Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.
Seminggu kemudian ...
"Kamu bener-bener nggak mau nunggu kakakmu pulang dari bulan madu?" tanya Bu Shanty sambil berjalan bersisian di sebelahnya. Gadis itu hanya menggeleng pelan sambil mendorong trolly yang berisi koper dan barang bawaannya yang lain, masuk ke dalam pintu bandara, sementara kedua adiknya, Wanda dan Lydia mengikuti mereka di belakang dengan perasaan sedih, karena hari ini adalah hari keberangkatan sang kakak ke kota Paris.
"Aku 'kan sudah bilang, Bu. Kalau aku harus menyiapkan semuanya di sana dulu. Ya, adaptasilah. Kalau kudu nunggu Kak Bella pulang, sampai kapan? Nanti malah nggak keburu, karena udah mepet waktunya, jadi mending jauh-jauh hari seperti ini, Bu."
"Kamu ini, memang keras kepala, tapi jangan lupa, ya! Begitu sampai di Paris, kamu harus segera hubungi Ibu dan nanti di sana ada anak buah Om Darmais, ayahnya Moreno yang akan ngantar kamu. Kamu bisa minta bantuan sama dia, okay?"
"Iyaa, Bu! Aku ingat, aku nggak bakalan lupa, begitu sampai sana aku pasti akan langsung telpon Ibu, Ibu puas?" sahut Tsabitha sambil menyeringai lebar.
"Kamu ini ...."
Bu Shanti lalu memeluk putrinya dengan perasaan pilu, berat rasanya melepaskan gadis itu yang akan pergi ke kota Paris, Perancis. Kota yang sama sekali belum pernah dikunjungi oleh Tsabitha, karena beberapa kali liburan bareng keluarga, benua biru lah yang belum mereka kunjungi selain Benua Afrika. Keluarga Halim memang lebih prefer untuk liburan domestik, ke beberapa tempat wisata terindah di tanah air selain liburan ke luar negeri.
"Jaga diri kamu baik-baik yaa ...."
"Iyaa, Bu! Ibu juga, ya! Titip salam untuk Bapak." Bu Shanty mengangguk dengan ekspresi wajahnya yang sedih. "Wanda, Lydia! Jaga Ibu baik-baik, ya! Jangan nakal dan nurut sama Ibu!"
"Beres, Kakak!" sahut Lydia mantap.
Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Wanda memeluk kakaknya dengan perasaan sedih. Wanda si anak bungsu jadi mellow dan menangis, saat Tsabitha pamitan dengannya. Wanda merasa berat melepaskan sang kakak yang selama ini selalu menjadi tempat curhatnya. Rasanya untuk tiga tahun ke depan rumah mereka bakalan sepi, karena cuma gadis itu yang mampu membuat rumah keluarga Pak Halim lebih hidup dan berwarna. Wanda bisa membayangkan bagaimana membosankannya rumah mereka tanpa Tsabitha, meskipun ada Lydia, kakak terdekatnya. Namun, Wanda merasa lebih dekat dengan Tsabitha, karena Lydia suka sekali jahil dan menggoda sang adik, sementara Tsabitha selalu bisa menjadi penengah di antara mereka. Itulah mengapa Wanda merasa lebih dekat sama Tsabita, ketimbang Lydia. Maka tak heran, saat gadis itu hendak pergi ke Paris, untuk menuntut ilmu di sana, Wanda lah yang paling sedih.
"Kenapa kamu ini? Kamu nangis? Jangan nangis, heii ... kita 'kan masih bisa video call. Iya, 'kan? Kakak pasti akan selalu menghubungi kamu dan kalau kamu butuh kakak, kamu bisa langsung menghubungi, Kakak. Okay?" Tsabitha berusaha menenangkan adiknya.
Wanda pun mengangguk sambil tersenyum getir dan memeluknya erat. "Tapi rasanya tetap akan beda, Kak. Rumah kita pasti bakalan sepi karena Kakak nggak ada," rajuk Wanda sambil menangis dalam pelukkan kakaknya.
"Hmm ... mulai deh, manja! Udah nggak usah baper gitu! Kasihan Kak Bitha, flight-nya udah hampir mau berangkat tu!" goda Lydia sambil berusaha melepaskan pelukkan Wanda di tubuh Tsabitha yang begitu erat.
"Lydia ... sudah! Biarin aja!" sela Bu Shanty sambil menghentikan usaha Lydia yang tidak membuahkan hasil. Wanda malah semakin merajuk lalu melepas pelukkannya di tubuh Tsabitha dan beralih memeluk Bu Shanti dengan gaya manjanya.
"Ibu, Kak Lydia, Bu ...."
"Iyaaaa, sudah biarin aja kakakmu itu. Makanya mulai sekarang kamu harus belajar dewasa, biar nggak digodain terus sama Kak Lydia." Wanda mengangguk kecil dalam pelukkan sang ibu. Tsabitha dan Lydia saling tersenyum satu sama lain sambil melirik ke Wanda yang mulai kumat manjanya.
"Iya, Wanda ... 'kan masih ada Ibu, Bapak, Kak Bella dan juga Kak Moreno. Iya, 'kan?" sela Tsabitha, "jadi kalau kamu digodain sama Kak Lydia, kamu lapor aja sama mereka, atau bilang sama Kakak, biar nanti kalau Kakak pulang, Kakak rapel hukumannya untuk Kak Lydia, gimana?"
"Iih, Kak Bitha, apaan sih? Masa dirapel, emang aku ini segitu jahatnya sama adikku yang satu ini? Nggak lagi, tapi boong! Hahahaha ..." sela Lydia sambil tertawa geli.
"Tuh, 'kan! Kak! Ibuuu ...." Wanda kembali merajuk dan manja.
"Makanya catat aja semua kejahilan Kakakmu yang satu ini, nanti Kakak rapel hukumannya buat dia, okay?"
Wanda pun tersenyum senang, karena selalu mendapat banyak dukungan, sementara Lydia yang merasa terpojok, cuma bisa menjulurkan lidah keluar dengan gaya jeleknya, menggoda sang adik. Tsabitha berusaha menghibur dan meyakinkan adiknya kalau semuanya tidak seperti yang dibayangkannya selama ini, karena dia yakin kehadiran Moreno di rumah mereka akan memberikan suatu warna tersendiri yang berbeda, khususnya bagi Mabella, kakaknya. Kini saatnya Bella harus berubah, sama seperti dirinya yang juga ingin berubah.
***
Tiga bulan kemudian ...
"Bonsoir, monsieur, Madame. Que voulez-vous commander? (selamat malam, tuan, nyonya ... mau pesan apa?)" tanya Tsabitha pada sepasang pengunjung yang mampir di café Les Philosophes, tempatnya bekerja sebagai pelayan cafe sepulang kuliah.
"Nous voulons commander un menu spécial recommandé par ce café, des suggestions? (kami mau pesan menu yang sangat special yang ada di café ini, ada saran?)" sahut pengunjung itu sambil menoleh ke arahnya yang berdiri di belakang mereka. Tsabitha kaget.
"Ma--... Kak Bella!" teriak Tsabitha senang begitu pengunjung satunya juga ikut menoleh dan menatapnya dengan senyuman yang manis.
"Bitha! Sayang! Apa kabar?" tanya Bella sambil berdiri dan memeluk adiknya dengan penuh haru.
"Aku baik-baik saja, Kak! Kakak kok tahu aku di sini?" sahutnya sambil melepas pelukkan Bella dengan raut wajah yang bingung.
"Kami berdua tadi ke apartemenmu, tapi kata penjaga yang jaga di sana, kamu lagi kerja. Lalu dia kasih alamat kerjamu di sini!" sela Moreno yang sudah berdiri sedari tadi di sebelah gadis itu.
"Iya dan waktu kami ke sini, kami lihat kamu lagi ngelayanin orang. Ya udah, trus, Reno minta tolong salah satu pelayan yang lain untuk nyuruh kamu ngelayanin kami. Iya 'kan, Sayang?"
Moreno mengangguk kecil sambil tersenyum manis, senyuman yang sama dengan dekik di kedua pipi yang sampai saat ini belum bisa Tsabitha lupakan. Gadis itu jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa. "Ya udah, sekarang kalian mau pesan apa? Soalnya aku masih kerja, nggak enak sama bossku!" selanya lagi sambil mulai bersiap untuk mencatat pesanan mereka dengan gadget yang dibawanya sedari tadi, untuk mengalihkan tatapannya ke laki-laki itu, yang membuat dadanya berdesir. Moreno bisa membaca gelagat gadis itu yang salah tingkah di depannya.
"Kamu selesai jam berapa?"
"Iya, jam berapa kamu selesai kerja?" sela Bella yang mengekor pertanyaan suaminya.
"Hmm ... sekitar jam sembilan malam gitu. Kenapa?"
"Ya udah, kami tunggu! Dan pesankan makanan dan minuman yang paling enak di café ini buat kami berdua!" sahut Moreno sambil mengerlingkan sebelah matanya.
"Oh, gitu ...? Ya udah kalau gitu aku pesanin confit de canard dua yaaa, sama--..."
"Itu apaan, Bith?" sela Bella heran, begitu mendengar kata yang asing di telinganya.
"Tenang aja, Kak. Ini halal kok! Ini macem bebek goreng gitu, nanti disajikan sama kentang dan bawang putih. Enak kok!"
"Oooh ... ya udah! Pesen dua ya! Lalu minumnya?" tanya Bella.
"Orange juice aja, dua!" sela Moreno cepat.
"Oke, kalau gitu aku ulangi yaa. Pesan confit de canard dua dan orange juicenya dua!"
"Iya, betul! Oh iya, satu lagi ... dessertnya dong! Iya kan, Sayang?"
Moreno hanya mengangguk kecil saat Bella memanggilnya sayang sambil memegang lengannya. Tsabitha hanya terdiam, entah kenapa ada desiran di dada yang terasa sakit, ketika mendengar sebutan 'sayang' itu keluar dari bibir Mabella.
"Dessertnya apa, Bith?" Suara Bella menggagetkan Tsabitha yang sedikit melamun dan memikirkan kata 'sayang' yang diucapkan kakaknya tadi.
"Eh, dessertnya ... dessertnya crème brulee!"
"Crème brulee ...?" sela Mabella heran.
"Itu seperti kue lumpur--..."
"Jangan ada kata sayang, aku mohon Tuhan, jangan ada kata sayang keluar dari mulut Moreno," batin Tsabitha penuh harap, saat laki-laki itu menjelaskan apa itu crème brulee. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa tidak terima kalau Moreno juga membalas kata sayang ke Mabella.
"Crème brulee itu terbuat dari campuran susu, vanila dan buah-buahan yang dimasak dalam oven. Teksturnya lembut, rasanya juga manis dan segar. Ya sudah, Bith! Kami pesan dua!" ujar Moreno sambil mengacungkan kedua jarinya. Tsabitha pun mengangguk dan menarik napas lega, saat Moreno tidak mengucapkan kata 'sayang' ke Mabella. Ternyata untuk berbuat ikhlas, memang tidak mudah. Meskipun bibirnya bisa mengucap kata ikhlas. Namun, untuk prakteknya tetap saja terasa berat, seperti apa yang dia alami hari ini, saat Moreno kembali muncul di hadapannya.
"Kalau gitu aku ke dalam dulu yaa. Aku siapkan dulu pesanannya!"
Moreno dan Bella mengangguk kecil sambil tersenyum ke Tsabitha. Tanpa menunggu lama, bergegas gadis itu masuk ke dalam café untuk menyampaikan pesanan kedua tamu specialnya ke chef yang mengolah masakan di café itu. Sesaat gadis itu termangu di dapur café sambil memikirkan Moreno yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti, kalau ketemu sama laki-laki itu.
Apa dirinya akan salah tingkah lagi di depan Moreno seperti tadi? Tapi kenapa harus salah tingkah? Bukankah Moreno sudah bukan miliknya lagi? Jadi buat apa dirinya salah tingkah di depan laki-laki ini? Bathin Tsabitha gamang.
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te