Share

Bab 6

Secretary Sang CEO 

(beberapa scene terdapat konten18+)

Senja di ufuk barat telah lama tenggelam dan langit yang menggelap telah tiba. Sekitar pukul tujuh malam yang tercetak jelas di jam tangannya, Anggi mendecak dengan kesal karena selepas makan siang ia sama sekali tak melakukan hal yang membuatnya banyak gerak. Perempuan itu sangat lelah jika harus menunggu tanpa melakukan kegiatan apa pun, hanya saja ia harus menunggu Aditya hingga pria itu menyelesaiakan pekerjaannya. 

Sudah beberapa jam Anggi hanya duduk di depan meja kerja Aditya sebab perintah pria itu benar-benar tidak bisa ditentangnya. Ia sangat lelah dan matanya mulai mengantuk. Perempuan itu pun meletakkan kepalanya di atas meja kerja Aditya dengan berbantal tangan, berharap sang atasan tidak peduli dengan tingkah tidak sopannya kali ini. 

Selang beberapa menit kemudian, Aditya pun melirik perempuan itu dan seulas senyum muncul begitu saja di bibirnya. Ia kemudian menutup dokumen dan mematikan laptopnya, rasa iba mencuat begitu melihat Anggi yang sedari tadi menunggunya. Kemudian ia beranjak dan berjalan menuju ke arah Anggi, lalu menundukkan kepalanya persis di dekat telinga Anggi. 

"Ayo kita pulang," bisik Aditya. 

Sontak Anggi terbangun, ia terkejut Aditya sudah berada di dekatnya. Seolah pria itu benar-benar memangkas jaraknya begitu saja. Aditya masih menatap mata Anggi, tetapi justru sikap gugup yang kentara untuk menanggapi. Anggi spontan berdiri agar kegugupannya terbiaskan dan tak membiarkan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang terdengar oleh pria di sampingnya.

"Pak Adit ngapain sih?" protes Anggi.

"Ayo pulang. Apa kamu mau tidur di sini? ujar Adit sambil berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu.

Anggi pun langsung mengambil tas kecilnya, mulai beranjak dari ruangan kerja Aditya dan mengikuti langkah pria itu. Begitu Aditya keluar dari ruangannya nyatanya Sandra masih berada di lingkungan kantor atau lebih tepatnya menunggu Aditya seperti biasanya. Seulas senyum wanita itu tunjukkan untuk Aditya dan senyumnya memudar seiring pandangan itu mengarah ke Anggi.

Anggi yang sadar akan hal itu hanya bisa menundukkan pandangan tanpa ingin menatap mata Sandra yang seakan sudah ingin membunuh. Entah, apa salahnya, tetapi sejak ia berkata bahwa dirinya akan tinggal bersama Aditya, sekretaris Aditya itu bersikap berbeda dari sebelumnya.

"Sudah selesei, Pak?" tanya Sandra dengam manis. 

"Iya, Sandra, kamu pulang ke apartemen atau--"

"Bapak mau ke mana?" potong Sandra. 

"Mau pulang ke rumah." 

Nampak Sandra seolah berpikir di depan Aditya. "Emmm ... boleh saya menemani Anggi, Pak? Sekaligus memberitahu dia hal yang seharusnya dia kerjakan. Tadi saya rasa kurang jelas, jadi biar saya ajarkan lagi ke Anggi," cetusnya.

Aditya pun hanya terdiam ketika Sandra sudah mengetahui bahwa Anggi akan tinggal bersamanya. Nampak, Aditya terus saja berjalan di mana Sandra menarik kesimpulan jika memang ia di perbolehkan mengikuti atasannya itu untuk ke kediamannya. 

Sedangkan Anggi yang melihat kedekatan antara Aditya dan Sandra hanya bisa menebak-nebak. Sepertinya Sandra memang terbiasa menemani Aditya, terlihat dari obrolan sang atasan yang juga seolah paham perempuan itu akan ke mana. Hal yang membuat Anggi semakin yakin bahwa opini kedekatan Aditya dan Sandra bukan sekedar patner kerja semata. 

'Bisa buat bahan nggak ya? Skandal dong nanti jadinya kalo ada yang aneh-aneh,' batin Anggi sambil tetap berjalan mengikuti atasan barunya itu. 

Mereka pun berjalan menuju mobil Aditya di mana seperti biasa sang sopir sudah menunggunya. Segera setelah itu sang sopir meluncur ke kediaman Aditya membelah padatnya Kota Jakarta yang tak pernah ada habisnya. 

Beberapa saat kemudian, mereka telah masuk ke perumahan elit di Jakarta. Anggi kagum melihat rumah-rumah di sepanjang jalan ini. Sangat megah batinnya, hingga mobil pun berhenti di depan gerbang rumah Aditya. Klakson yang dibunyikan membuka pintu gerbang secara otomatis. 

Anggi berhasil dibuat takjub melihat megahnya kediaman bos besar Artha Group itu. Taman yang indah dengan eksterior elegan menyihir pandangan Anggi di tambah desain rumah Aditya dari luar yang benar-benar membuat siapa pun kagum. 

"Ayo turun. Kamu mau tidur di mobil atau bagaimana?" ucap Adit mengagetkan lamunan Anggi. 

"Eh iya-iya, Pak." 

Mereka pun turun dari mobil Aditya dan segera menuju ke dalam rumah itu. Sekali lagi, Anggi tercengang dengan desain interior rumah Aditya yang menganut gaya eropa klasik. Sebuah ruang tengah yang nampak mewah menghipnotis mata Anggi dengan pencahayaan yang di dominasi warna kuning dengan dinding berwarna putih dikombinasi gold, mampu menghangatkan suasana ruangan tersebut. 

"Selamat malam, Tuan," sapa Bi Suin-pembantu rumah itu.

"Bi, kamar Anggi sudah Bibi siapkan? Ini Anggi ... kalau sudah, minta tolong antar Anggi ke kamarnya, dia sekretaris baru saya dan sementara akan tinggal di sini," jelas Aditya. 

Bi Suin menatap Anggi dan langsung melesungkan senyumnya. Begitu pun Anggi, ia yang memang ramah pada siapa pun selalu mengulas senyum pada siapa saja yang ia temui.

"Sudah, Tuan. Mari, Non, saya antarkan. Tuan tidak makan malam terlebih dahulu?" tanya Bi Suin sebelum mengantar Anggi.

"Nanti saja, Bi, saya belum lapar. Mungkin mereka berdua, tawari saja ke mereka berdua," ucap Adit sambil tersenyum. 

Aditya pun berlalu dari hadapan Anggi dan Sandra, ia tampak lelah hari ini. Sikap pria itu pada pembantunya membuat Anggi tak menyangka, angkuhnya sikap di kantor tidak ia tunjukkan ketika berada di rumah. Justru pada asisten rumah tangganya saja ia berbicara sangat sopan berbeda ketika di kantor yang cenderung tegas dan otoriter. 

"Nggi, aku boleh sekamar dengan kamu? " ucap Sandra tiba-tiba. 

"Hah? Eh, boleh kok, Kak, boleh banget. Kebetulan, Biar Anggi ada temennya di sini," ucap Anggi senang.

"Aku pinjem baju kamu ya kalo gitu," ujar Sandra lagi. 

"Boleh, Kak. Tapi nggak apa-apa cuman piyama biasa?" 

Sandra pun mengangguk dan tersenyum palsu di depan Anggi yang memang sengaja ingin tidur bersama perempuan itu, sebab tidak ada yang tidak mungkin jika Aditya dan Anggi bisa macam-macam jika ia lengah. Jujur, ia tidak rela Aditya bersama yang lain selain dirinya. 

🍂🍂🍂

Aditya benar-benar merasa lelah hari ini, sejenak ia merebahkan tubuhnya di ranjang king size itu tanpa berberes terlebih dahulu. Rasanya ia ingin segera tidur mengistirahatkan pikirannya, tetapi lagi-lagi masih saja ia memikirkan sosok sekretaris barunya itu. Perempuan dengan sikap polos yang entah hanya pura-pura atau memang seperti itu adanya, benar-benar menarik perhatiannya sejak awal bertemu. Ia tersenyum sendiri mengingat Anggi, hingga akhirnya ia pun bangkit dari rebahan singkat dan ingin menyegarkan badannya. 

Beberapa menit kemudian, ia telah menyelesaikan ritual mandinya. Dengan hanya berbalut handuk di pinggang, ia melangkah menuju almari besar yang menyimpan baju-bajunya untuk mengambil pakaian tidur. Beberapa detik ia memilah dan ingin menarik salah satu di antaranya, sepasang tangan lembut perempuan menyentuh dadanya dari belakang. 

"Sandra," tebak Aditya masih dengan melanjutkan kegiatan mengambil baju tidurnya.

"Aku kangen kamu, Dit," ujar Sandra yang kini menyandarkan kepalanya di punggung pria itu. 

Tidak ada respon dari Aditya untuk beberapa detik sampai pria itu membalikkan badannya menatap Sandra yang tengah bermanja kepadanya. Menyentuh pipi perempuan cantik itu dan melesungkan senyum tipisnya. 

"Bukannya setiap hari kita bertemu? Masih saja kamu bilang kangen?" ucap Aditya yang kini memegang dagu wanita itu. Sedangkan Sandra, tengah memeluk pinggang Aditya dan menatap dengan cemberut.

"Dit, sejak ada sekretaris barumu itu, kamu cuekin aku loh, padahal baru dua hari, menyebalkan!"

Aditya kembali tersenyum tipis sembari menyibakkan rambut wavi Sandra. "Tidak Sandra. Dia kan masih baru wajar aku masih memperhatikan kinerjanya bukan? Tapi ngomong-ngomong lepas dulu dong ini ... aku pakai baju dulu, AC ruangan ini masih menyala dan itu dingin," ucap Aditya, masih dengan nada yang sangat lembut.

Sandra yang tersadar hal itu pun langsung melepaskan pelukannya dan Aditya pun segera memakai piyamanya. Sedangkan Sandra semakin memanyunkan bibirnya sembari menyilangkan kedua tangan di dadanya. Masih tidak terima dengan jawaban Aditya yang seolah tak lagi membutuhkannya. 

"Kenapa wajahmu begitu? Aku kan mencari sekretaris baru untuk membantumu? Apa aku salah meringankan bebanmu?"

"Tapi perhatianmu jadi berkurang. Menyebalkan! Kamu kayak udah nggak membutuhkanku lagi."

"Kamu ini kenapa, sih? Posisimu itu masih lebih tinggi dari dia. Jelas aku masih membutuhkanmu, Sandra." 

Sandra meletakkan tangannya di dada bidang Adit. Menatap mata pria itu dan benar-benar tidak rela jika Adit berpaling darinya dan mengacuhkannya begitu saja. Selama ini dia lah yang menemani pria itu, selama ini dia lah yang berada di samping Aditya entah pagi, siang atau pun malam. Bahkan ia rela memenuhi kebutuhan biologis Adit kapan pun dan di mana pun pria itu menginginkannya. 

Aditya mengusap lembut pipi Sandra, lantas mencium bibir ranum itu. Sandra tidak menolak, bahkan membalas ciuman Aditya. Tangan bebas Aditya pun sudah menyusuri setiap jengkal tubuh Sandra dari luar baju tidurnya yang ia yakini pasti perempuan itu pinjam dari Anggi. Ciuman yang mendorong hasrat Aditya malam itu ia hentikan sejenak dan kembali menatap mata sekretarisnya itu.

"Apa aku berubah?" tanya Aditya sekali lagi meyakinkan pernyataan Sandra padanya. 

Sandra hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Aditya tarik tangan Sandra ke arah ranjangnya dan mendorong tubuh wanita itu ke atas ranjang king size-nya. Segera ia merangkak ke atas tubuh Sandra, menindihnya dan menggencarkan ciuman pada leher wanita itu. Respon Sandra yang meremas rambut basahnya membuat Aditya semakin tak sabar untuk menuruti hasratnya dengan tangan yang mulai membuka kancing piyama Sandra. 

Bugghh! 

"Aduh!" pekik seseorang membuyarkan suasana intim Aditya dan Sandra. 

Aditya dan Sandra  seketika menoleh ke arah terbukanya pintu kamar pria itu dan mendapati sosok Anggi tepat tersungkur di sana dengan mengusap sikunya yang terbentur lantai keramik. Anggi yang berniat untuk mengembalikan ponsel milik Aditya yang kebetulan tadi dititipkan justru terjatuh karena tersandung kakinya sendiri di depan pintu kamar Aditya. Dan bodohnya ia terjatuh tepat di suasana yang sama sekali tak ia harapkan. Hanya senyum bodoh yang mampu ia tunjukkan pada Aditya sembari menelan saliva terkejut dengan pemandangan di depannya. 

"Ma-maaf, Pak. Tadi saya tersandung di situ, dan tidak tahu kalau pintu ini tidak terkunci dan membuka sedikit tadi jadi saya-"

"Enggak masalah," potong Aditya. 

Pria itu segera bangkit dari tubuh Sandra sembari membetulkan piyamanya sendiri. Sedangkan Sandra nampak kesal dengan kedatangan Anggi secara tiba-tiba itu dan segera menutup piyamanya kembali dengan kasar. Aditya berjalan ke arah Anggi yang benar-benar gugup dan takut. Peluh di dahinya membuat Aditya ingin sekali melampiaskan hasratnya kepada gadis itu. Namun ia sadar, ia harus menahan diri pada perempuan di depannya. Namun, kepolosan dan rasa bersalah di raut wajah Anggi menciptakan fantasi sendiri di pikiran Aditya. 

"Kamu kenapa kemari?" tanya Adit. 

"I-ini, Pak, ponsel Bapak tadi masih ada di saya. Saya hanya berniat mengembalikan saja takut ada yang penting. Saya tidak bermaksud-"

"Kenapa kamu tampak gugup seperti itu? Siapa yang menakutimu?" potong Aditya. 

"Emm ... eng-enggak, Pak. Maaf jika saya mengganggu, saya pergi dulu, Pak." Anggi segera menyerahkan ponsel Aditya dan berlalu begitu saja. 

Anggi benar-benar canggung dengan suasana itu. Ia merasa malu dan ceroboh tidak berhati-hati saat berjalan kaki. Padahal rumah Aditya penerangannya juga tidak buruk. Namun, satu fakta terungkap yang dapat disimpulkan dirinya, bahwa Aditya dan Sandra memang bukan sekedar hubungan pekerjaan semata, tapi lebih dari itu.

Aditya pun menyandarkan tubuhnya di dinding pintu kamar sembari bersedekap melihat punggung Anggi yang berlalu dari hadapannya. Ia tersenyum lepas setiap melihat tingkah polos Anggi, hingga tanpa sadar senyum itu tertangkap jelas oleh Sandra. Wanita itu mendapati binar mata Aditya yang tak seperti biasanya dan menjadi merasa was-was, baru kali ini Aditya bisa tersenyum lepas karena perempuan. Biasanya ia akan sangat dingin kepada siapa pun apalagi orang baru. Sandra menghampiri Aditya, mencoba mengalihkan atensi pria itu dari Anggi. 

"Maaf, Sandra, aku sangat lelah hari ini. Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu. Selamat malam," ucap Aditya yang berlalu dari hadapan Sandra. 

Sandra mulai mengepalkan tangannya karena kesal dan itu artinya ia harus menelan kekecewaan kembali. Jika saja Anggi tak mengacaukannya tadi pasti sekarang ia sudah dalam dekapan Aditya dan menikmati malam panjang dengan sang atasan yang selalu membuatnya terpesona itu. Aditya pun melangkahkan diri ke sisi ranjangnya dan duduk di tepi ranjangnya sambil mengecek ponselnya. 

"Kamu masih di sini, Sandra?" tanya Adit tanpa menatap perempuan itu. 

"Aku akan segera kembali ke kamarku," timpal Sandra.

Sandra pun berlalu dari kamar Aditya. Ia benar-benar nampak kesal dengan pria yang mulai sedikit demi sedikit mengacuhkannya. Beberapa saat kemudian, ia membuka pintu kamarnya dan dapat di lihat Anggi tengah terdusuk di tepi ranjangnya. Sandra hanya bisa menghela napasnya dengan kasar, rasanya ingin sekali ia memaki perempuan itu. 

"Kak, aku minta maaf soal -" 

"Sudahlah lupakan!" potong Sandra tanpa basa-basi lagi.

Anggi pun benar-benar merasa canggung dan tidak enak hati pada Sandra. Dilihatnya Sandra pun sudah menarik selimutnya untuk tidur. 

'Dasar bodoh kamu tuh Nggi, makanya jalan pakai mata dong? Kalau seperti ini kan belum apa-apa kamu punya musuh,' runtuk Anggi dalam hati. 

Di sisi lain, ketika Aditya sedang membaca buku di kamarnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Sabrina tercetak di layar ponselnya. Aditya mengernyitkan alisnya, ada hal apa Sabrina menelfonnya malam-malam? Rasa penasaran pun membawa Aditya untuk meraih ponselnya dan mengangkat panggilan itu.

"Hallo Sabrina, ada apa malam-"

"Aurel ... Aurel masuk rumah sakit Dit," ucap perempuan itu cepat karena takut Aditya memutuskan panggilannya. 

Sontak Aditya mematung untuk sesaat. "Apaaa! Di mana kamu sekarang? Di rumah sakit mana?" tanya Aditya. 

"Medika Husada."

"Aku segera ke sana!" ucap Aditya yang langsung mematikan sambungan telponnya. 

Aditya pun bangkit dari ranjangnya dan segera merapikan dirinya. Ia pun segera melesat keluar kamar dengan sedikit belari setelah berpakaian sekenanya, bahkan ia masih mengancingkan kemejamya sembari berjalan cepat. Rasa khawatir mendalam ada di pikirannya. Ia segera mengambil kunci mobilnya. 

"Bi, saya keluar dulu."

"Tuan mau ke mana malam-malam begini?"

"Ada urusan penting!"

Aditya segera berlari ke arah mobil yang berada halaman pintu rumahnya. Ia melompat ke dalam mobil dengan bak terbuka itu dan segera melesatkan supercar-nya ke arah rumah sakit yang sudah disebutkan Sabrina. Kebetulan, Anggi yang berada di dapur saat itu melihat kepergian Aditya. Bahkan ia menangkap raut kekhawatiran pada wajah Aditya. 

"Bi, Pak Aditya mau ke mana?" tanya Anggi. 

"Bibi juga gak tau, Non. Sepertinya ada hal yang gawat, biasanya Tuan tidak akan buru-buru jika keadaannya tidak gawat. Bibi jadi khawatir sama Tuan Adit, semoga tidak membahayakan Tuan lagi."

Anggi pun nampak turut menjadi khawatir, tetapi ia tepiskan perasaan itu dan berjalan kembali ke arah kamarnya. Percuma juga khawatir, lagipula jika ia ingin menyusul ia tak tahu harus ke mana karena Aditya tampak sangat buru-buru tanpa meninggalkan informasi yang jelas. 

Di tempat lain, Aditya melajukan mobilnya dengan kencang menuju sebuah rumah sakit swasta yang jaraknya lumayan jauh dari kediamannya. Hinhga 30 menit kemudian mobilnya mulai memasuki arwa rumah sakit tersebut. Ia segera memarkirkan mobilnya dan setengah berlari menuju ruang IGD. 

"Sabrina! Di mana anakku?" tanya Adit khawatir. 

"Itu Dit, sedang diperiksa Dokter ... a-aku minta maaf Dit," ucap Sabrina menyesal.

"Kamu! Bagaimana bisa Aurel begini? Hah! Aku sudah katakan berkali-kali jika kamu tidak bisa menjaganya dengan baik, biarkan dia bersamaku!" bentak Aditya. 

Sabrina tertunduk tak dapat menjawab bentakan Aditya. Ia memang salah, ia tak seharusnya menyembunyikan tentang penyakit Aurel kepada Aditya. Aditya yang hanya mengkhawatirkan buah hatinya itu tak akan peduli dengan Sabrina, apalagi orangtua Sabrina yang sedari tadi belum sempat ia sapa. Ia hanya peduli apa yang sebenarnya terjadi dan membuat anak semata wayangnya masuk ke rumah sakit. 

"Aku minta maaf,Dit," ucap Sabrina lagi. 

| To Be Continues |

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status