Home / Romansa / SEBELUM BERPISAH / 1. Perjodohan

Share

SEBELUM BERPISAH
SEBELUM BERPISAH
Author: Lis Susanawati

1. Perjodohan

last update Last Updated: 2024-12-01 19:03:09

Sebelum Berpisah

- Pernikahan yang Diatur

"Mas, kenapa berkeliaran nggak pakai baju." Spontan Elvira membalikkan badan menghadap tembok.

"Kenapa? Salah, ya. Aku hanya nggak pakai baju. Bukan nggak pakai celana."

"Iya, tapi ...."

"Aku di dalam rumahku sendiri, Elvira."

"Iya, iya. Aku tahu ini rumahmu. Aku cuman numpang di sini. Nyebelin banget, sih." Perempuan bernama Elvira jengkel.

"Lagian kamu kan istriku, ngapain juga senewen gitu."

"Istri?."

"Oke, kamu ingin menjadi istri yang sebenarnya."

"Stop!" Elvira memekik saat merasakan kalau suaminya menghampiri. "Aku mau kerja." Tergesa wanita yang memakai bergo warna peach itu masuk ke kamar dan menguncinya.

Baru dua bulan saja rasanya seperti ini. Bagaimana untuk seterusnya. Pernikahan mereka sah di mata agama dan hukum negara. Keluarga, rekan kerja, teman, dan orang-orang di luar sana tahunya mereka seperti pasangan pada umumnya. Padahal hidup sendiri-sendiri. Pernikahan macam apa ini. Apakah setiap orang yang dijodohkan juga menjalani rumah tangga konyol seperti ini?

Karena itulah alasan Elvira menentang perjodohan.

Elvira kembali sibuk dengan kertas-kertas dihadapannya. Sebagian sudah ada coretan membentuk sebuah pola. Dia memang desainer baju muslimah. Yang bekerja pada sebuah perusahaan.

Hausnya. Diurut pelan leher yang sejak tadi kehausan. Dia keluar hendak mengambil air minum. Eh, malah melihat Hendy bertelanjang dada. Laki-laki itu memang tidak ada malu-malunya. Eh, ngapain malu. Ini rumah dia, kan? Kamu hanya penumpang, El.

Gerah sekali cuaca malam itu. Mana AC di ruangannya rusak.

Elvira memakai kembali bergonya yang tadi di lepas. Dia sudah tidak tahan dan ingin segera minum. Perlahan dibukanya pintu dan mengintip keluar. Lampu utama sudah dimatikan. Hanya lampu malam kekuningan yang menjadi penerang. Menjadikan ruangan itu remang-remang.

Lega. Hendy pasti sudah masuk kamar. Elvira melangkah ke ruang makan sambil melepaskan bergonya. Dia duduk sambil menikmati segelas air putih. Selesai langsung buru-buru kembali ke kamar sambil membawa sebotol air. Malam ini harus lembur menyelesaikan desainnya.

Wanita itu berjingkat kaget saat mendengar benda jatuh dipojok ruangan. Ternyata Hendy masih duduk di sana. Buru-buru Elvira memakai kembali bergonya dan masuk kamar. Rupanya sang suami belum tidur. Kenapa saat keluar tadi, dia tidak menyadari kalau Hendy ada di sana.

Ah, Elvira tidak bisa konsentrasi lagi. Capek. Idenya buntu. Entahlah. Mungkin karena sekarang keseringan melihat Hendy tidak memakai baju. Ish, El. Ngelantur kamu ya. Bukankah kamu tidak tertarik sama dia?

Elvira menatap langit-langit kamar. Ingat kejadian beberapa hari sebelum pernikahan.

"Kamu cari masalah, Elvira. Pernikahanmu tinggal seminggu lagi dan sekarang kamu mau kabur? Jangan gila, deh. Kamu akan mempermalukan keluarga kita." Hasna terlihat marah sekaligus kebingungan melihat adik iparnya mengemas baju ke dalam ransel.

"Aku sudah nolak, tapi ayah memaksa. Mengancam ini itu dan akhirnya membuatku pasrah. Tapi aku nggak bisa nikah sama dia."

"Hei, dia bukan pria buruk rupa. Dia dokter anastesi, kamu tahu!"

"Nggak peduli aku, Mbak. Seumur hidup itu lama. Aku nggak tahu banyak siapa Hendy."

"Tolong deh, jangan kabur. Aku harus jawab apa kalau ayah tanya, Mas Arman tanya. Aku yang bersamamu sekarang." Hasna panik bukan main sampai netranya berkaca-kaca.

Melihat sang kakak ipar kebingungan, Elvira duduk di tepi pembaringan. Hasna sudah seperti ibu baginya. Sang ibu meninggal saat Elvira masih kelas lima SD. "Baiklah!" jawabnya pelan.

Namun keesokan harinya, rumah Pak Azman heboh. Elvira benar-benar kabur disaat persiapan pernikahannya sedang dibuat. Keluarga kebingungan.

"Kamu gila, El. Pakai acara kabur segala. Bolak-balik aku di telepon sama kakak-kakakmu. Kalau mereka tahu kamu di kosanku, habis aku, El." Ranti, sahabatnya ikut panik.

"Mereka pasti nggak percaya kalau aku bilang nggak tahu. Kamu akan mempermalukan keluargamu. Kamu nggak kasihan sama ayahmu?"

"Ayahku, Mas Arman, selalu memaksakan kehendak mereka." Elvira menunduk sedih. "Mereka yang menyebabkan aku putus dari Rizal, Ran."

"Tapi bukan begini caranya. Harusnya sejak awal kamu kekeh menolak. Kamu nggak mikir karirmu apa. Orang pada susah nyari kerja, kamu malah kabur. Mbak Angel juga neleponin aku nanyain kamu di mana? Terus aku mau jawab apa."

Hening. Hingga dering ponsel Ranty memecah kebisuan. "Nah, lihat nih. Mas Arman nelepon aku lagi." Ranty menghela napas panjang.

"Nggak usah dijawab, Ran."

"Nggak usah dijawab gimana. Sudah dua kali aku abaikan teleponnya hari ini. Bentar mau kuangkat."

Ranty mepet ke tembok, tepat disebelah sahabatnya. Menjawab panggilan dengan mengaktifkan loud speaker.

"Hallo, assalamualaikum, Mas Arman."

"Waalaikumsalam. Ini Mbak Hasna, Ran."

"Oh, iya, Mbak."

"Kamu belum dapat kabarnya El?"

"Belum, Mbak."

"Ya ampun. Ke mana anak itu perginya. Tinggal empat hari lagi dia nikah, Ran. Kalau dia nggak mau pulang, mau ditaruh mana muka keluarga. Tega banget sih Elvira. Mbak yang ditekan terus sama Mas Arman." Hasna bicara sambil menangis.

"Apa keluarga dokter Hendy sudah tahu, Mbak?"

"Belum. Tapi ayah bilang, kalau besok El nggak ditemukan, lusa kami sekeluarga akan ke rumah Pak Bakti untuk membatalkan pernikahan. Mbak nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi lusa. Ya udah, Ran. Kalau ada kabar tentang Elvira, kasih tahu ke Mbak saja. Jangan ke Mas Arman. Biar Mbak yang nyamperin El dulu. Mbak takut kalau Mas Arman akan mengamuk sama dia."

"I-iya, Mbak," jawab Ranty gugup.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Apa kamu nggak kasihan sama Mbak Hasna, El. Dia itu cuman ipar, tapi sayang banget sama kamu." Ranty menghela nafas berat. "Entahlah, aku nggak tahu mau ngomong apalagi." Gadis itu berbaring di ranjang dan menarik selimut.

"Baiklah, aku akan pulang." Elvira bicara setelah diam cukup lama.

"Pulanglah, El. Sebelum keluarga calon suamimu tahu kalau kamu minggat dari rumah. Kamu harus jaga nama baik keluargamu." Ranty ikut lega dengan keputusan sahabatnya. Meski itu sangat terpaksa.

Dan malam itu, Elvira pulang ke rumah naik taksi. Kalau tidak dilindungi oleh Hasna dan Amar, Elvira sudah dihajar oleh Arman.

Tiga hari kemudian pernikahan megah dilaksanakan. Elvira harus dipaksa tersenyum untuk menunjukkan kalau dirinya bahagia.

Sekarang, di sinilah dia berada. Menjadi istri dari dr. Hendy Zain Brawijaya, Sp.An. Lelaki dengan tinggi badan di atas rata-rata, yang irit bicara tapi sangat menyebalkan. Dokter yang terkandang masih sempat merokok meski sangat jarang.

Elvira menghela napas panjang. Kemudian menajamkan pendengaran saat ada suara pintu depan di buka. Dia tidak heran lagi selama dua bulan ini. Sebagai dokter anestesi, Hendy memang terkadang pergi ke rumah sakit tengah malam kalau ada pasien gawat darurat yang harus dioperasi segera. Sebab dia merupakan bagian dari tim bedah yang bekerjasama dengan dokter bedah dan perawat.

"Hati-hati aja, El. Lengah dikit bisa nggak sadar kamu karena dibius oleh suamimu." Candaan Ranty terkadang membuat Elvira bergidik. Walaupun itu tidak mungkin dilakukan oleh Hendy. Untuk apa juga, lelaki itu tidak menunjukkan ketertarikan terhadapnya.

Benar saja, Hendy pasti pergi ke rumah sakit. Elvira mendengar mobilnya yang meninggalkan garasi. Mereka dari dunia yang berbeda, tapi terjebak dalam pernikahan yang diatur keluarga.

Baru saja Elvira memejam. Ponselnya berdering. Rizal menelepon?

Next ....

Selamat datang dikisahnya Elvira, manteman. Jangan lupa tap ❤️ ya.

Selamat Membaca 🥰

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (14)
goodnovel comment avatar
Eka Vesa Longa
salam kenal ya kk Thor ..
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
mampir sini ..baca yg ini dulu ...
goodnovel comment avatar
Thias Ni Mulan
seru kayaknya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SEBELUM BERPISAH   194. Pernikahan 3

    Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men

  • SEBELUM BERPISAH   193. Pernikahan 2

    Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se

  • SEBELUM BERPISAH   192. Pernikahan 1

    SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga

  • SEBELUM BERPISAH   191. Satu Momen di Surabaya 3

    Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri

  • SEBELUM BERPISAH   190. Satu Momen di Surabaya 2

    Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida

  • SEBELUM BERPISAH   189. Satu Momen di Surabaya 1

    SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h

  • SEBELUM BERPISAH   188. Serius 3

    "Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk

  • SEBELUM BERPISAH   187. Serius 2

    "Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami

  • SEBELUM BERPISAH   186. Serius 1

    SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status