Share

2. Kepergok

last update Huling Na-update: 2024-12-01 19:03:42

Sebelum Berpisah

- Kepergok

Siapa perempuan di dalam mobil itu? Kenapa suaminya pulang di antar wanita itu. Ke mana mobilnya? Bukankah tadi malam Hendy pergi ke rumah sakit mengendarai mobilnya sendiri.

Meski suasana masih gelap, Elvira bisa melihat dari kaca jendela depan. Saat lampu dalam mobil di nyalakan, terlihat siapa wanita itu. Hmm, dia lagi. Dokter kandungan yang cukup akrab dengan suaminya. Apa mereka pacaran?

Elvira buru-buru ke belakang saat Hendy melangkah ke rumah. Seperti biasa dia sibuk menyiapkan sarapan. Memasak itu wajib, karena Hendy tidak suka makan di luar. Dia juga memberikan uang bulanan yang tidak sedikit pada istrinya.

Terdengar pintu kamar dibuka kemudian ditutup. Elvira lega dan melanjutkan menggoreng nugget.

Sejenak kemudian tiba-tiba Elvira memekik kaget saat Hendy berdiri menjulang tidak jauh darinya. "Ngagetin aja sih, Mas." Napas Elvira sampai ngos-ngosan. Ditambah lagi dengan bau obat-obatan. Dia benci dengan bau obat.

Inilah salah satu alasan kenapa Elvira menolak Hendy. Dia benci bau rumah sakit, benci bau obat, tapi tidak benci jarum suntik. Kalau sakit lebih baik disuntik daripada disuruh minum obat. Aneh, kan? Dan Bisa-bisanya ayah dan kakaknya menjodohkan dia dengan lelaki yang berhubungan erat dengan apa yang dibencinya. 'Mereka benar-benar ingin membuatku gila.'

Hendy memeriksa termos. Ternyata kosong. Diambilnya panci untuk merebus air.

"Oh, aku belum ngisi termos. Bentar, aku rebusin air." Dengan gugup, Elvira mengambil panci dari tangan Hendy. "Mas, bisa tunggu di meja makan," perintahnya tanpa memandang sang suami.

"Kamu menyuruhku duduk di meja makan?"

"Bukan. Ya duduk di kursinya-lah."

"Aku tunggu di sini."

"Mas, ganti baju dulu. Aku nggak tahan bau obat."

"Aku ingin segera minum air hangat."

"Nanti kuantar."

Hendy tetap duduk di kursi dapur. Tidak mempedulikan Elvira yang berdecak jengkel sambil menutup hidung.

"Kamu nggak bisa mengaturku, Elvira. Seperti aku yang kamu larang mengatur apa yang ingin kamu lakukan. Begitu kan yang kamu bilang disaat selesai ijab kabul."

Elvira mematung. Dia akan tersiksa kalau begini. Kabur lagi hanya akan menambah masalah lebih besar. Apalagi karirnya sangat bagus. Dia sudah dikenal sebagai desainer muda yang berbakat dan jadi idola.

Bertahan? Lalu sampai kapan.

"Mas, bisa nggak kita ubah peraturan." Elvira berkata tanpa memandang suaminya. Karena tatapan mata Hendy selalu tajam bak mata elang yang hendak menyambar.

"Maksudmu?"

"Kalau pulang dari rumah sakit, Mas harus segera ganti baju."

"Bukankah kamu harus membiasakan dengan bau-bau seperti ini? Sudah dua bulan kita tinggal serumah."

"Sebagai konsekwensinya, Mas bisa mengajukan keberatan dengan apa yang aku lakukan dan tidak Mas sukai."

"Oke. Tidak usah pakai jilbab kalau di rumah. Kamu harus menyiapkan baju kerjaku. Kamu tidak boleh masak jengkol, petai, ikan asin, atau pindang karena aku tak suka. Kamu tidak usah ...."

"Banyak banget sih, Mas. Padahal aku cuman minta satu saja." Protes Elvira dengan bibir cemberut.

"Kalau gitu kamu pilih salah satu. Mana yang ingin kamu lakukan."

Elvira diam. Melepas jilbab kalau di rumah jelas tidak mungkin. Dia harus berbusana rapi, tertutup, pokoknya jangan sampai ada celah kulitnya terekspos kecuali wajah dan telapak tangan. Kaki tidak masalah kelihatan. Kan dia tidak sedang salat.

Tidak boleh masak jengkol, petai, goreng ikan asin atau pindang? Oh, tidak. Itu makanan favoritnya. Dia bisa memulihkan selera makannya kalau ada lauk itu. Bahkan nasi dua piring bisa amblas. Eh, ya tidak segitunya kali.

Menyiapkan baju kerja? Oh, mana bisa. Bagaimana kalau bau obat itu masih ada. Hmm, rasanya tidak mungkin. Baju-baju Hendy yang di laundry selalu kembali dalam keadaan wangi.

Ya Tuhan, pernikahan macam apa ini. Bukankah dunia mereka sungguh berbeda. Kenapa bisa sampai terikat hubungan sakral begini.

"Baiklah, kupilih menyiapkan baju kerja," pilih Elvira seraya menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam gelas.

Hendy mengambil dan membawanya ke kamar.

Elvira hanya memandang sekilas tanpa bertanya. Yang penting ia menyiapkan sarapan seperti biasa, lalu bersiap-siap berangkat kerja.

Dia tidak mengurusi Hendy dengan membangunkannya. Lelaki itu punya alarm sendiri. Yang penting baju kerjanya sudah disiapkan di sofa depan pintu kamar.

Selesai masak, Elvira sekalian membereskan dapur. Kemudian sarapan, mandi, dan berdandan.

Saat keluar kamar, ia melihat ponselnya Hendy yang di charge di meja pojok ruang tengah berpendar. Elvira tidak peduli. Dia memeriksa map di tangannya. Ketika hendak bangkit, ponsel sang suami kembali menyala.

"Bagaimana kalau itu panggilan darurat dari rumah sakit?"

Elvira mendekati meja. Ada nama dokter Herlina tertera di layar. Hmm, dia lagi. Bodo amat. Kemudian Elvira pergi. Biar saja. Dia tidak punya urusan dengan wanita itu.

Eh, tapi. Dia sepertinya menaruh hati pada Hendy. Kelihatan sekali dari tatapan matanya saat memandang sang suami. Namun dokter itu pun ramah jika bertemu dengannya. Ish, bodo amat.

Elvira memakai helm kemudian melaju meninggalkan rumah. Jarak kantor dan rumah hanya sepuluh menit perjalanan. Tapi Surabaya yang selalu macet ini, sering membuat perjalanannya terhambat.

Baru saja duduk di kursinya. Ponsel berdenting. Ada pesan masuk dari Rizal.

[Kenapa teleponku nggak diangkat, El. Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Happy Birthday, El. Gimana kabarmu? Sehat selalu, ya. Wish you all the best. Hadiahnya sudah kukirim ke alamat kantormu. Hari ini kalau nggak besok pasti sampai.]

Jantung Elvira berdegup kencang. Netranya pun berkaca-kaca. Ternyata Rizal yang ia kecewakan masih ingat hari ulang tahunnya. Kekasih yang tidak pernah mendapatkan restu dari keluarga Elvira.

Ayah, kakak-kakaknya, keponakannya, semua lupa tentang hari ini. Hendy? Dia mana tahu. Dan Elvira tidak berharap akan mendapatkan ucapan darinya.

Diketiknya balasan untuk Rizal.

[Makasih banyak, Riz. Kamu masih peduli sama aku.]

[Aku nggak pernah melupakanmu. Minggu depan aku pindah ke Surabaya, El.]

[Oh, ya?]

[Iya. Nanti kusambung lagi. Aku mau meeting dulu.]

Elvira mematung sejenak. Lelaki itu ....

Sebenarnya mereka tidak pernah ada kata putus. Berlalu begitu saja. Rizal berangkat ke Jakarta dan ia menikah dengan Hendy. Entah sampai kapan pernikahan tidak jelas ini bertahan. Dinyalakannya laptop dan ia mulai bekerja.

***L***

Meski matahari sudah nyaris tenggelam di langit barat, tapi suasana masih juga gerah. Apalagi di jalanan begini. Debu, asap kendaraan, berbaur menyesakkan pernapasan. Namun Elvira sudah terbiasa, karena sejak kecil dia mengalami hal ini.

Saat berhenti di lampu merah, ia menoleh ke samping. Itu mobil dokter Herlina. Apa suaminya ada di dalam sana?

Next ....

Selamat Membaca 🥰

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
hadeh Hendy kalo km dah nikah kok ya Mash bisa seenaknya ma perempuan lain ya..pulang di anter LG..
goodnovel comment avatar
Syarifa Kalsum
hadir lagi di karyamu author paling top
goodnovel comment avatar
Nurhayati
mau di bawa kemana pernikahan mereka?
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • SEBELUM BERPISAH   194. Pernikahan 3

    Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men

  • SEBELUM BERPISAH   193. Pernikahan 2

    Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se

  • SEBELUM BERPISAH   192. Pernikahan 1

    SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga

  • SEBELUM BERPISAH   191. Satu Momen di Surabaya 3

    Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri

  • SEBELUM BERPISAH   190. Satu Momen di Surabaya 2

    Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida

  • SEBELUM BERPISAH   189. Satu Momen di Surabaya 1

    SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h

  • SEBELUM BERPISAH   188. Serius 3

    "Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk

  • SEBELUM BERPISAH   187. Serius 2

    "Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami

  • SEBELUM BERPISAH   186. Serius 1

    SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status