SEBELUM BERPISAH
- Trauma Setakut itu dia? Dengan jelas Hendy melihat wajah pucat dan mata berembun milik istrinya. Ia yakin ini bukan ketakutan biasa. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. "El, kamu tidak harus minum obatnya. Yang penting kamu periksa. Biar tahu separah apa sakitmu." Hendy bicara dengan nada lembut. Saat itu mereka sudah duduk di ruang tunggu tempat praktek seorang dokter umum. Hendy bisa merekomendasikan obat untuk istrinya. Namun melihat kondisi Elvira seperti itu, lebih baik dibawa ke ahlinya. Sudah terlanjur siang mereka berangkat tadi, antrian banyak dan mereka harus sabar menunggu. "Bentar, aku belikan roti dan air minum." Hendy bangkit dari duduknya dan menyeberang jalan ke toko depan sana. Ketika Hendy pergi, ponsel Elvira berdering. Hasna menelepon. Dia memang sepeduli itu pada adik iparnya. "Halo, Assalamu'alaikum, Mbak Hasna." "Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?" "Aku lagi antri periksa. Maagku kambuh, Mbak." "Ya Allah. Sejak kapan? Pasti asam lambung itu, El. Kamu pasti sering begadang dan banyak pikiran," tebak Maya yang sudah begitu hafal dengan kebiasaan Elvira. "Kamu ada masalah? Kamu dan Hendy baik-baik saja, kan?" "Iya. Mungkin karena aku terlalu capek, makanya asam lambungku kambuh. Maaf kalau udah lama nggak nelepon Mbak Hasna. Kabar Mbak, Mas Arman, dan anak-anak baik-baik saja kan?" "Alhamdulillah, sehat. Siang ini kami mau ke rumah ayah. Nanti mbak mampir ke rumahmu." "Hu um," jawab Elvira pelan. Dalam kondisi seperti ini, dia belum menginginkan orang lain tahu kondisi rumah tangganya. Baru dua bulan. Ia tidak ingin membuat kekacauan lagi. "Ya udah. Kamu berobat dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." "Siapa yang telepon?" tanya Hendy yang begitu cepat sudah kembali di sebelahnya. "Mbak Hasna." "Makan rotinya. Dikit-dikit saja biar perutmu tidak kosong." "Makasih." Elvira menerima sebungkus roti dan sebotol air mineral. Maskernya dilepas supaya bisa minum. Hendy mengambil lagi botol saat Elvira kesulitan membuka segelnya. "Makasih." Saat air minum dikembalikan padanya. Setelah penantian yang panjang, akhirnya tiba giliran Elvira dipanggil masuk. Tanpa minta izin, Hendy ikut masuk. Seorang dokter wanita setengah baya tersenyum dan menyapa Hendy. Meski tidak akrab, mereka saling kenal. "Mbak ini istrinya, Dok?" "Ya, Dokter Eri. Ini Elvira istri saya." Elvira mengangguk dan tersenyum dibalik maskernya. Mereka tidak berbasi-basi terlalu lama karena banyak pasien yang mengantri. Hendy meminta dokter untuk memasukkan obat lewat injeksi saja, karena Elvira susah minum obat. "Nggak ada orang yang suka minum obat, Mbak Elvira. Tapi coba agak dipaksa biar lekas sembuh. Suaminya dokter loh, pasti tiap hari bau obat, kan?" Saat dilakukan pemeriksaan, Hendy tetap duduk di kursi tanpa memandang ke atas brankar. Dia menunggu sampai selesai. Tembok tak kasat mata dibangun Elvira dua hari setelah mereka sah menikah. Hendy sempat melihat rambut istrinya yang hitam pekat, panjang, dan tebal. Setelah itu Elvira menutup diri dan menjaga batasan. Dokter Eri menjelaskan sakitnya Elvira pada Hendy. Asam lambung bukan maag. Asam lambung karena asam lambung itu sendiri. Dan masih ada beberapa penjelasan lainnya. "Kalau obatnya habis, bisa kontrol lagi jika belum membaik. Tapi saya doakan sembuh sebelum obat habis." "Terima kasih, Dok." Hendy menyalami dokter Eri, begitu juga dengan Elvira. Lantas keduanya langsung pulang. Dalam perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Elvira bersandar pada jok mobil dan memejam. Masker masih menutupi sebagian wajahnya. "El, diminum obatnya. Pelan-pelan saja. Kalau sakitmu tak kunjung sembuh. Kamu mesti harus opname." Hendy bicara pelan saat mereka duduk di kursi meja makan. Dia pun harus mengontrol kesabaran, karena yang dihadapinya perempuan keras kepala yang tengah sakit. "Kalau kamu nggak bisa minum pakai air, kubelikan pisang." Elvira menggeleng. Dulu ia pernah menelan obat pakai pisang, yang ada obat itu malah ikut tergigit dan dia muntah-muntah. Elvira membuka kresek obat. Mengeluarkan satu per satu pil yang harus diminum, meski rasanya sudah mau muntah melihat obat seukuran kapsul. Hendy mengambilkan air minum. Pil kecil pertama lolos meski harus di dorong air berulang kali karena menyangkut di tenggorokan. Pil kedua dimuntahkan kembali ke atas meja. Elvira sampai berkeringat dingin. Hendy mengambil lap. "Biar kubersihkan sendiri, Mas." "Nggak apa-apa," tolak Hendy. Dia yang sudah terbiasa menghadapi pasien, mana ada jijik dengan semua itu. "Jangan, biar aku saja." Elvira mengambil paksa lap dari tangan suaminya. Kemudian membersihkan meja. Untungnya yang keluar cuma air dan pil. Sarapan tadi pagi tidak ikut dimuntahkan. "Nanti saja kuminum lagi obatnya." Elvira meraih kresek obat setelah menaruh lap di keranjang cucian dan mencuci tangan. Dia hendak ke kamar. "Kamu ingin cerita padaku? Aku yakin ini bukan hal biasa. Mungkin ada yang menyebabkan kamu trauma dengan obat dan rumah sakit?" Elvira yang hendak ke kamar, akhirnya kembali duduk. Lebih baik memang cerita saja. Daripada dituduh membuat drama. "Bertahun-tahun ibuku sakit melawan kanker. Usiaku baru sembilan tahun saat beliau benar-benar parah. Aku yang setiap hari bersamanya karena ayah sibuk di kantor dan kedua kakakku sekolah full day." Mata Elvira berkaca-kaca. "Aku yang baru sembilan tahun, melihat semuanya. Dari kesakitan, puluhan jenis obat yang harus di konsumsi, belum lagi keluar masuk rumah sakit untuk pemeriksaan dan opname. Aku selalu bersamanya karena ibu nggak ingin jauh dariku. Ayahku bilang, aku harus mendampingi. Siapa tahu dengan kehadiranku, bisa menunjang kesembuhannya. Ibu sangat menyayangiku. "Tapi ibu pergi juga." Elvira menangis. Hendy mengambilkan tisu dan duduk lebih mendekat. Elvira menarik napas panjang untuk melonggarkan dadanya. Ulu hati kian terasa perih. "Bau obat ditubuh ibu, rasanya masih tercium sampai sekarang. Setelah ibu pergi, nggak ada lagi yang mendekapku jika listrik mati. Nggak ada teman bercerita atau bermanja. Mak Imah pun sudah lelah setelah seharian mengurus rumah. Mak Imah yang sudah lama ikut kami pun, sangat kehilangan saat ibu pergi. Ayah terpukul. Walaupun beliau suka memaksakan kehendak, tapi bagiku ayah lelaki yang hebat. Nggak pernah menghadirkan wanita lain meski istrinya sakit, bahkan setelah enam belas tahun ibu tiada. Ayah memilih tetap sendirian." Hening. Hendy turut merasakan kesedihan itu. Benar. Trauma itu ada sebabnya. Cukup itu saja yang perlu Hendy tahu. Perutnya semakin perih jika ia mengingat semuanya. Tahu banyak pun percuma, sepertinya pernikahan mereka tidak akan bertahan lama. Instingnya sebagai seorang istri mengatakan, ada wanita lain di antara mereka. Diambilnya kresek obat. "Aku ke kamar dulu." "Aku mau keluar beli bubur untukmu. Jangan makan nasi dulu." Elvira masuk kamar, Hendy meraih kunci di meja. Namun ketika membuka pintu, ada mobil baru saja berhenti tepat di depan pagar rumah. "Mama." Pasti datang bersama papanya. Mungkin mereka mengira kalau Elvira benar-benar hamil. Next .... Selamat Membaca.Ingat bagaimana dulu mereka berjuang untuk sampai ke tahap sekarang. Tentang bagaimana mereka melawan konflik dalam batin, Hendy yang memperjuangkan pernikahan supaya bisa tetap bertahan, dan bagaimana Elvira berusaha melupakan kisah lama yang baginya sangat sempurna. Rizal yang masih sanggup mempertaruhkan keselamatannya demi Elvira. Sungguh kisah cinta yang rumit. Memang benar, kunci sebuah hubungan ada pada suami. Sekuat apapun Elvira berontak, jika Hendy berpendirian teguh, perceraian tidak akan pernah terjadi. "I love you," bisik Hendy menatap lembut sang istri. "I love you too," balas Elvira sambil tersenyum. Disaat mereka berpandangan mesra, Keenan dan Kirana tiba-tiba berebutan untuk memeluk. Kirana langsung naik ke pangkuan sang papa, sedangkan Keenan memeluk mamanya. ***L*** Angin siang bertiup pelan, menggerakkan tirai jendela rumah Herlina. Suasana di dalam rumah terasa tenang. Musik instrumental mengalun lembut dari ruang dalam. Herlina duduk di meja makan, men
Bu Karlina tampak canggung. Ada rasa malu yang membelenggu perasaannya. Namun diam-diam, ia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Di depan mata sendiri, ia ditunjukkan betapa orang-orang yang ia sakiti hidup bahagia berkecukupan. Bahkan putrinya sendiri yang selama ini ia sia-siakan, mendapatkan pasangan yang sempurna.Pak Kuswoyo duduk di sofa seberang, memperhatikan mantan istrinya yang tampak canggung. Kemudian memandang ke arah Herlina. "Bagaimana acara pernikahannya Agnes? Semua berjalan lancar?" tanyanya, memecah keheningan."Alhamdulillah, lancar, Pa," jawab Herlina.Setelah beberapa jam berbincang, Herlina dan Bu Karlina berpamitan. "Kamu juga harus memikirkan tentang pernikahan, Her. Papa menunggumu untuk datang mengenalkan calon suami." Sambil melangkah ke depan, Pak Kuswoyo bicara pelan pada putrinya. Herlina mengangguk.Sopir keluarga mengantar mereka ke bandara. Dalam perjalanan, Bu Karlina terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Se
SEBELUM BERPISAH- Ekstra PartJogjakarta ...."Mbak, jadi pulang ke Surabaya pagi ini?" tanya Agnes setelah masuk ke kamar yang ditempati mama dan kakaknya.Malam itu mereka menginap di rumah Pak Beny, papanya Aryo. Dan rumah itu yang selama ini ditinggali oleh Aryo. Karena Banyuaji sudah punya tempat tinggal sendiri. Nanti setelah usai acara pernikahan, papa dan mamanya Aryo kembali ke Jakarta.Mereka yang memegang kantor di Jakarta, juga sudah menetap di sana."Kami mau mampir dulu ke rumah Papa Kuswoyo, Nes." Sambil berkemas, Herlina memandang sang adik yang tampak lelah. Lelah karena seminggu ini mempersiapkan acara pernikahan yang padat, juga mungkin karena semalam adalah malam pertama bagi Agnes dan suaminya. Hmm ... rambut adiknya terlihat masih belum seberapa kering.Kemarin memang acara resepsi ngunduh mantu yang diselenggarakan secara megah di hotel berbintang. Dilanjutkan dengan acara keluarga di rumah orang tuanya Aryo yang ada di Jogja. Agnes sungguh beruntung. Keluarga
Dua bulan kemudian ....Langit Surabaya begitu cerah pagi itu, seolah turut merayakan momen bahagia yang tengah berlangsung di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Dekorasi berwarna emas dan putih mendominasi ruangan, menciptakan suasana elegan nan hangat. Hari ini adalah hari pernikahan Agnes dan Aryo.Setelah melangsungkan acara lamaran satu bulan yang lalu di rumah Pak Danu, hari ini menjadi momen kebahagiaan mereka dalam ikatan yang sah.Jam delapan pagi tadi, acara ijab qobul berjalan sangat khidmat.Sekarang Agnes dan Aryo bak raja sehari, duduk di pelaminan yang megah. Mengenakan busana pengantin Paes Ageng. Aryo tampak gagah dengan busana dada terbuka dan kepala yang dihiasi oleh Kuluk Kanigaran. Sedangkan Agnes menggunakan kemben dan kalung sungsun.Aryo di dampingi papa dan mamanya, sementara Agnes di dampingi Bu Karlina yang berdiri tepat di sebelahnya, lalu Herlina, Bu Danu, dan Pak Danu. Pria itu tetap memberikan kesempatan pada mantan istri untuk mendampingi putri
Mendengar itu, dada Agnes berdebar hebat. Merasa malu sekaligus terharu. Ia tahu Aryo serius, tapi mendengar langsung pernyataan cintanya di hadapan sang papa dan mama tirinya, membuat wajah Agnes serasa menghangat karena malu."Saya serius, Pak. Saya sudah menunggu empat tahun untuk bisa datang ke Surabaya bertemu dengan Bapak." Jawaban Aryo yang membuat Agnes kian terharu sekaligus tersanjung.Pak Danu tersenyum bahagia, tampak puas dengan jawaban Aryo. Lelaki yang mencintai putrinya bukan pria sembarangan. Sosok keturunan ningrat yang jelas masa depannya. Dalam hati sangat bersyukur, anak yang menderita batin sejak kecil, kini mendapatkan calon suami yang benar-benar mencintainya."Baiklah. Saya tunggu keluargamu datang untuk melamar." Pak Danu pun tidak terlalu banyak berbasa-basi. Gestur Aryo sangat terbaca jelas, bagaimana dia sangat serius dengan putrinya.Aryo mengangguk. "Ya, Pak. Saya akan mengabari secepatnya."Selesai mereka bicara dengan Pak Danu dan istrinya, Agnes tida
SEBELUM BERPISAH- Satu Momen di Surabaya "Aku hampir nggak pernah bertemu dengan ketiga kakakku dari papa," gumam Agnes."Terakhir aku bertemu mereka sudah lama sekali. Waktu aku datang ke rumah ini untuk menjenguk papa yang tengah sakit. Lama banget itu. Enam atau tujuh tahun yang lalu. Aku masih kuliah.""Mungkin kali ini juga menjadi kesempatanmu untuk bertemu dengan mereka," ujar Aryo.Agnes menghela nafas panjang. Menata hatinya yang kalang kabut. Tidak pernah datang, tiba-tiba ke sana dengan mengajak seorang laki-laki."Kita turun sekarang?""Ya," jawab Agnes sambil menata blouse yang ia pakai. Menyelipkan rambut di belakang telinga. Lantas membuka pintu mobil bersamaan dengan Aryo.Mereka mendekati pagar, Agnes menelpon sang papa. "Aku sudah di depan, Pa," ucapnya setelah panggilan dijawab. "Masuk saja. Papa tunggu di dalam," jawab Pak Danu.Agnes kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Kita masuk, Mas!"Aryo mengikuti Agnes yang membuka pintu pagar. Mereka melangkah di h
"Sudah empat tahun. Sejak aku mulai bekerja di sini. Dia juga baru tinggal di Jogja tujuh tahunan. Sebelumnya tinggal di Jakarta.""Kamu sudah menceritakan tentangmu padanya?""Sudah.""Dia nggak menjauhimu. Berarti dia bisa menerimamu. Aryo sudah cukup jelas menunjukkan keseriusannya. Minta ke dia untuk memberitahu orang tuanya tentang kamu, Nes."Hening kembali. Mungkin sebenarnya orang tua Aryo sudah tahu. Yang dipikirkan Agnes sekarang memang kakaknya. Dia berharap Herlina menikah lebih dulu.Herlina memandang sang adik. Apa yang membuat adiknya minder, bukankah papanya orang berada. Kakak-kakak yang seayah dengan Agnes juga sukses semua. "Jangan tunggu mbak. Usiamu sudah dua puluh delapan tahun, Nes."Agnes memandang kakaknya sekilas. Kembali mereka terdiam hingga denting ponsel membuat Agnes meraih benda pipih di nakas sebelahnya.[Jam berapa besok kalian mau berangkat ke Surabaya?][Pagi, Mas. Jam 6 berangkat dari sini.][Oke. Setengah enam aku sampai di kosanmu. Pakai mobilk
"Aku sudah lama sekali memaafkan semuanya. Kamu nggak perlu merasa bersalah lagi. Hidup ini terlalu singkat untuk menyimpan dendam. Herlina dan aku serta adik-adiknya juga sudah bisa bertemu dan berkomunikasi dengan baik. "Semua permasalahan sudah berlalu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku bersyukur kita bisa bertemu seperti ini dalam keadaan masih sehat."Kita hanya manusia. Nggak ada yang sempurna. Semoga kita bisa menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi di sisa usia kita."Mendengar itu, Bu Karlina tersentuh, terharu, dan malu. Sebisa mungkin menahan air matanya supaya tidak jatuh.Herlina yang duduk di samping ibunya ikut terharu melihat momen itu. Sebenarnya sang papa adalah pria penyabar sejak dulu. Namun Herlina menutup mata disaat doktrin sang ibu sangat mendominasi dikala masa pertumbuhannya.Sekarang setelah berpuluh tahun, lelaki itu begitu legowo memberikan maafnya.Sedangkan Bu Fatimah hanya menjadi pendengar. Dia tidak boleh ikut campur urusan masa lalu suami
SEBELUM BERPISAH- Serius "Kamu saja yang nemui papamu, Her. Mama nggak usah." Bu Karlina tidak percaya diri bertemu dengan mantan suaminya. "Ma, bukannya ini kesempatan yang bagus. Mama bisa bertemu Papa dan meminta maaf atas apa yang pernah terjadi." Herlina berucap persis seperti apa yang dikatakan Bu Karlina ketika sang anak ragu untuk mencari papanya beberapa bulan yang lalu.Wajah Bu Karlina menegang, sorot matanya penuh kecemasan. "Kamu tahu sendiri apa yang pernah Mama lakukan ke papamu. Mama nggak tahu harus bicara apa kalau bertemu. Mama belum siap, Her.""Papa sudah lama memaafkan kita. Beliau bahkan nggak pernah membahas masa lalu setiap kali kami ngobrol di telepon. Papa sudah bahagia dengan hidupnya sekarang. Lagipula, kalau Mama terus menghindar, kapan lagi Mama bisa meminta maaf."Bu Karlina diam. Herlina benar. Bukankah ini kesempatan untuk bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Namun ia malu. Karena kondisinya yang sekarang terpuruk sedangkan sang mantan san