang anaknya tempati.“Lebih dari lima tahun kerja di luar negeri kok enggak ada hasilnya. Rumah tetap reyot, kendaraan belum bisa beli, boro-boro beli sawah.”Sejak awal Orang tua Rini memang tak begitu menyukai Budi. Selain agak pemalas, ia juga termasuk orang yang pemilih masalah pekerjaan.“Kalo begini caranya lebih baik kamu pulang ke rumah, dari pada hidup terlunta-lunta di sini," tegas lelaki berpeci hitam sembari menatap putrinya lekat."Tapi, Pak.""Biar tua begini, Bapak masih sanggup memberi kamu makan."Hati Rini bergetar mendengar ucapan orang yang telah membesarkannya itu. Tak ada orang tua yang rela jika anak perempuannya di sia-siakan suaminya."Iya, Nduk. Dari pada hidup kamu di sini enggak jelas, lebih baik kamu pulang," imbuh sang Ibu.Rini hanya diam sembari menunduk, ia tak bisa membantah ataupun menuruti permintaan orang tuanya karena semua itu bukan perkara mudah. Kembali ke rumah orang tua baginya sama saja menghancurkan keluarga yang di bangunnya dengan susah payah."Pak, Bu, aku ke dalam dulu, mau masak buat makan siang. Kalian main sama Ari dan Bagus dulu, ya," pamit Rini untuk mengalihkan pembicaraan. Ia akan memasak makanan spesial untuk menujukkan pada orang tuanya jika hidupnya bahagia di sini.Ia mengambil uang di sebuah kaleng kecil di dalam lemarinya, itu adalah uang simpanannya selama bekerja menjadi buruh. Ia menghitung beberapa lembar uang yang ternyata hanya berjumlah dua ratus ribu. Dirasa belum cukup ia kembali membuka lemarinya, dengan tangan gemetar ia mengambil amplop yang telah lama disimpan dan mengambil lima lembar uangnya kemudian menyelipkannya kembali di bawah tumpukan bajunya.Rini bertekad akan masak enak, membelikan oleh-oleh juga memberi orang tuanya sedikit uang agar mereka yakin bahwa hidupnya baik-baik saja. Walaupun ia terpaksa menggunakan uang yang menurutnya haram baginya. Ia juga menganggap semua ini sebagai hutang dan berjanji akan mengembalikan secepatnya."Wah, tumben mama masak enak. Baru gajian ya, Ma?" tanya Bagus yang senang melihat berbagai makanan di hadapannya. Dengan menggelar tikar, mereka berkumpul di depan televisi untuk menikmati makan siang bersama."Nenek sama Kakek sering-sering ke sini, ya, biar mama masak enak terus," imbuh Bagus lagi yang langsung mendapat tatapan tajam dari bocah di sebelahnya. Rini hanya terdiam sembari menuangkan air ke dalam gelas, ia merasa semua usahanya sia-sia karena dari ucapan cucunya, orang tuanya pasti paham jika ia jarang masak enak."Kalo Bagus tinggal di rumah Nenek pasti setiap hari bisa makan enak," ucap Ibu Rini sembari mengelus rambut ikal cucunya.“Pikirkan lagi tawaran kami. Jika kamu sudah tak kuat, rumah orang tuamu masih terbuka lebar untukmu,” tukas Bapak.**Rini menatap nanar kepulangan orang tuanya yang mengendarai becak motor milik tetangganya. Walaupun jarak rumah mereka tak terlalu jauh, pada nyatanya Rini memang jarang sekali mengunjungi orang tuanya. Bukan karena tak ingin, tapi kesibukannyalah yang membuatnya tak bisa sering-sering datang.Rini bergegas masuk ke dalam becak yang mereka kendarai hilang dari padangan. Sesampainya di ruang tamu ia di kejutkan oleh sebuah tak yang teronggok di bawah meja. Tanpa pikir panjang Rani segera mengambil tas itu dan mengecek isinya.Wajah Rini memanas dan bulir bening jatuh seketika saat ia melihat berbagai makanan ada dalam tas tersebut, ia yakin ini adalah pemberian Ibunya. Walaupun telah berkeluarga orang tuanya salalu saja memberinya sesuatu setiap mereka berkunjung.Baru saja ia ingin menata makanan tersebut di lemari, ia di kejutkan oleh benda putih yang terselip di dalamnya. Segera ia mengambil benda itu dan menyobeknya. Kali ini air matanya tak terbendung lagi, sepuluh lembar uang berwarna merah di tinggalkan diam-diam oleh orang tuanya, jumlah yang bahkan lebih banyak dari uang yang ia keluarkan untuk menyuguh mereka.Rini menjatuhkan bobotnya di atas kursi dapur sembari terus menggenggam uang pemberian orang tuanya. Hatinya kini merasa bimbang, banyak sekali orang yang menawarkan kebahagiaan namun ia memilih bertahan di pahitnya kehidupan. Akankah ia menyerah daripada bertahan dari keluarga yang semakin tak tentu arah?“Semua teman-teman Ari udah sunat, Ma. Aku kapan?” tanya Ari saat Rini baru saja pulang menghadiri hajatan salah satu tetangganya yang baru saja menyunati anaknya.“Sebentar lagi ya, Nak. Nunggu mama kumpulin uang dulu buat bikin selamatan,” jawab Rini pelan.Mungkin Ari sudah bosan dengan jawaban yang selalu terlontar dari mulut Rini saat anak sulungnya yang sebentar lagi akan menginjak kelas enam bertanya kapan ia di sunati.“Enggak usah pake selamatan segala, Ma. Kita langsung ke Pak Mantri aja. Aku enggak apa-apa kok enggak dapet amplop dari tetangga.”Mata Rini berkaca-kaca mendengar perkataan anak pertamanya itu. Rata-rata anak-anak di kampungnya minta sunat karena tergiur oleh amplop yang akan di berikan para tetangganya agar bisa membeli sepeda atau barang-barang yang diinginkannya. Sudah menjadi tradisi di kampunya, para tetangga akan memberikan uang saku kepada anak yang baru saja di sunat. Mau tak mau sebagai orang tua harus menyediakan makanan untuk suguhan dan memberikan
[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. [Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal
“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.“Kenapa?” tanya Rini heran.“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita berginc
“Dimana-mana orang pulang kerja di luar negeri itu beli sawah bukan jual sawah.”Nafas Rini memburu tatkala Budi berniat menjual sawah satu-satunya yang mereka miliki. Meskipun tak terlalu luas dan hanya panen setahun sekali, tapi cukup untuk mencukupi beras yang mereka makan.“Tapi kalo enggak ada duitnya aku enggak bisa pulang, Dek,” ucap suaminya dari balik telepon.Pagi tadi Wulan mengunjungi rumah Rini dan mengatakan jika Budi akan menelepon. Benar saja, baru saja Wulan pergi sebuah panggilan masuk.“Kamu gila ya, Mas? Kamu enggak tahu betapa tersiksanya aku saat orang-orang tanya hasil kerja kamu? Pokoknya aku enggak mau jual sawah itu,” ucap Rini geram.“Jangan ketus begitu, kamu pasti kangen sama aku, kan? Katanya pengen aku pulang.” “Kangen?” Rini mengernyit heran. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia merasakan rindu dengan lelaki yang lebih dari sepuluh tahun menikahinya.Awal-awal kepergian Budi, setiap hari ia merasa ada yang kurang dari hidupnya, bahkan setiap saat ing
"Mbak, beli sayur kentang dua puluh lima ribu, ayam goreng delapan biji, sate telur enam tusuk, kembaliannya tempe goreng." Sari terus menatap pada wanita yang sedang mengulurkan uang berwarna merah padanya. Matanya menyipit tatkala tetangga depan rumahnya yang biasanya datang berpakaian daster lusuh, kini memakai gamis model terbaru berwarna coklat susu lengkap dengan jilbab bermotif bunga."Rini?" Nafas Sari terasa berhenti saat melihat benda berkilau berwarna kuning melingkar di tangan dan jarinya.Hampir enam bulan setelah kepulangan Rini ke rumah orang tuanya, ia berubah drastis. Dengan bantuan Wulan, ia membenahi penampilannya agar terlihat fress. Bukan berarti lupa masalahnya dengan Budi, tapi hanya ingin membuktikan jika ia bisa bahagia tanpa Budi.Berita pernikahan Budi yang begitu cepat menyebar membuat banyak orang merasa iba pada Rini, namun tak sedikit pula yang menganggapnya bodoh karena dulu tak percaya dengan omongan orang lain. Namun Rini tak ambil pusing, yang terp
“Woy, bangun!”Rini terperanjat saat sebuah bantal tiba-tiba mendarat tepat di wajahnya.“Mentang-mentang udah enggak punya suami, bangunnya telat terus! Tuh anakmu pada kelaparan,” teriak wanita bertubuh langsing yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.“Aku ngantuk, Mbak. Tolong masakin, dong.” Rini meregangkan badan sebentar lalu kembali menarik selimutnya, tak memedulikan kedatangan Ranti-kakak tertuanya. Rini merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Kakaknya Ranti dan Rafli, masing-masing sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri-sendiri. Dan adiknya Riski belum menikah dan masih bekerja di luar kota.Semalam memang Rini susah tertidur, sejak sore hingga tengah malam, ia hanya mondar-mandir tak jelas di kamarnya. Lelah bekerja seharian tak membuat matanya cepat terpejam. Bagaimana tidak, baru saja satu masalah selesai, muncul lagi masalah baru. Rini masih terus berpikir bagaimana cara ia menjelaskan perihal uang yang di pakai untuk modal usaha pada kedua orang tuanya.“Bapak h
"Apa Mas yang setiap bulan mengirimiku uang?" tanya Rini saat berjalan beriringan bersama Tanto menuju tempat parkir. Meskipun bukan saat yang tepat, tapi kesempatan bertemu anak Bu Riyati itu mungkin takkan terulang dua kali.“Ya,” jawab lelaki itu singkat sembari terus berjalan. "Tapi kenapa? Bukankah kamu tahu aku wanita bersuami? Bisa menimbulkan fitnah jika ada orang lain yang tahu aku menerima uang dari lelaki lain setiap bulan." Rini berhenti dan menoleh pada lelaki berkulit bersih dan berkumis tipis itu."Aku hanya ingin memberi saja," jawab Tanto yang masih menunjukkan wajah datar.Di usianya yang sudah matang tak membuat Tanto berani menghadapi makhluk bernama wanita. Mungkin itulah yang membuatnya betah hidup sendiri hingga sekarang."Aku sudah mengumpulkan uang yang kamu kirimkan, namun ada sebagian yang aku pakai. Besok kukembalikan semua, terima kasih telah membantu kami selama ini," lirih Rini sembari menghentikan langkahnya.Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia
“Bapak kok enggak pernah telepon, Ma?” tanya Bagus sembari sibuk memainkan robot di tangannya. Rini yang tengah sibuk menyetrika hanya menoleh. Entah bagaimana caranya memberitahu pada anak bungsunya jika orang tuanya telah berpisah. Tak pernah mengenal sosok ayah sejak bayi, membuatnya kesulitan membedakan antara berpisah karena tuntutan pekerjaan dengan berpisah karena perceraian.Walaupun sudah berpisah, Seharusnya hubungan ayah dan anak tetap berjalan dengan baik. Tapi sebagian besar lelaki jika sudah menemukan keluarga baru akan lupa pada keluarga lamanya.“Enggak usah tanya-tanya Bapak lagi, anggap aja Bapak sudah mati. Lagian dia enggak bakal ingat kamu!” sahut Ari yang juga tengah duduk di samping Bagus.“Memangnya kenapa, kak?” Sejenak Bagus menghentikan aktivitas bermainnya. Ia beralih memandang Ari seolah meminta penjelasan atas perkataan kakaknya tadi.Berbeda dengan Bagus, anak sulung Rini sudah sangat paham dengan kondisi orang tuanya. Tanpa diceritakan, anak yang baru