Share

BIMBANG

Tak seperti hari-hari sebelumnya, kini Rini sudah tak berharap banyak dengan Budi. Dimulai dari terpaksa, ia sudah mulai terbiasa hidup dan mencari uang sendiri. Dia meyakini bahwa Tuhan pasti telah menakar rezekinya dari awal, nyatanya semakin hari pekerjaan Rini semakin banyak hingga tanpa mengambil jatah dari Budi pun ia dan anak-anaknya bisa makan.

Rini mematut dirinya di depan cermin, ia tengah mengamati bintik-bintik hitam yang mulai timbul di wajahnya. Berhadapan dengan panas matahari dan debu setiap hari membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, terlebih lagi ia sudah lupa kapan terakhir kali membeli produk perawatan wajah. Benar-benar mengenaskan.

“Assalamualaikum, Nduk.”

“Waalaikum salam...” Mata Rini berbinar tatkala melihat wajah yang telah lama di rindukan. Sedetik kemudian ia mengambur pada pelukan wanita dan lelaki berusia senja yang baru saja turun dari becak motor.

“Sehat, Bu, Pak.”  Bergantian Rini mencium tangan mereka takdim.

Setelah acara kangen-kangenan selesai, Rini menggiring mereka memasuki rumah.

“Ari, Bagus, nenek sama kakek datang, nih!” teriak Rini memanggil anak-anaknya.

Sesaat kemudian dua bocah laki-laki berlari keluar dan langsung mengambur ke pangkuan kakek dan neneknya. 

“Nih, nenek bawa jajan,” Wanita berpakaian kebaya dan kain jarit itu mengeluarkan satu kantong keresek  besar dari tas jinjingnya. Dengan sigap mereka langsung menerima dan membukanya di tempat. Rini hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya sebelum ia masuk ke dalam.

Tak berapa lama Rini keluar membawa dua cangkir teh dan sepiring kue untuk di suguhkan pada orang tuanya.

“Owalah, Nduk, Nduk. Kamu kok bisa betah tinggal di rumah reyot begini. Kena angin besar sekali aja, bisa roboh rumahmu!” celetuk lelaki yang sedang menghisap rokok kelembak menyan di kursi pojok.

“Ah, Bapak bisa aja.” Rini berusaha menanggapinya dengan santai. Dirinya mengiyakan jika rumahnya memang sudah tak layak huni. Ada banyak retakan di dindingnya dan atap yang sudah keropos sebagian. Ia bahkan tak tahu kapan terakhir kali rumah peninggalan mertuanya itu di perbaiki.

“Iya, kamu sama anak-anakmu kok ya jadi kurus-kurus begini,” timpal sang Ibu.

“Sebenarnya kalian di kasih makan apa enggak sih sama si Budi,” celetuk Ibu kemudian.

“Ya di kasih makan, Bu.” Rini memaksakan tawanya.

Tak bisa dipungkiri semenjak berkurangnya kiriman dari Budi, konsumsi makanan mereka sedikit berkurang dan itu jelas mempengaruhi pertumbuhan anak-anak Rini. Ditambah lagi berkurangnya perhatian Rini karena harus bekerja membuat anaknya semakin tak terurus.

“Owalah Le, Le. Kamu di kasih makan apa sih sama Ibumu? Lihat masa lengan tipis begini,” ucap Ibu Rini mengangkat tangan kanan Ari. 

“Di kasih makan enak kok, Nek.”

Rini tersenyum sembari mengedipkan mata pada anak bungsunya sebagai kode terima kasih karena ia telah menutupi kekurangan keluarganya. Ia tak mau sampai orang tuanya tahu jika kehidupannya begitu mengenaskan.

“Gimana kabar Budi di sana?” tanya Bapak sembari mengedarkan pandangan ke segala sudut rumah yang anaknya tempati.

“Lebih dari lima tahun kerja di luar negeri kok enggak ada hasilnya. Rumah tetap reyot, kendaraan belum bisa beli, boro-boro beli sawah.”

Sejak awal Orang tua Rini memang tak begitu menyukai Budi. Selain agak pemalas, ia juga termasuk orang yang pemilih masalah pekerjaan.

“Kalo begini caranya lebih baik kamu pulang ke rumah, dari pada hidup terlunta-lunta di sini," tegas lelaki berpeci hitam sembari menatap putrinya lekat.

"Tapi, Pak."

"Biar tua begini, Bapak masih sanggup memberi kamu makan."

Hati Rini bergetar mendengar ucapan orang yang telah membesarkannya itu. Tak ada orang tua yang rela jika anak perempuannya di sia-siakan suaminya.

"Iya, Nduk. Dari pada hidup kamu di sini enggak jelas, lebih baik kamu pulang," imbuh sang Ibu.

Rini hanya diam sembari menunduk, ia tak bisa membantah ataupun menuruti permintaan orang tuanya karena semua itu bukan perkara mudah. Kembali ke rumah orang tua baginya sama saja menghancurkan keluarga yang di bangunnya dengan susah payah.

"Pak, Bu, aku ke dalam dulu, mau masak buat makan siang. Kalian main sama Ari dan Bagus dulu, ya," pamit Rini untuk mengalihkan pembicaraan. Ia akan memasak makanan spesial untuk menujukkan pada orang tuanya jika hidupnya bahagia di sini.

Ia mengambil uang di sebuah kaleng kecil di dalam lemarinya, itu adalah uang simpanannya selama bekerja menjadi buruh. Ia menghitung beberapa lembar uang yang ternyata hanya berjumlah dua ratus ribu. Dirasa belum cukup ia kembali membuka lemarinya, dengan tangan gemetar ia mengambil amplop yang telah lama  disimpan dan mengambil lima lembar uangnya kemudian menyelipkannya kembali di bawah tumpukan bajunya.

Rini  bertekad akan masak enak, membelikan oleh-oleh juga memberi orang tuanya sedikit uang agar mereka yakin bahwa hidupnya baik-baik saja. Walaupun ia terpaksa menggunakan uang yang menurutnya haram baginya. Ia juga menganggap semua ini sebagai hutang dan berjanji akan mengembalikan secepatnya.

"Wah, tumben mama masak enak. Baru gajian ya, Ma?" tanya Bagus yang senang melihat berbagai makanan di hadapannya.  

Dengan menggelar tikar, mereka berkumpul di depan televisi untuk menikmati makan siang bersama.

"Nenek sama Kakek sering-sering ke sini, ya, biar mama masak enak terus," imbuh Bagus lagi yang langsung mendapat tatapan tajam dari bocah di sebelahnya.  

Rini hanya terdiam sembari menuangkan air ke dalam gelas, ia merasa semua usahanya sia-sia karena dari ucapan cucunya, orang tuanya pasti paham jika ia jarang masak enak.

"Kalo Bagus tinggal di rumah Nenek pasti setiap hari bisa makan enak," ucap Ibu Rini sembari mengelus rambut ikal cucunya.

“Pikirkan lagi tawaran kami. Jika kamu sudah tak kuat, rumah orang tuamu masih terbuka lebar untukmu,” tukas Bapak.

**

Rini menatap nanar kepulangan orang tuanya yang mengendarai becak motor milik tetangganya. Walaupun jarak rumah mereka tak terlalu jauh, pada nyatanya Rini memang jarang sekali mengunjungi orang tuanya. Bukan karena tak ingin, tapi kesibukannyalah yang membuatnya tak bisa sering-sering datang.

Rini bergegas masuk ke dalam becak yang mereka kendarai hilang dari padangan. Sesampainya di ruang tamu ia di kejutkan oleh sebuah tak yang teronggok di bawah meja. Tanpa pikir panjang Rani segera mengambil tas itu dan mengecek isinya.

Wajah Rini memanas dan bulir bening jatuh seketika saat ia melihat berbagai makanan ada dalam tas tersebut, ia yakin ini adalah pemberian Ibunya. Walaupun telah berkeluarga orang tuanya salalu saja memberinya sesuatu setiap mereka berkunjung.

Baru saja ia ingin menata makanan tersebut di lemari, ia di kejutkan oleh benda putih yang terselip di dalamnya. Segera ia mengambil benda itu dan menyobeknya. Kali ini air matanya tak terbendung lagi, sepuluh lembar uang berwarna merah di tinggalkan diam-diam oleh orang tuanya, jumlah yang bahkan lebih banyak dari uang yang ia keluarkan untuk menyuguh mereka.

Rini menjatuhkan bobotnya di atas kursi dapur sembari terus menggenggam uang pemberian orang tuanya. Hatinya kini merasa bimbang, banyak sekali orang yang menawarkan kebahagiaan namun ia memilih bertahan di pahitnya kehidupan. Akankah ia menyerah daripada bertahan dari keluarga yang semakin tak tentu arah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status