Share

SAYUR KENTANG LIMA RIBU
SAYUR KENTANG LIMA RIBU
Penulis: Putri putri

SAYUR KENTANG LIMA RIBU

“Mbak, beli sayur kentangnya lima ribu sama tempe lima biji, ya,” ucap Rini yang tengah berdiri berjejal dengan beberapa ibu-ibu di rumah Sari – penjual sayur matang yang terletak tepat di seberang rumahnya.

“Lima ribu enggak dapat sayur kentang! Mending beli sayur bening aja, nih dapet seplastik! Lumayan kalo sekali makan airnya di kasih dua sendok, bisa buat sampe sore,” jawab Sari ketus sembari menyodorkan satu bungkus sayur bayam.

“Tapi Bayu kepingin sayur kentang, Mbak. Dapet sedikit enggak apa-apa, kok.” 

“Kentang mentahnya aja udah mahal, apa lagi ini ditambah krecek sapi, apa mau kuahnya aja? Lagian enggak punya uang enggak usah sok-sokan kepengin sayur kentang. Kamu itu lebih baik makannya sama garam, biar irit. Jadi sisa uangnya bisa ditabung buat beli baju. Lihat tuh, seragam Bagus, lap mejaku aja lebih bersih dari baju anak kamu. Baru kelas satu kok bajunya udah jelek gitu, jangan-jangan itu bekas bapaknya jaman dulu,” ejek Sari menunjuk pada anak berseragam putih merah yang berdiri di samping Rini.

Ya, seragam itu memang itu memang seragam bekas Ari, kakaknya yang sekarang sudah duduk di kelas lima. Walaupun warnanya sudah tak terlalu putih tapi menurutnya masih cukup baik untuk dipakai.

“Aku mau makan sama sayur kentang, Ma,” rengek Bagus sambil terus menarik-narik ujung baju Rini.

“Udah-udah, nih aku kasih segini! Udah sana pulang, nanti pelangganku pada kabur kalo Cuma ngurusin kamu sama anakmu yang ingusan itu.” Sari menyerahkan plastik berisi dua sendok sayur kentang dan tempe lima biji pesanan Rini.

“Terima kasih, Mbak,” ucap Rini menyerahkan lima lembar uang dua ribuan yang langsung di sambar oleh Sari.

“Kalo makan diirit-irit. Ingat besok juga masih makan,” sindir Sari setelah Rini berjalan beberapa langkah meninggalkan rumahnya.

 **

Rini membuka pintu rumahnya yang sudah tak lagi pas dengan bingkainya. Kalo saja pintu itu bisa bicara, pasti ia sudah menangis karena sudah banyak sekali paku yang tertancap di badannya agar ia tetap berdiri di tempatnya. Di rumah tua peninggalan mertuanya inilah ia hidup dan membesarkan anak-anaknya. 

Ia bergegas menuju dapur dan mengambil dua piring nasi kemudian meletakkannya di depan Bagus dan Ari yang tengah duduk manis di ruang tengah. Wajah keduanya berbinar tatkala Rini menuangkan sayur kentang ke masing-masing piring mereka dan tak menunggu lama kedua kakak beradik itu langsung memakannya dengan lahap.

Rini menatap nanar pada sayur kentang seharga lima ribu yang mungkin hanya dua sendok itu. Bukan sekali dua kali Rini di cibir oleh Sari perihal sayur yang di belinya. Entah mengapa tetangga depan rumahnya itu suka sekali meremehkannya, padahal berapa pun yang Sari berikan ia tak pernah protes.

Hidup sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak yang hanya mengandalkan kiriman uang sebesar satu juta dari suaminya,  membuatnya harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhannya. Bahkan ia rela bekerja apa saja untuk menambah uang belanja.

“Ma, besok beli telur puyuh yang di tusuk-tusuk itu, ya,” ucap Bagus setelah semua nasi dalam piring masuk ke dalam perutnya.

“Jangan aneh-aneh, makan sama tempe aja, mama lagi enggak punya duit. Lagian nanti tante Sari pasti ngomel-ngomel lagi kali mama belinya sayur yang enak terus,” timpal anak sulung Rini.

Walaupun baru menginjak kelas lima sekolah dasar, Ari sudah mengerti keadaan orang tuanya. Bahkan ia sering kali melarang mamanya agar tidak membeli makanan di tempat Sari agar tidak selalu di hina.

Orang tua mana yang tak ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, begitu juga Rini. Di tengah keterbatasannya ia ingin sesekali menuruti kemauan anaknya. Bagus – anak bungsunya yang memang terkenal suka makan enak, sering kali memintanya masak makanan yang bahannya saja sudah bikin kantong menjerit. Ayam, telur dan daging bagi Rini adalah makanan yang sangat mahal karena belum tentu sebulan sekali ia masak makanan itu. Untuk menuruti kemauan Bagus, Rini sesekali membeli lauk matang di tempat Sari walau hanya sepotong di bagi dua. Jangan ditanya mengapa ia lebih suka beli matang ketimbang mentahnya karena ia tak harus menambah bumbu, minyak dan lain sebagainya. 

Seminggu berlalu, sekarang adalah hari jum’at itu artinya jadwal Rini membeli makanan enak untuk anak-anaknya. Selain menu harian yang hanya sayur, tahu dan tempe, Rini  memang menjadwalkan paling tidak seminggu sekali anaknya bisa makan enak.

"Mbak sate telurnya dua tusuk," ucapnya pada Sari. 

"Sepuluh ribu," jawab sari ketus sembari memberikan dua tusuk sate telur puyuh yang berisi empat telur masing-masing tusuk.

"Minta plastiknya, Mbak." 

"Halah, jalan dari sini ke situ doang minta plastik. Nih! Lumayan nanti bumbu yang nempel bisa buat lauk sama kamu." Sari melemparkan sebiji plastik bening yang sudah di remas.

Rini mengembuskan nafas kasar. Entah apa salahnya hingga Sari terus saja menghina, padahal ia membeli bukan hutang atau minta.

"Eh, bawa apa kamu itu?" Langkah Rini terhenti tatkala wanita berdaster hijau mencegatnya.

"Sate telur, Mbak." Rini menunjukkan makanan di tangannya.

“Oh, pantas saja uang yang dikirim Budi selalu habis, lah kamu makannya enak terus. Kamu itu harus pinter-pinter ngatur uang, kasihan adikku banting tulang di negeri orang, malah istrinya di sini enak-enakkan habisin uangnya,” cibir Farida kakak ipar Rini.

“Ini Cuma seminggu sekali, Mbak. Kasihan anak-anak kalo makan tahu tempe terus.”

“Halah,  dasar kamunya aja pemboros. Lihat tuh istrinya si Eni yang suaminya kerja di luar negeri, dia pinter ngatur uang, nyatanya rumahnya bisa bagus, bisa beli motor keluaran terbaru, setiap tahun beli sawah. Lah kamu, hasilnya mana? Cuma numpuk di jamban.”

“Rejeki orang kan beda-beda, Mbak. Lagi pula gajian Mas Budi sama suaminya Eni kan jelas beda. Mas Budi kan Cuma buruh, sedangkan suaminya Eni kerjanya di kapal,” jawab Rini pelan.

“Makanya kamu jadi perempuan juga harus kreatif, kerja, jangan cuma jadi peliharaan doang yang kerjanya makan tidur.”

Tak ingin memperpanjang urusan, Rini memilih untuk segera pulang. Lagi pula meladeni orang macam Farida enggak akan habis dua hari dua malam. Kakak iparnya itu memang termasuk geng sosialita di kampungnya yang suka menguliti hidup seseorang termasuk dirinya.

**

“Owalah, Rin, Rin, hidupmu kon ngenes terus, sih?” celetuk Wulan yang tengah berkunjung ke rumah Rini. 

“Ya mau gimana lagi,” jawab Rini santai sambil terus menikmati sarapannya yang sudah terlambat.

Rini menuangkan air segelas penuh lalu meneguknya hingga tandas. Hari ini ia terpaksa sarapan dengan sayur sisa semalam, ia terpaksa harus lebih berhemat karena uang kiriman dari Budi tak kunjung datang. Biasanya suaminya rutin mengirim uang setiap tanggal lima, tapi sudah hampir tengah bulan kiriman itu tak kunjung datang. Untung saja seminggu ini ia bekerja di rumah Bu Riyati, seorang janda yang tinggal tepat di sebelah rumahnya.

“Kamu itu bodoh apa gimana  sih? Masa lakinya kerja di luar Cuma di kasih duit sejuta mau-mau aja. Jangan-jangan ada yang enggak beres sama si Budi. Apa jangan-jangan dia udah nikah lagi di sana. Dah lah mending cerai aja, lagi pula banyak kok laki-laki yang mau sama kamu,” cerocos Wulan sembari terus membenahi dandanannya.

Wulan memang satu-satunya tetangga yang sudi berteman dekat dengan Rini. Wanita yang suka berdandan menor dengan make up murahan itu sering kali datang hanya untuk mengobrol dengan Rini.

“Lihat tuh, si ina, dia ternyata jadi simpanannya juragan karyo, pantas saja duitnya banyak, apa-apa bisa beli. Udah dikirimi suaminya, dapar jatah juga dari pacarnya.” 

“Sory ya, aku bukan cewek kayak gitu. Walaupun miskin, tapi aku masih punya harga diri. Emang Ina enggak takut di labrak mak lampir istri juragan karyo?”

“Halah, kalo pelakor dilabrak istri sah itu udah biasa, yang penting dari belakang lancar duitnya.”

Rini tak menyahut omongan Wulan, ia sudah terbiasa dengan omongan wulan yang tak berfaedah yang sering kali menyarankan Rini untuk mencari lelaki lain dari pada menunggu Budi yang tak jelas duitnya. Tak terasa hampir satu jam mereka mengobrol sambil menikmati rujak pepaya mengkal yang di bawa Rini. Walaupun obrolan tak jauh-jauh dari ghibah, tapi tingkah absurd sahabatnya itu bisa sedikit mengalihkan pikiran Rini. 

Setelah Wulan pulang, Rini bergegas menuju dapur untuk memasak masakan siang sekaligus makan malam untuk anak- anaknya. Wajahnya terlihat semringah tatkala melihat seikat kangkung, dua papan tempe dan sebungkus kerupuk pemberian Wulan tergeletak di atas meja. Walaupun tingkahnya tak jelas dan terkesan centil, tapi Ibu dari tiga anak itu benar-benar sangat membantu Rini karena hampir setiap ia berkunjung ke rumahnya pasti membawa makanan, entah mentang atau matang.

Namun Rini wajah Rini murung saat melihat botol minyak yang sudah kosong, juga bumbu-bumbu yang hanya tersisa beberapa biji. Ia juga menarik nafas dalam mengingat sudah hampir satu bulan gasnya belum di ganti, itu artinya sebentar lagi pasti akan habis. Rini mengurungkan niatnya memasak dan bergegas masuk ke kamar. Ia mengambil  dompetnya di atas meja dan menghitung beberapa lembar uang sisa hasil upah bekerja di rumah Bu Riyati. Sebenarnya uang tersebut cukup untuk membeli bahan masakan, namun ia mengurungkan niatnya saat mengingat belum membayar iuran listrik juga beberapa kebutuhan sekolah anak-anaknya. 

Rini berbalik dan menyambar ponsel usang yang layarnya sudah retak di beberapa bagian, alat satu-satunya untuk berhubungan dengan suaminya. Ia melempar kasar ponselnya ke atas ranjang saat ia tak menemukan pesan yang ia harapkan, pesan pemberitahuan uang masuk dari bank. Yang lebih membuatnya pusing, suaminya belum membalas pesannya sejak dua hari yang lalu.

Di tengah kekalutan hatinya Rini bangkit kemudian berjalan ke arah lemari. Ia mengambil sesuatu di bawah tumpukan bajunya tepatnya di rak paling bawah. Ia mengeluarkan sebuah tas kecil dan mengeluarkan semua isinya. Lebih dari sepuluh amplop berisi beberapa lembar uang merah yang di berikan seseorang padanya. 

Dengan tangan gemetar Rini mengambil uang dari salah satu amplop tersebut dan membukanya. Dinding matanya menebal tatkala ia menghitung ada lima belas lembar uang berwarna merah, itu artinya jumlahnya lebih dari jatah uang bulanan yang di berikan suaminya. Ia menarik nafas panjang sembari mendongak agar bulir bening dari matanya tak jatuh. Dengan keadaan seperti ini, mungkin sudah saatnya ia melanggar sumpahnya untuk tak pernah memakai uang itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Els Arrow
gemes ama rintul
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status