“Semua teman-teman Ari udah sunat, Ma. Aku kapan?” tanya Ari saat Rini baru saja pulang menghadiri hajatan salah satu tetangganya yang baru saja menyunati anaknya.
“Sebentar lagi ya, Nak. Nunggu mama kumpulin uang dulu buat bikin selamatan,” jawab Rini pelan.Mungkin Ari sudah bosan dengan jawaban yang selalu terlontar dari mulut Rini saat anak sulungnya yang sebentar lagi akan menginjak kelas enam bertanya kapan ia di sunati.“Enggak usah pake selamatan segala, Ma. Kita langsung ke Pak Mantri aja. Aku enggak apa-apa kok enggak dapet amplop dari tetangga.”Mata Rini berkaca-kaca mendengar perkataan anak pertamanya itu. Rata-rata anak-anak di kampungnya minta sunat karena tergiur oleh amplop yang akan di berikan para tetangganya agar bisa membeli sepeda atau barang-barang yang diinginkannya. Sudah menjadi tradisi di kampunya, para tetangga akan memberikan uang saku kepada anak yang baru saja di sunat. Mau tak mau sebagai orang tua harus menyediakan makanan untuk suguhan dan memberikan bingkisan untuk di bawa pulang. Walaupun bisa saja berhutang dulu di toko dan di bayar setelah acara selesai, tapi tetap saja harus pegang uang minimal untuk uang muka dan kebutuhan lain yang tak terduga.“Pokoknya pas liburan kenaikan kelas aku harus sunat. Bilang sama Bapak suruh kirim uang, Ma, kalo Bapak enggak mau ngasih, aku enggak mau menganggap Bapak sebagai orang tuaku lagi,” rajuk Ari.“Jangan seperti itu, Nak! Bapak di sana kan lagi kerja buat masa depan Ari dan Bagus. Doakan saja semoga rezeki Bapak lancar.”“Halah, jangankan masa depan, masa sekarang aja udah suram.”“Ari, jaga bicara kamu! Mama enggak pernah ngajarin kamu ngomong kayak gitu,” hardik Rini. Anak sulungnya itu memang terkenal keras kepala. Apa lagi seiring bertambahnya usia, ia semakin paham dengan keadaan orang tuanya. Apalagi tentang Bapaknya yang semakin tak jelas kabarnya.“Kalo sampai lulus Sekolah Dasar hidup kita masih seperti ini terus dan Bapak enggak kunjung pulang, aku enggak mau sekolah lagi. Aku mau kerja aja buat bantu mama.”“Enggak! Selama mama masih mampu bekerja kamu harus tetap sekolah. Mau jadi apa kalo kamu enggak sekolah? Lagian anak sekecil kamu mau kerja apa?” tolak Rini.“Aku bisa kerja di ladang kayak Mama, atau kerja apa aja. Aku kasihan sama mama yang kerja sendirian, aku pengin cari uang buat mama.”“Enggak, Nak! Kamu harus sekolah, kamu harus jadi orang pintar.” Rini memeluk erat anak lelakinya. Bulir bening seketika turun deras dari matanya, rasa bahagia dan bangga bercampur jadi satu. Saat anak seusianya hanya tahu meminta uang pada orang tuanya, Anak sulungnya malah sudah berpikir untuk memberinya uang. Betapa Tuhan maha baik yang telah menjadikan Ari sebagai anaknya. “Ari sudah besar, Ma,” lirih Ari di sela-sela pelukan mereka.“Iya, anak mama udah besar, terima kasih sudah mengerti keadaan mama ya, Nak.” Rini mencium anak lelakinya bertubi-tubi.Ia memang tak punya banyak harta, tapi ia memiliki hal paling berharga dalam hidupnya yaitu anaknya. Ada atau tidaknya uang dari Budi, bagaimanapun caranya Rini berjanji akan segera menuruti kemauan Ari.**“Kamu enggak ikut senam, Rin?” celetuk Bu Riyati sambil terus menyapu halaman rumahnya.“Enggak, Bu.” Rini yang tengah sibuk memasukkan tanah ke dalam plastik polibag menoleh sekilas lalu tersenyum kecut.Boro-boro bisa ikut senam, kalo saja arisan RT tidak wajib, ia pun enggan ikut. Bukannya tak mau bermasyarakat, ada banyak alasan ia tak mau berkumpul seperti ibu-ibu pada umumnya.“Lihat tuh ipar kamu, goyangnya semangat banget.” Bu Riyati terkekeh menunjuk pada segerombolan ibu-ibu berseragam kuning yang sedang berolah raga di depan rumah Sari. Kalo saja senam itu enggak bayar atau enggak harus beli seragam pasti Rini akan ikut, namun lagi-lagi semuanya terkendala biaya. Walaupun hanya lima ribu sekali pertemuan, tapi ia lebih memilih menggunakan uang itu untuk membeli makanan atau sabun dari pada untuk sekedar iuran senam.“Mbok ya a sekali-sekali kamu membahagiakan diri, jangan pikirannya kerja terus,” ucap Bu Riyati yang kini sudah duduk di sebuah kursi bambu di teras rumah Rini.“Begini saja sudah bahagia, Bu.” Ya kebahagiaan Rini memang berbeda, ia selalu menyugesti dirinya bahwa definisi bahagia tak melulu soal harta. Tak seperti perempuan pada umumnya yang bahagia saat mempunyai banyak uang, emas atau bisa sering jalan-jalan dan belanja, tapi itu tak berlaku untuk Rini. Bahagianya adalah saat melihat anak-anaknya bisa makan dan bersekolah. “Kamu benar, Rin. Kriteria bahagia setiap orang memang berbeda-beda. Kamu lihat aku pasti mengira aku bahagia, kan?”Pensiunan pegawai negeri itu adalah salah satu orang yang sering datang ke rumah Rini selain Wulan. Hidup sendiri di masa tua, membuatnya selalu kesepian, untung saja rumahnya bersebelahan dengan rumah Rini yang mempunyai dua anak, jadi ia tak terlalu merasa sendiri. Halaman rumahnya yang cukup luas menjadi area bermain anak-anak Rini dan teman-temannya setiap hari.“Iya, Bu. Dapat uang pensiun, anak-anaknya sukses semua. Pokoknya Ibu punya masa tua impian setiap orang.” Rini bangun dan beralih duduk di samping Bu Riyati.“Tapi kamu enggak tahu, kan, betapa sepinya hidupku, tiap hari makan tidur sendiri. Belum lagi masalah Tanto yang udah tua tapi enggak nikah-nikah.”Mengapa mendengar nama Tanto membuat hati Rini sedikit berdebar. Lelaki berkumis tipis anak bungsu Bu Riyati itu memang usianya lebih tua darinya.“Sebenarnya Tanto itu kepengin nikah enggak, sih? Ibu kadang geram, umur sudah matang, pekerjaan bagus, uang punya, nunggu apa lagi dia? Berkali-kali pacaran, berkali-kali juga putus. Belum lagi kalo di jodohin, pasti bilangnya enggak cocok. Keburu meninggal aku.”“Jangan bilang seperti itu, Bu. Mungkin Mas Tanto belum ketemu jodohnya. Ibu terus doakan saja semoga Mas Tanto segera menikah,” ujar Rini sok bijak.Sebenarnya ia malu sok-sokan menasihati orang yang jelas lebih senior darinya. Tapi Bu Riyati memang selalu curhat semua masalahnya dengan Rini, jadi mau tak mau harus di tanggapi.“Sebenarnya menikah dengan janda sekalipun aku masalah, buat teman hidup di masa tua. Ibu yang punya tiga anak aja kesepian. Lagian percuma punya banyak uang, kalo enggak nikah. Enggak ada yang habisin soalnya,” ucapnya terkekeh.Mau tak mau Rini tertawa mendengar ucapan orang tua di sampingnya. Ia jadi semakin yakin jika Tanto yang selalu mengiriminya uang adalah anak bungsu Bu Riyati, tapi apa tujuannya? Bukankah mereka tak saling kenal? Bahkan selama menjadi istri Budi, hanya beberapa kali Rini menyapa anak tetangganya itu.“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa