Secretary sang CEO
Anggi bergegas untuk segera meninggalkan kediaman Aditya. Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah atasannya itu. Lagipula informasi yang ia butuhkan sudah didapatkan dan sisanya akan dipikirkan nanti. Entah, kenapa ia bisa semarah ini dengan Aditya, ada rasa sakit di hatinya saat bentakan pria itu tertuju padanya. Padahal, bisa saja ia cuek dengan ucapan pria itu.
"Loh, Non Anggi mau ke mana?" tanya Bi Suin yang tiba-tiba mencegah pergerakan langkah Anggi.
"Saya mau pergi, Bi. Saya tidak enak tinggal di rumah Pak Adit terus. Saya ingin balik ke kos saya aja, Bi, biar saya gak ngerepotin Bibi juga, makasih ya Bi untuk semuanya."
"Tapi kan, apa Non Anggi sudah bilang sama Tuan Aditya? Jangan pergi, Non, Bibi nggak ngerasa di repotin kok sama Non Anggi, justru Bibi seneng Non Anggi di sini," cegah Bi Suin lagi.
Anggi lantas memeluk pembantu Aditya itu. Jujur, memang dirinya juga sudah seperti memiliki keluarga
Secretary sang CEOSenja di ufuk barat mulai menebarkan pesonanya. Jam di tangan Aditya juga sudah menunjukkan waktu jam kerja berakhir. Ia yang sedari tadi berkutat dengan pekerjaannya bahkan sedikit terganggu dengan insiden penolakan Anggi atas perasaanya dan ucapan Sandra atas penghianatan Anggi. Ia pun menghela napasnya saat melihat perempuan itu tengah merapikan meja kerjanya dan ia masih percaya terhadap Anggi."Anggi," sapa Aditya saat menghampiri meja kerjanya."Eh, eh iya, Pak Adit. Ada yang perlu saya siapkan?"Aditya menggeleng. "Tidak. Saya hanya ... emm, bertahanlah di sini sebentar sampai kamu menemukan sekretaris baru untuk saya. Bisa?"Anggi tertegun sejenak, lalu ia tersenyum kepada Aditya. Seolah-olah kejadian tadi pagi tak pernah terjadi di antara mereka meskipun dari masing-masing hati merasakan suatu kehampaan."Bisa, Pak. Saya akan segera mencarikan sekretaris baru untuk Pak Adit,
Secretary sang CEOKeesokan harinya, tepat pukul enam pagi Aditya mulai mengerjapkan mata. Dirasakan pusing masih menjalar di kepalanya hingga belum sanggup untuk sekedar membuka mata. Namun, ia tetap terduduk di ranjang itu dan belum menyadari bahwa dirinya tak berada di kediamannya."Sudah bangun, Dit?" tegur seseorang.Sontak saja Aditya menghentikan aktifitasnya yang tengah memijit kepalanya sendiri. Netranya langsung terbuka saat suara yang tak asing ia dengar menyapa pagi-pagi seperti ini. Ia langsung menyapu seluruh ruangan yang nampak asing dan tatapannya berhenti pada sosok perempuan yang tengah berkutat di area dapur kecil di dalam kamar itu. Sosok yang jelas ia kenal seluk beluknya."Sandra, kamu—""Sudah jangan memikirkan apa-apa dulu. Aku membuatkan teh jahe untukmu. Minumlah, bisa mentralkan mabuk beratmu semalam." Perempuan itu mulai melangkah menuju ke ranjang Aditya dan memberikan sege
~~~~~"Kebetulan sekali. Kita juga ingin makan siang. Kita bisa cari restoran bersama jika mau. Dan Pak Aditya, saya minta maaf atas kejadian tempo lalu dan makan siang hari ini sebagai permintaan maaf saya. Bagaimana?"Tawaran yang terdengar di telinga Aditya seolah hanyalah sebuah alasan klise seseorang di depannya untuk membuat hatinya semakin tak karuan. Aditya menelan salivanya perlahan dan masih mencerna tawaran tersebut. Bola matanya menatap perlahan ke arah Dimas dan Anggi secara bergantian."Setuju, kita ke restoran di ujung sana," titah Aditya menunjuk salah satu restoran di mall tersebut.Sandra yang mendapati sikap Aditya sontak saja terkejut. Tidak biasanya Aditya semudah itu menerima tawaran untuk sekedar bercengkerama dengan orang asing seperti ini jika bukan klien bisnisnya. Dimas pun hanya melesungkan senyumnya dan menyetujui ucapan Aditya. Nampak mereka berempat berjalan menuju ke arah restoran tersebut. Di mana Aditya dan
~~~~~Tepat pukul enam pagi bunyi ponsel Aditya sudah sibuk berbunyi membangunkan sang tuannya. Beberapa kali Aditya menghiraukannya, beberapa kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal tetap saja bunyi ponselnya tidak kunjung berhenti. Bukannya pria itu tidak ingin menjawab panggilan, hanya saja matanya masih berat karena semalaman tidak bisa tertidur dan alhasil begadang hingga pukul lima pagi.Dan bukan tanpa sebab, lagi dan lagi ia hanya memikirkan satu nama. Satu nama yang berhasil menyita seluruh pikirannya. Satu nama yang entah akan memikirkannya atau justru menertawakannya saat ini. Namun, bunyi ponsel itu lebih menyebalkan saat ini daripada begadangnya semalam."Siapa sih! Berisik!" gerutu Aditya, tapi tangannya masih saja meraih ponsel yang terletak di atas meja nakas.Dengan bermalas-malasan ia menyabet benda pipih itu dan mengangkat panggilan dengan asal. Ia bersumpah jika panggilan kali ini tidak penting gawai canggih itu akan
~~~~~~Waktu pun berlalu begitu cepat dan malam telah tiba. Tepat pukul tujuh malam Aditya sudah bersiap-siap untuk datang ke acara sahabatnya itu. Saat ini ia nampak tampil sempurna, atasan blazer hitam dengan kemeja dark grey serta celana jeans berwarna senada. Setelan sederhana seperti itu saja masih membuat aura tampan Aditya memancar begitu saja.Ia pun melangkahkan kaki menyusuri tangga menuju ke ruang tamu dan menunggu Anggi yang memang hari ini ikut dengannya ke rumah, sebab Aditya sudah mempersiapkan segalanya untuk Anggi di rumah. Pria itu pun duduk di sofa dan tengah memasang sepatu kulitnya.Di saat pria itu tengah fokus ke arah sepatu, tiba-tiba suara langkah kaki mengarah padanya dan berhenti beberapa meter di depannya. Sontak saja ia menoleh ke sumber suara itu. Dan Aditya benar-benar takjub, ia terpesona dengan kecantikan Anggi malam ini. Gaun dengan bagian bahu terbuka yang sangat pas di badannya dan tatanan rambut
~~~~~~~~Pagi yang cerah mengawali hari libur kali ini. Tanggal merah yang tercetak jelas di kalender membuat siapa saja pasti melanjutkan untuk tertidur kembali. Namun, tidak bagi Anggi, semilir hawa dingin dari AC yang ada di kamar itu nampak membuat Anggi mengerjapkan mata perlahan. Dirasakan kepalanya yang masih terasa pusing dengan memejamkan kembali matanya. Tubuhnya pun ikut bereaksi menuntut sang tuannya untuk berisitirahat sejenak. Ia pun menyipitkan pandangan dan mulai mengamati suasana kamar itu, kamar yang tidak asing, tetapi jelas ini bukan kamar di kosannya.Ia pun mulai mengarahkan posisi tidurnya ke arah kiri dan langsung terkejut bukan main saat netranya yang baru setengah terbuka mendapati sosok pria tertidur di sampingnya. Detak jantungnya seakan mendadak berhenti berdenyut dan suasana mencekam seolah menghantui. Ia menelan saliva sampai ia lihat Aditya mulai mengerjapkan mata dan mendapati dirinya yang ada di sisinya. Namun, buka
~~~~~~~~~~Serly Anandita, perempuan berusia 24 tahun itu berjalan menuju ke arah Anggi dan Aditya dengan percaya diri. Ia harus benar-benar terlihat natural dan harus membantu sahabatnya kali ini. Beruntung, ia pernah mengikuti kelas akting saat casting untuk beberapa iklan produk dan FTV."Aditya, bener Aditya, 'kan? Akhirnya setelah ke mana-mana aku bisa bertemu denganmu lagi." Serly langsung memeluk Aditya walau pria itu sontak saja melepaskannya. "Nomermu sudah tidak aktif, aku mencarimu selama sebulan ini. Kamu ke mana saja, Dit? Aku menunggumu selama ini di Galatix Club," ujarnya dengan wajah memelas yang dibuat-buat.Pria itu mengernyitkan alisnya dan berkali-kali mencari nama Sherly dalam ingatannya. Namun, beberapa kali Aditya mencari memang nama itu tidak ia temukan. Itu artinya, ia tidak kenal dengan perempuan di depannya ini. Bahkan ia sudah lama tidak pergi lagi ke kelab, cukup lama juga ia tidak pernah berhubungan de
~~~~~~~~~Dua hari berlalu, Aditya masih terbaring di ruangan berukuran 35 meter persegi dengan dominasi warna putih serta aroma obat yang khas. Selang infus masih terpasang di pergelangan tangannya. Mata itu juga masih terpejam rapat dan seolah belum puas tertidur sedari tadi.Ia memang sudah dipindahkan di ruang perawatan, hanya saja kondisinya masih sangat lemah beberapa kali. Sedangkan Anggi masih setia menunggu Aditya walaupun bergantian dengan Reno. Kini, ia duduk di kursi sebelah ranjang pasien Aditya, menatap wajah lemah didepannya dengan sedih. Wajahnya pucat tidak seperti yang biasa ia lihat sehari-hari. Ia juga masih tidak percaya bahwa Aditya memiliki penyakit tersebut."Kamu, siapanya? Namamu siapa?" tegur seseorang.Suara bariton itu sontak saja mengagetkan Anggi. Ia menoleh ke sumber suara dan didapati Reno tengah berada di ambang pintu ruangan VIP itu. Namun sosok Reno mata Anggi adalah sosok pria yang lembut dan mu