“Rin-Rini, kamu di dalam enggak?” Suara seorang wanita menggema dari pintu depan rumah Rini.
“I-Iya, Sebentar!” Dengan sigap Rini langsung memasukkan kembali uang-uang tersebut ke dalam amplop dan meletakkannya di tempat semula. Rini menyambar hijabnya kemudian bergegas menemui wanita yang suaranya telah ia hafal. “Ada apa, Mbak?” tanya Rini pada Farida yang datang bersama anaknya perempuannya.“Rin, pinjam duit lima puluh ribu. Sila muntah-muntah terus, aku enggak pegang uang sama sekali buat ke dokter.” “Tapi, Mbak, aku juga enggak punya duit, lagi pula Mas Budi sampai sekarang belum kirim uang.”“Kamu perhitungan sama aku, hah? Gini-gini aku juga kakaknya Budi, masa iya mau pinjem uang adiknya aja enggak boleh. Apa kamu enggak kasihan sama Sila?” ucapnya dengan nada memelas.Ranti melirik pada bocah perempuan berwajah pucat dalam gendongan kakak iparnya. Tubuhnya yang kurus berbanding terbalik dengan mamanya yang tumbuh subur ke atas dan ke samping. Mata Rini melebar tatkala pandangannya beralih pada kedua tangan yang tengah menopang anak berbaju pink itu. Sebuah gelang emas berukuran besar melingkar di pergelangan tangan kanan Farida juga dua cincin di jari tangan kirinya. Rini tak habis pikir, kalo Farida punya emas segede itu, mengapa untuk berobat anaknya ia harus berhutang?“Mama, sakit!” Lamunan Rini seketika buyar saat anak di depannya tiba-tiba merengek. Suaranya terdengar parau dengan kepala yang terus disandarkan pada bahu mamanya.“Cepet, Rin! Aku takut terjadi apa-apa sama Sila,” bentak Farida.Rini segera masuk dan menyambar dompetnya, kemudian mengeluarkan uang berwarna biru dan segera berjalan keluar. “Nah, gitu dong. Sama saudara jangan pelit-pelit. Lagian kalo bukan aku, enggak ada lagi saudara kamu di sini.” Farida berlalu setelah menyambar uang di tangan Rini.Dengan langkah gontai Rini masuk kembali ke dalam rumah. Ia duduk di sofa usang yang teronggok di ruang tamunya. Badannya kini terasa lemas karena uang pegangannya berkurang lagi. Ingin sekali ia mendebat Farida tadi, tapi apalah dayanya yang tak tega melihat keponakannya kesakitan.Jam di dinding sudah menunjuk angka sepuluh itu artinya sebentar lagi anak-anaknya pulang sekolah. Rini bergegas ke dapur untuk segera memasak, karena belum membeli minyak, ia memutuskan untuk merebus kangkung dan membuat tempe bacem dengan minyak yang tersisa sedikit di wajan. Ia bersyukur paling tidak hari ini anaknya tidak kelaparan.** [Maaf, Dek. Aku baru bisa kirim uang, semoga kamu bisa sabar dan terus berdoa untuk kelancaran pekerjaanku.]Rini membaca pesan dari Budi setelah mengisi voucer internet ponselnya dengan uang pinjaman dari Wulan. Untuk menyambung uang belanjanya, ia memang mengurungkan niat untuk memakai uang simpanannya dan memilih memberanikan diri meminjam uang pada sahabatnya.[Sampai kapan kita begini terus, Mas. Kalo begini terus lebih baik kamu pulang aja]Dengan cepat jari-jari Rini mengetik balasan untuk suaminya. Sebenarnya ia ingin menelepon, tapi karena kondisi ponsel yang tak memungkinkan, ia memilih untuk berbalas pesan saja.[Susah, Dek! Kamu tahu sendiri kan kalo aku tenaga kerja ilegal, kalo sampai aku ke tangkap lebih ribet lagi urusannya]Rini menghela nafas panjang, setiap ia membahas masalah kepulangan, pasti akan berakhir seperti ini. Semua memang salah mereka yang terlalu buru-buru mengambil keputusan untuk ikut kerja ke luar negeri bersama temannya dengan harapan hidup lebih baik. Namun pada kenyataannya, Budi tak memiliki surat-surat imigrasi yang lengkap sehingga menyulitkan hidupnya hingga sekarang.Di tengah terik matahari Rini mengayuh sepedanya menuju tempat mesing pengambilan uang yang jaraknya sekitar tiga kilo meter dari rumahnya. Setelah mengantre dengan beberapa orang, ia segera masuk untuk mengambil uang kiriman dari suaminya. Dahinya mengerut tatkala melihat saldo dalam ATM nya hanya berjumlah tujuh ratus ribu, itu artinya uang bulannya berkurang tiga ratus ribu. Dalam perjalanan pulang, otaknya terus berpikir keras bagaimana caranya agar uang lima ratus ribu bisa mencukupi kebutuhan sebulan. Sedangkan dua ratus ribu sisanya untuk membayar hutang pada Wulan.***Sore ini Rini tengah bekerja mengepak sayur di rumah seorang pedagang tak jauh dari rumahnya, ia dengan sigap memasukkan cabai ke dalam plastik untuk di kemas lima kiloan. Walaupun hanya berupah sepuluh sampai lima belas ribu, tapi ini adalah pekerjaan yang paling disukai karena tak membutuhkan banyak tenaga. Rini hanya perlu duduk sembari mengemas beberapa jenis sayur lalu menimbangnya. Terlebih lagi ia pasti di beri beberapa jenis sayur dan buah sisa penjualan untuk di bawa pulang. Walaupun dalam kondisi setengah busuk tapi sudah cukup membuat anak-anaknya senang.“Ma, ada paket,” teriak Bagus semringah sembari mengangkat kardus kecil di tangannya.Rini yang baru saja sampai langsung menyandarkan sepedanya lalu menghampiri kedua anaknya yang tengah berdiri di depan pintu. Dengan cepat Rini menyambar kardus tersebut untuk segera membaca pengirimnya, ‘Tri Hartanto’ orang sama yang mengiriminya paket sepuluh bulan belakangan.“Wah, habis dapat kiriman dari Budi langsung belanja online,” celetuk salah satu ibu-ibu yang tengah berkumpul dan memperhatikannya.“Rini mana mampu belanja online, paling itu punya si Wulan yang dikirim atas nama Rini, biar enggak ketahuan suaminya,” sindir Sari yang juga ada dalam rombongan tersebut.“Iya, ini memang punya Wulan, aku mana bisa belanja kayak gini,” jawab Rini sembari memaksakan senyum.“Ya, iyalah, dikasih sayur sama buah setengah busuk aja sudah untung.” Sari melirik pada kantong keresek hitam yang masih tercantel di sepedanya.Demi menjaga hatinya Rini memilih menghindar dan menggiring anak-anaknya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dapur Rini segera mengambil pisau untuk segera membuka paket tersebut. Setelah mengalihkan perhatian anaknya dengan menyuruh mereka makan buah, Rini bergegas membopong kardus tersebut ke dalam kamar. Ia menyobek sembarang beberapa plester yang melilit lalu membukanya perlahan hingga terlihat dua buah biskuit rasa kelapa yang biasa di jual di warung-warung. Merasa belum puas, Rini kembali menyayat sebuah plester yang menyatukan biskuit tersebut hingga menjatuhkan sebuah amplop putih yang terselip di keduanya, cara yang sama seperti bulan-bulan sebelumnya. Dengan cepat ia memungut amplop tersebut dan memberinya tanda angka sebelas. Ini adalah kesebelas kalinya Rini di kirimi uang dengan jumlah yang sama setiap bulannya. Jika ditotal jumlahnya sudah enam belas juta lima ratus ribu, jumlah yang cukup fantastis jika hanya untuk makan enak setiap hari atau sesekali mengunjungi toko baju. Tapi lagi-lagi ia kembali menyimpannya bersama amplop-amplop sebelumnya. Ia telah bertekad untuk mengembalikan pada pengirimnya jika suatu saat nanti bertemu dengannya. Bukannya tak butuh, ia hanya takut akan hal yang mungkin terjadi jika ia nekat memakai uang tersebut.Sebenarnya pernah sekali ia mencoba mengirim balik dengan cara yang sama, namun beberapa hari kemudian paket itu datang kembali, sedangkan ia harus membayar ongkos kirim yang jumlahnya bisa untuk makan dua hari. Mulai saat itu Rini memutuskan untuk menyimpannya dan mengembalikan jika suatu saat nanti mereka bertemu. Setelah semua di rasa aman, Rini memutuskan merebahkan diri di atas ranjang untuk mengistirahatkan badannya yang terasa remuk. Beberapa hari ini ia memutuskan untuk menerima semua pekerjaan yang di tawarkan padanya, mulai dari membantu memasak di tempat orang hajatan, membersihkan kebun hingga mengepak sayur. Semua itu dilakukan demi mencukupi kebutuhannya. Saat raganya lelah, berkali-kali ia tergiur untuk memakai uang yang ada di lemarinya, tapi berkali-kali juga ia sadar jika uang itu bukan miliknya. Lagi pula ia tak mau sampai terlena menggunakan uang pemberian lelaki yang bukan suaminya.“Mau beli apa, Rin?” bisik Santi - salah satu tetangga Rini yang sedang berjalan beriringan menuju rumah Sari.“Beli ayam goreng, Bu. Ari pengin makan ayam, tapi aku enggak sempat masak, buru-buru mau kerja.”“Kamu bawa duit berapa?” cegah Santi menghentikan langkahnya.Rini mengerutkan dahi mendengar pertanyaan wanita bergelar Bu RT itu. “Ini aku pinjami duitku dulu, kamu bisa balikin kapan-kapan. Kasihan aku kalo liat kamu yang dihina terus sama Sari,” ujar Santi menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.Hati Rini tiba-tiba menghangat, tak menyangka karena ternyata ada tetangga yang perhatian padanya.“Makasih, Bu RT. Alhamdulillah aku lagi ada sedikit rezeki, jadi bisa beli ayam goreng,” tolaknya lembut.“Oh, ya sudah kalo begitu. Kalo ada apa- apa bilang aja sama aku, ya. Jangan biarin si Sari menghina kamu terus. Tuman tau!” Rini mengangguk lalu berjalan kembali ke rumah Sari. Sebenarnya penjual sayur matang bukan Cuma Sari tapi berhubung rumah mereka berhadapan Rini menjad
Tak seperti hari-hari sebelumnya, kini Rini sudah tak berharap banyak dengan Budi. Dimulai dari terpaksa, ia sudah mulai terbiasa hidup dan mencari uang sendiri. Dia meyakini bahwa Tuhan pasti telah menakar rezekinya dari awal, nyatanya semakin hari pekerjaan Rini semakin banyak hingga tanpa mengambil jatah dari Budi pun ia dan anak-anaknya bisa makan.Rini mematut dirinya di depan cermin, ia tengah mengamati bintik-bintik hitam yang mulai timbul di wajahnya. Berhadapan dengan panas matahari dan debu setiap hari membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, terlebih lagi ia sudah lupa kapan terakhir kali membeli produk perawatan wajah. Benar-benar mengenaskan.“Assalamualaikum, Nduk.”“Waalaikum salam...” Mata Rini berbinar tatkala melihat wajah yang telah lama di rindukan. Sedetik kemudian ia mengambur pada pelukan wanita dan lelaki berusia senja yang baru saja turun dari becak motor.“Sehat, Bu, Pak.” Bergantian Rini mencium tangan mereka takdim.Setelah acara kangen-kangenan selesai
“Semua teman-teman Ari udah sunat, Ma. Aku kapan?” tanya Ari saat Rini baru saja pulang menghadiri hajatan salah satu tetangganya yang baru saja menyunati anaknya.“Sebentar lagi ya, Nak. Nunggu mama kumpulin uang dulu buat bikin selamatan,” jawab Rini pelan.Mungkin Ari sudah bosan dengan jawaban yang selalu terlontar dari mulut Rini saat anak sulungnya yang sebentar lagi akan menginjak kelas enam bertanya kapan ia di sunati.“Enggak usah pake selamatan segala, Ma. Kita langsung ke Pak Mantri aja. Aku enggak apa-apa kok enggak dapet amplop dari tetangga.”Mata Rini berkaca-kaca mendengar perkataan anak pertamanya itu. Rata-rata anak-anak di kampungnya minta sunat karena tergiur oleh amplop yang akan di berikan para tetangganya agar bisa membeli sepeda atau barang-barang yang diinginkannya. Sudah menjadi tradisi di kampunya, para tetangga akan memberikan uang saku kepada anak yang baru saja di sunat. Mau tak mau sebagai orang tua harus menyediakan makanan untuk suguhan dan memberikan
[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. [Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal
“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.“Kenapa?” tanya Rini heran.“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita berginc
“Dimana-mana orang pulang kerja di luar negeri itu beli sawah bukan jual sawah.”Nafas Rini memburu tatkala Budi berniat menjual sawah satu-satunya yang mereka miliki. Meskipun tak terlalu luas dan hanya panen setahun sekali, tapi cukup untuk mencukupi beras yang mereka makan.“Tapi kalo enggak ada duitnya aku enggak bisa pulang, Dek,” ucap suaminya dari balik telepon.Pagi tadi Wulan mengunjungi rumah Rini dan mengatakan jika Budi akan menelepon. Benar saja, baru saja Wulan pergi sebuah panggilan masuk.“Kamu gila ya, Mas? Kamu enggak tahu betapa tersiksanya aku saat orang-orang tanya hasil kerja kamu? Pokoknya aku enggak mau jual sawah itu,” ucap Rini geram.“Jangan ketus begitu, kamu pasti kangen sama aku, kan? Katanya pengen aku pulang.” “Kangen?” Rini mengernyit heran. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia merasakan rindu dengan lelaki yang lebih dari sepuluh tahun menikahinya.Awal-awal kepergian Budi, setiap hari ia merasa ada yang kurang dari hidupnya, bahkan setiap saat ing
"Mbak, beli sayur kentang dua puluh lima ribu, ayam goreng delapan biji, sate telur enam tusuk, kembaliannya tempe goreng." Sari terus menatap pada wanita yang sedang mengulurkan uang berwarna merah padanya. Matanya menyipit tatkala tetangga depan rumahnya yang biasanya datang berpakaian daster lusuh, kini memakai gamis model terbaru berwarna coklat susu lengkap dengan jilbab bermotif bunga."Rini?" Nafas Sari terasa berhenti saat melihat benda berkilau berwarna kuning melingkar di tangan dan jarinya.Hampir enam bulan setelah kepulangan Rini ke rumah orang tuanya, ia berubah drastis. Dengan bantuan Wulan, ia membenahi penampilannya agar terlihat fress. Bukan berarti lupa masalahnya dengan Budi, tapi hanya ingin membuktikan jika ia bisa bahagia tanpa Budi.Berita pernikahan Budi yang begitu cepat menyebar membuat banyak orang merasa iba pada Rini, namun tak sedikit pula yang menganggapnya bodoh karena dulu tak percaya dengan omongan orang lain. Namun Rini tak ambil pusing, yang terp
“Woy, bangun!”Rini terperanjat saat sebuah bantal tiba-tiba mendarat tepat di wajahnya.“Mentang-mentang udah enggak punya suami, bangunnya telat terus! Tuh anakmu pada kelaparan,” teriak wanita bertubuh langsing yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.“Aku ngantuk, Mbak. Tolong masakin, dong.” Rini meregangkan badan sebentar lalu kembali menarik selimutnya, tak memedulikan kedatangan Ranti-kakak tertuanya. Rini merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Kakaknya Ranti dan Rafli, masing-masing sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri-sendiri. Dan adiknya Riski belum menikah dan masih bekerja di luar kota.Semalam memang Rini susah tertidur, sejak sore hingga tengah malam, ia hanya mondar-mandir tak jelas di kamarnya. Lelah bekerja seharian tak membuat matanya cepat terpejam. Bagaimana tidak, baru saja satu masalah selesai, muncul lagi masalah baru. Rini masih terus berpikir bagaimana cara ia menjelaskan perihal uang yang di pakai untuk modal usaha pada kedua orang tuanya.“Bapak h