“Mau beli apa, Rin?” bisik Santi - salah satu tetangga Rini yang sedang berjalan beriringan menuju rumah Sari.
“Beli ayam goreng, Bu. Ari pengin makan ayam, tapi aku enggak sempat masak, buru-buru mau kerja.”“Kamu bawa duit berapa?” cegah Santi menghentikan langkahnya.Rini mengerutkan dahi mendengar pertanyaan wanita bergelar Bu RT itu. “Ini aku pinjami duitku dulu, kamu bisa balikin kapan-kapan. Kasihan aku kalo liat kamu yang dihina terus sama Sari,” ujar Santi menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.Hati Rini tiba-tiba menghangat, tak menyangka karena ternyata ada tetangga yang perhatian padanya.“Makasih, Bu RT. Alhamdulillah aku lagi ada sedikit rezeki, jadi bisa beli ayam goreng,” tolaknya lembut.“Oh, ya sudah kalo begitu. Kalo ada apa- apa bilang aja sama aku, ya. Jangan biarin si Sari menghina kamu terus. Tuman tau!” Rini mengangguk lalu berjalan kembali ke rumah Sari. Sebenarnya penjual sayur matang bukan Cuma Sari tapi berhubung rumah mereka berhadapan Rini menjadi segan jika harus membeli dari tempat yang jauh. Lagi pula tak setiap hari ia membeli sayur matang, hanya saat ia sibuk atau anaknya meminta makanan yang jarang di masaknya. Sebulan ini, rezeki Rini memang lumayan lancar. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabai milik juragan sayur tempat ia bekerja. Walaupun ia harus berjuang melawan panas dan lelah, semua itu terbayar lunas saat ia menerima selembar uang merah untuk satu hari memetik cabai. Bayaran yang cukup setimpal dengan rasa capeknya.“Ayam goreng dua potong ya, Mbak.” Rini menunjuk tumpukan ayam goreng di nampan.“Satunya delapan ribu!” “Iya.” Rini mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari saku dasternya.“Nah, gitu, sekali-sekali makan ayam, biar ada gizinya. Biar enggak kena stunting, Ini kembalinya mau tahu atau tempe? Aku enggak punya receh.”“Apa aja boleh.” Rini menerima dua potong ayam goreng dan empat buah tahu dalam satu plastik.Sebenarnya Rini ingin meminta kembalian uang untuk uang saku kedua anaknya, tapi ia takut jadi masalah. Lagi pula hari ini mood Sari lumayan bagus, jadi omongannya enggak merepet ke mana-mana.**Hari ini Rini terpaksa tidak berangkat kerja karena harus merawat Bagus yang demam sejak semalam. Ia merasa bersalah karena sedikit mengabaikan anak-anaknya demi mencari uang. Namun ia tak punya pilihan lagi, uang yang dikirim Budi sama sekali tak bisa mencukupi kebutuhan mereka, ditambah lagi dengan stok beras yang mulai menipis dan masa tanam yang masih lumayan lama membuatnya harus berjuang lebih keras untuk mencari rezeki.Rini dan Bagus tengah bersiap berangkat menuju puskesmas untuk berobat, dengan sepeda butut yang ia beli dari toko barang bekas lima tahun yang lalu ia dan Bagus berboncengan menuju puskesmas kecamatan yang jaraknya sepuluh kilometer.Sebenarnya ia paling malas berobat di puskesmas, karena selain jaraknya lumayan jauh di sana juga harus mengantre lama. Namun tak ada pilihan lain mengingat biaya ke dokter umum baginya terlalu mahal sedangkan ke puskesmas ia tak perlu membayar karena keluarganya termasuk pemegang kartu sakti dari pemerintah untuk berobat gratis.Setelah hampir tiga jam berada di puskesmas akhirnya Rini pulang saat matahari sedang panas-panasnya. Walaupun ia sudah biasa bekerja di ladang, tapi bersepeda sembari membonceng Bagus yang berbobot lebih dari lima belas kilo membuatnya harus mengeluarkan tenaga ekstra. “Ari...!” panggil Rini sesampainya di depan rumah. Walaupun sudah hampir naik ke kelas enam, Rini masih saja sering khawatir jika meninggalkan anak sulungnya tinggal sendiri di rumah. Tak ada jawaban, Rini memutuskan langsung masuk ke rumah. Ia menenteng sebuah kantong plastik berisi dua roti bantal dan sekaleng susu kesukaan anak-anaknya. “Ari...!” panggilnya sekali lagi, kini dengan nada yang lebih keras.Ia bernafas lega melihat anak sulungnya tengah asyik menonton televisi.“Ari, lihat mama bawa apa?” Mata Rini seketika membulat saat melihat anaknya tengah asyik menonton televisi sembari memakan makanan ringan dari bungkus besar yang berada di tangannya. Ia juga semakin terkejut tatkala melihat berbagai jenis makanan anak-anak mulai permen, coklat, biskuit serta susu berserakan di depannya“Ari, ini makanan dari mana?” pekik Rini seketika. Dadanya berdebar cepat, takut anaknya mendapatkan semua itu dari hasil mengambil milik orang lain.Mendengar suara mamanya, seketika kedua bocah tersebut menoleh.“Dari Om Tanto, Ma,” jawabnya polos. Mendengar nama Tanto seketika tubuh Rini menegang. Tanpa pikir panjang ia segera berlari menuju kamar lalu mengambil setumpuk amplop yang sudah ia hafal letaknya dan segera berlari keluar rumah. Ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mengembalikan uang-uang tersebut.Rini terus berlari menuju rumah yang berada tepat di sebelah rumahnya berharap ia bisa bertemu dengan lelaki yang setahun ini selalu mengganggu pikirannya. Di samping rumah bercat biru Rini berhenti untuk mengatur nafas sebelum memberanikan diri mengetuk pintunya.“Loh, Rini ada apa?” sapa seseorang yang baru saja membuka pintu. Rini yang terkejut langsung menyembunyikan amplop yang di bawanya di balik jilbab lebar yang ia kenakan.“Maaf, Bu. Apa benar Mas Tanto pulang?” tanya Rini ragu.Wanita berkulit bersih itu mengernyit dahi lalu seketika tersenyum.“Iya Tanto pulang semalam, tapi barusan udah berangkat lagi. Tadi dia ke rumahmu ngasih jajan, tapi Cuma Ari yang ada di rumah. Memangnya ada perlu apa sama Tanto?”“Emm, enggak ada apa-apa, Bu. A-aku Cuma mau ngucapin terima kasih udah di kasih jajan banyak begitu,” ucap Rini yang terlihat salah tingkah.“Owalah, ya sama-sama. Tak kira ada apa.” Wanita yang hampir memasuki masa lanjut usia itu tersenyum tulus.“Kalo begitu aku permisi dulu, Bu. Sekali lagi terima kasih.”Rini membalikkan badan dan segera melangkah pulang. Hari ini dia belum beruntung menemui pengirim uang yang berada di genggamannya itu artinya ia akan menyimpannya lebih lama lagi. Ia kembali melirik rumah yang baru ditinggalkannya tadi. Apa sebaiknya ia kembalikan saja pada Ibunya? Tapi ia takut wanita itu salah paham dan dinilai sebagai wanita murahan karena terus menerima uang dari anak lelakinya.“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa