Share

Bab 4

Secretary sang CEO 

~~~~

Jalanan macet, polusi udara sudah menguar dan klakson mobil serta motor yang memekikan telinga dimana-mana, menjadi pemandangan yang lazim di Ibukota Jakarta dengan segala kesibukannya pagi ini. Sosok perempuan muda berusia 22 tahun baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke kantor media cetak "Metropolitan Post". 

"Terima kasih, Pak, ini uangnya ...," ucap gadis itu sembari menyerahkan selembar kertas berwarna biru. 

"Waduh, Neng, kelebihan ini. Bapak belum ada pelaris pagi-pagi gini," timpal pengemudi ojek tersebut dengan raut bingung menerima selembar lima puluh ribuan. 

"Sisanya buat Bapak saja," ujarnya ramah.

"Wah terima kasih, Neng, kalau begitu Bapak pergi dulu." 

Perempuan itu menganggukkan kepalanya setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan ke arah kantor media cetak itu. Anggi Putri Salsabilla, gadis cantik berambut panjang hitam kecokelatan yang selalu ia ikat merupakan ciri khasnya. Hidung sedikit mancung, kulit putih bersih serta pemilik senyum menawan itu sangat cocok disandang olehnya. Ia merupakan karyawan di sebuah perusahaan media cetak yang mulai berkembang pesat sejak ia bergabung. 

Artikel-artikel yang ia serahkan pada direksi selalu diterima dengan baik. Dan hal itu yang membuat perusahaan swasta tersebut melejit naik daun karena berita yang sangat fresh dan tentunya bukan hanya sekedar opini. Perempuan yang memang menyukai bidang jurnalistik sekaligus tantangan itu selalu mengupayakan apa pun untuk pekerjaannya. 

Hari ini, seperti biasa ia berjalan dengan energik ke arah mejanya. Namun, sebelum ia melangkah jauh sebuah panggilan namanya dari ruangan bertuliskan 'Manajer Direksi' menyapanya. 

"Morning, Anggi," sapa Manager Direksi. 

"Morning too, Pak Dimas. Ada berita baru kah hari ini?" ucapnya dengan seulas senyum yang selalu tersemat manis di bibir tipisnya.

Dimas yang mendapati antusias salah satu staffnya selalu tersenyum. Ia menyukai semangat perempuan itu. "Wah, masih pagi sudah tanya berita, ya. Ada, dan ini berita yang sangat bagus ... mau denger nggak?" 

"Apa tuh, Pak?" Anggi mulai mengambil sebuah kursi dan duduk di depan meja kerja Dimas. 

Dimas pun merapatkan kursinya ke meja dan menatap gadis tersebut. 

"Jadi begini, kamu inget nggak beberapa waktu lalu berita tentang Alexander Juan?"

Anggi nampak berpikir mengingat kembali, dan setelah menemukan jawaban di otakknya ia kembali menatap Dimas.

"Inget, Pak, sudah ketemu ya pelakunya? 

Dimas hanya tersenyum mendapati pertanyaan itu. Ia kembali merapatkan dirinya sedikit lebih mendekat lagi pada perempuan itu. "Saya ada berita bagus, tapi harus ada perjuangan di sini. Saya menemukan fakta baru, jika Alexander Juan terakhir kali berseteru dengan sosok Aditya Regha. Dan kamu tau ... mereka masih satu keluarga, Nggi," tutur Dimas. 

"Tunggu, Pak Dimas mencurigai dia pelakunya? Aditya Regha ... CEO Artha Group, 'kan? Mana mungkin, Pak? Setau saya Aditya Regha memiliki usaha yang berbeda dengan Alexander Juan. Bagaimana mungkin mereka bersaing dan saling membunuh? Dan bukannya kabarnya itu sebuah perampokan, masa iya begitu?"

Dimas lebih mendekatkan kursinya di depan Anggi, mencoba kembali mempengaruhi pikiran Anggi agar tujuannya tercapai. "Sekarang begini, jika itu perampokan disertai pembunuhan, mana bisa hanya Alexander Juan yang menjadi korban? istri dan anaknya bahkan tidak ditemukan di mana-mana. Dan sampai sekarang pun pelaku juga masih misterius. Aneh, 'kan? Sekarang coba kamu pikir lagi, masalahnya susah sekali dipecahkan." 

Anggi berpikir keras, memang kasus terbunuhnya Alexander Juan sampai saat ini menjadi misteri bagi sebagian orang. Beritanya terlalu simpang siur sehingga tidak menemukan titik masalahnya. Satu bulan berlalu nampaknya tak membuahkan hasil untuk menangkap siapa pembunuh Alexander. 

Lagipula ia tidak mengetahui bagaimana wajah Aditya Regha yang disebutkan oleh managernya ini. Ia hanya mengetahui namanya saja tanpa tahu orangnya seperti apa. Ia bahkan sampai berpikir juga bahwa sosok yang bernama Aditya mungkin seumuran dengan Alexander Juan. 

"Nggi, bagaimana kalau kamu mencari fakta ini dengan mendekati Aditya Regha."

Pernyataan sekaligus permintaan tersirat Dimas akhirnya tercetus juga. Pernyataan yang berhasil membuat Anggi melongo beberapa detik. "Hah! Apa? Saya, Pak? Eh ... kok jadi saya, Pak?"

"Nggi, kalau kamu bisa mengungkapkan semua ini, kita akan jadi media nomer satu di kota ini dan kamu akan menjadi karyawan terbaik tahun ini. Dan akan saya rekomendasikan untuk promosi jabatan lalu nanti saya janjikan kamu untuk bisa kuliah di Adelaide University, sesuai dengan impianmu." Dimas mulai mencari sesuatu di dalam laci meja kerjanya tanpa menatap wajah gadis yang sudah ternganga akan hal tersebut.

"Apa? Adelaide University, Pak? Tapi Pak, saya tidak tahu wajah Aditya Regha. Lagipula bagaimana caranya saya mendekati orang seperti dia? orang penting saja enggak saya, Pak," ucap Anggi putus asa di awal. 

Dimas yang sedari tadi mencari sesuatu di lacinya akhirnya menemukan selembar surat edaran yang ia cari. Setelah ketemu ia perlihatkan itu kepada Anggi. Anggi menatapnya dan terkejut melihat isi surat edaran tersebut. Sebuah lowongan menjadi sekretaris pribadi di perusahaan Artha Group yang jelas untuk menjadi sekretaris Aditya sudah menjadi jawaban atas pertanyaannya tadi. 

"Ini kesempatan emas, Nggi. Kamu bisa melamar menjadi sekretarisnya dan kalau kamu diterima, pelan-pelan kamu korek apa yang kita butuhkan. Saya dengar juga dia itu banyak kasus kriminal hanya saja tidak pernah ter-publish. Sangat hebat bukan seorang CEO seperti dia yang pandai menyembunyikan kejahatannya?" 

"Sekretaris? Dia punya masalah kriminal? Masa sih, Pak? Trus berarti dengan kata lain kita mau Aditya masuk penjara dong, Pak, apa nggak masalah, Pak?" tanya Anggi polos.

"Ya, itu lihat saja nanti, tergantung bagaimana berita yang beredar juga," ucap Dimas. 

Ia masih tidak percaya jika ia ditunjuk oleh managernya untuk mencari informasi ke seseorang yang berkuasa di kota ini, bukan berkuasa atas pemerintahannya, tapi berkuasa dalam lini ekonomi dan bisnis dalam beberapa tahun belakangan. Dan jika hal ini terungkap dan benar bahwa Aditya Regha terlibat kasus kriminal maka ia akan dimasukan ke jeruji besi, dengan kata lain , Anggi akan menggiring seseorang masuk ke jeruji besi karena beritanya nanti. Ia agak ngeri memikirkannya, tapi sang manager memaksanya untuk terus menyelidiki semua ini. 

Hingga sampai jam kantor berakhir di sore hari, nampak Anggi masih memikirkan ucapan sang manager. Bagaimana mungkin ia bisa mencari tahu semua itu? Ia pun benar-benar masih tidak percaya bahwa seseorang bernama Aditya memiliki kasus kriminal dan bisa di sembunyikan sampai detik ini. 

'Kalo dia punya kasus kriminal dan nggak ketahuan, berarti backingannya kuat dong. Pak Dimas gila apa ya ngasih tugas begini amat. Ini sih namanya bunuh diri.' Batin Anggi di sela melamunnya. 

Dan sebuah pertanyaan baru tercetus di pikirannya, bagaimana atasannya itu bisa beropini seperti itu? Seolah memang Dimas mengetahui sesuatu tentang Aditya. 

"Nggi, nggak pulang?" sapa Dimas.

"Eh, Pak Dimas, iya ini pulang kok, Pak. Lagi beres-beres meja. Bapak duluan aja nggak papa," ujarnya. 

"Saya tunggu. Kita pulang sama-sama, ya," timpa Dimas.

Anggi pun lantas menganggukkan kepalanya saat mendapati niat baik Dimas. Memang selama ini, ia sangat kenal baik dengan sosok Dimas dan sudah menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Hari ini bahkan di perjalanan pun ia masih memikirkan tentang permintaan managernya, haruskah ia tetap meneruskan niatnya untuk menyelidiki tentang Aditya? Ia masih saja melihat lowongan pekerjaan itu. Ia juga agak malas berurusan dengan orang tua yang seumuran dengan Alexander, pikirnya. Namun, demi mendapatkan promosi dan bisa berkuliah di Adelaide University sesuai dengan cita-citanya, akhirnya ia memutuskan untuk maju. 

'Aku pasti bisa!' tekad Anggi dalam hati. 

🍂🍂🍂🍂

Keesokan paginya, ia berangkat bukan ke kantornya melainkan ke Artha Group. Berpakaian sangat sederhana, sebuah atasan kemeja berwarna putih dan rok street selutut berwarna hitam serta sepatu fantofel wanita. Rambut panjang terikat ke belakang agar terkesan lebih segar dan juga sopan. Di perusahan tersebut akan diadakan interview langsung bagi yang berminat menjadi sekretaris pribadi Aditya. 

Ia melihat megahnya gedung berlantai sembilan di depannya. Tatanan eksterior super megah dengan bahan metal baja yang mengkilat apabila terkena sinar matahari serta bentuk perusahaan seperti berlian membuat Anggi berdecak kagum untuk beberapa detik. Nampaknya fasilitas di dalamnya juga tak main-main mewah dari tampilan luarnya. Ia menjadi pesimis apakah bisa masuk di perusahaan ini atau tidak? Namun, ia tetap melangkahkan kaki menuju ke dalam lobi perusahaan itu. 

"Permisi, Kak. Maaf, di mana ya tempat interview hari ini?" tanya Anggi pada sosok perempuan dengan style modis, cantik dan nampak elegant di balik meja resepsionis kantor tersebut. 

Perempuan itu nampak menatap Anggi dan meneliti penampilan gadis itu. "Oh anda ini mau interview jadi sekretarisnya Pak Aditya?" 

"Iya, Kak." Anggi mengangguk pelan.

"Oh, kalau begitu, anda tinggal pake lift di ujung sana untuk menuju ke lantai sembilan." 

Anggi pun menganggukan kepalanya mengerti. Ia segera menuju ke arah lift dan berniat masuk ke dalamnya. Namun, belum sempat ia masuk, tubuhnya terdorong oleh seseorang sampai barang-barang yang ia pegang jatuh berantakan. Ia menoleh ke arah orang yang menabraknya dengan kesal. Beberapa detik ia terkesima oleh sosok di belakangnya. Ia mendapati sosok pria muda dengan setelan jas yang sangat cocok membalut tubuh atletisnya, rambut hitam kecokelatan yang tertata rapi dan satu lagi ... dia sangat tampan dengan hidung mancung serta bibirnya yang tipis. Namun, rasa kagum itu segera Anggi tepiskan, karena ia masih kesal pria itu membuat barang-barangnya jatuh berantakan tanpa meminta maaf. 

"Hei! Punya mata, 'kan? Segede gini masih aja ditabrak! Huhh!" gerutu Anggi sambil mengemasi barang-barangnya. 

Sedangkan pria yang dimaki nampak sama sekali tak berniat meminta maaf. "Kamu yang menghalangi jalan saya! Bisa minggir, 'kan?" timpal pria itu masa bodoh.

Mendapati respon menyebalkan, Anggi langsung menunjuk pria itu tepat di wajahnya. "Heiii kamu! Dasarr nggak tau diri! Bukannya minta maaf juga ... awas kalau ketemu lagi!" 

Bahkan kedua orang di belakangnya nampak tak membela Anggi, padahal ia yakin kedua orang itu tahu bahwa yang sengaja menabraknya adalah pria tampan itu. Namun, tatapan dingin pria itu serasa menusuk mata Anggi. Anggi yang sudah kesal dengan pria yang tidak ia ketahui namanya itu masih terus menggerutu sambil  membereskan barang-barang yang terjatuh dan membiarkan saja pria itu berlalu lebih dulu darinya. Setelah selesai berberes, ia memencet kembali lift itu, kemudian beberapa saat kemudian lift terbuka dan ia masuk ke sana. 

Beberapa detik kemudian ia telah sampai di lantai sembilan, sontak pemandangan di depannya berhasil membuat Anggi ternganga melihat beberapa wanita yang sudah berada di sana untuk melakukan interview yang sama. Ia langsung melirik dirinya sendiri, betapa kontrasnya penampilan dirinya dengan wanita-wanita cantik dan seksi di depannya.

'Aku nggak salah masuk kantor kan? ini kantor properti kan bukan agensi model?' batin Anggi. 

Perempuan itu pun langsung berjalan perlahan hingga menemukan sebuah kursi kosong dan mendaratkan pantatnya di sana dengan aman. Sekali lagi, ia melirik beberapa 'saingan' yang memperebutkan kursi sekretaris untuk pemimpin Artha Group. Anggi tersenyum kecut mendapati kenyataan bahwa ternyata banyak yang mendambakan posisi itu. Ia bahkan sudah pasrah jika tidak diterima nantinya. 

"Eh kamu ... mau melamar juga ya?" tanya salah satu wanita di dekatnya.

"Oh, i—iya iya. Saya mau melamar juga ...," ucap Anggi yang mendadak gugup dengan cara pandang perempuan itu padanya. 

Wanita itu memandang Anggi dari atas sampai bawah dengan tatapan meremehkan. Anggi jadi salah tingkah mendapati tatapan itu, ia bahkan tidak biasa memakai rok sepan begini. Biasanya perempuan itu hanya memakai celana panjang, kemeja dengan kaos oblong di dalamnya, topi dan juga sepatu kets sebagai pakaian dinasnya di lapangan. Namun, sekarang demi informasi yang berharga ia harus memakai fantofel perempuan dengan heels yang rendah dan rok sepan serta kemeja yang agak feminim. Sungguh menyesakkan pikirnya. 

Sepuluh menit ia menunggu di sana dengan bosan, sampai sempat-sempatnya menggerutu dalam hati dan menuduh seorang pemimpin perusahaan yang tidak juga kunjung datang, padahal jam di tangannya sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. 

'Dasar jam karet! Huhh! Apa-apan ini, mentang-mentang punya perusahaan gede bisa telat seenaknya!' batin Anggi. 

Tiba-tiba, semua pandangan wanita-wanita di sekelilingnya mengarah pada satu titik. Pandangan mereka seperti tersihir dan berbinar-binar, Anggi yang nampak heran segera melayangkan pandangannya ke arah yang mereka tuju. Seorang pria muda, tampan dan bertubuh atletis yang terlihat meskipun di balut dengan jas hitamnya itu berjalan ke arah mereka dengan di dampingi seorang pria yang juga terbilang tampan, lebih tinggi dari pria di depannya, memiliki raut wajah tegas dan berbadan tegap. Di sampingnya pula terdapat wanita cantik, berambut merah kehitaman, berbadan seksi dan sangat membuat iri para wanita di sana karena kecantikannya yang mempesona. Namun, Anggi justru mengerucutkan matanya, ia seperti mengenal sosok yang di depan itu. Ia pun mengingat-ingat kembali pada sosok tersebut.

'Astaga! Pria ini kan ... pria yang aku temui di lobi bawah. Mampus jadi dia yang namanya Aditya, bodoh Anggi bodoh!' Batin Anggi yang langsung mengalihkan badannya tak menatap pria yang mulai berjalan mendekat ke arahnya.

Ia menjadi gugup karena terlalu lancang tadi membentak Aditya. Ia menundukkan pandangannya, gelisah dan menutup wajahnya dengan amplop lamaran kerja agar Aditya tidak meliriknya. 

Akan tetapi, saat Aditya melewatinya menuju ruangannya, sudut mata pria itu menangkap sosok Anggi. Senyum seringai terlihat di sudut bibirnya mendapati gadis itu tengah menjadi salah satu kandidat calon sekretarisnya.

"Ya ampun, Pak Aditya tuh beneran ganteng banget, ya, aku berharap banget bisa jadi sekretarisnya," bisik wanita di sebelahnya pada rekan di sebelahnya.

"Iyaa ya ampun. Ternyata dia masih sangat muda, keren banget. Udah ganteng, tajir pula. Idaman banget...," timpal wanita berikutnya.

Anggi semakin tersudut. Ya ... dia adalah Aditya Regha Kavindra, pemilik perusahaan Artha Group yang banyak di perbincangkan semua orang. Ia tidak menyangka bahwa Aditya masih sangat muda. Bodohnya, ia mengira Aditya seumuran dengan Alexander Juan. Hatinya semakin gelisah dan gugup. Rasanya ingin mundur saja, tapi sudah terlanjur berada di tempat itu atau menghilang dari bumi karena berhasil membentak pimpinan perusahaan, bahkan sebelum melamar jadi sekretarisnya. 

🍂🍂🍂🍂

Di sisi lain, di dalam ruangan Aditya, interview dengan beberapa wanita sangat membosankan baginya. Tidak ada yang cocok dengan seleranya walau sebenarnya kriteria mereka sudah masuk untuk menjadi sekretarisnya. Sandra sampai bingung harus bagaimana lagi padahal wanita-wanita yang interview juga sangat menarik dan pintar. 

"Membosankan. Tidak ada yang lain selain ini?" tanya Aditya.

"Pak, semuanya menarik dan pintar, masa satu pun tidak ada yang menarik perhatian Bapak?" 

Aditya mendengkus kasar dan lantas membalikkan kursi kebesarannya ke arah jendela yang memperlihatkan gedung-gedung kantor lainnya di Ibu Kota Jakarta. "Membosankan Sandra, yang lain jika masih ada."

"Baik lah, ada kandidat terakhir tapi saya tidak yakin menarik perhatian Pak Adit, soalnya—" 

"Panggilkan," potong Aditya. 

Sandra pun bergegas keluar, ia melihat di sudut lobi lantai sembilan itu masih tersisa seorang wanita yang tengah tertunduk, ia segera menghampiri wanita itu. Ia melihat wanita itu baik-baik, sangat sederhana. Apakah wanita ini akan menarik perhatian Aditya? Sepertinya bukan selera Aditya, batinnya.

"Kamu ... Anggi Putri Salsabilla?" tanya Sandra.

Anggi terkejut dengan sapaan itu. Ia langsung menoleh ke arah Sandra dan dapat dilihatnya dengan jelas siapa perempuan di depannya itu. Sandra sangat cantik, penampilannya sangat mewah dan jauh dari dirinya. Ia juga dengar bahwa Sandra adalah sekretaris pribadi sekaligus tangan kanan Aditya. 

"Eh iya, saya, saya Anggi ... apakah sudah giliran saya?" 

"Iya. Ayo segera ke ruangan Pak Aditya."

Anggi semakin gugup saja, tapi tetap mengikuti langkah Sandra menuju ruang kerja Aditya. Beberapa detik kemudian, ia telah sampai di pintu dengan tulisan "Ruang Direktur Utama" yang menandakan memang benar ini ruangan kerja Aditya. Sandra pun membuka pintu itu, hatinya semakin berdegup kencang saat melihat sosok pria berperawakan tinggi dan tegap berdiri menatap ke luar jendela membelakanginya. 

"Pak Aditya, ini kandidat terakhirnya." 

Aditya menoleh ke arah Anggi. Sedangkan Anggi tercekat, kaget dengan tatapan Aditya yang tiba-tiba. Aditya melangkahkan kaki menuju ke tempat duduk kebesarannya dan Sandra mengajak Anggi untuk segera menemui atasannya itu. 

"Silakan duduk," ucap Sandra. 

"Terima kasih, Bu," ucap Anggi sopan.

Aditya menatapnya, seolah menyusuri siapa gadis di depannya itu. Cukup cantik dengan rambut lurus terikat kuda, bibir tipis dan warna mata cokelat terang itu sangat menarik baginya. Sikapnya yang gugup dan polos itu benar-benar membuat perhatian Aditya terfokus pada Anggi

  

Pria itu melihat dokumen milik Anggi sambil terus menatap Anggi yang tidak pernah ingin pandangan matanya bertemu dengan Aditya. 

"Kenapa anda ingin menjadi bagian dari perusahaan ini?" tanya Adit setelah membaca sedikit isi CV Anggi.

"Eh, emm saya, saya percaya tenaga dan kemampuan saya dapat berkontribusi dalam perusahaan ini." 

"Yakin? Berapa persen anda menjaminnya?" ucap Aditya santai. 

Anggi terdiam sejenak, seolah pertanyaan sederhana Aditya menjadi tombak baginya sehingga sangat sulit untuk ia jawab. "Emmm ... 95 persen saya yakin," timpal Anggi.

"Lima persennya?" tanya Aditya lagi.

"Eh itu, emm ... lima persennya saya akan belajar terus pada perusahaan ini, tapi saya yakin saya bisa membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya."

Aditya menganggukan kepalanya. Ia tertawa tipis, masih ingat betul perempuan ini yang memakinya di lift tadi. Ia benar-benar penasaran dengan sosok Anggi. Perempuan di depannya itu berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya yang selalu berusaha menarik perhatiannya dengan apa pun, entah dengan tingkahnya yang genit, pakaian seksinya yang sengaja memperlihatkan tubuh mereka atau dengan rayuan-rayuan picik mereka. 

"Ceritakan pada saya, siapa kamu?" tanya Aditya yang kini menyandarkan badannya ke kursi dengan pandangan berpusat pada Anggi.

Anggi pun mulai menceritakan siapa dirinya dengan mengoptimalkan kemampuannya untuk menarik Aditya agar menerimanya menjadi bagian dari kantornya. Aditya hanya mengangguk pelan saat perempuan itu menceritakan biodata singkat tentang siapa dirinya.

"Marco, atur kontrak dia. Pastikan dia menandatangani kontrak itu," titah Aditya. 

Sandra terbelalak, terkejut dengan keputusan cepat Aditya. Ia kembali membalikkan keterangan tentang Anggi yang seharusnya tak masuk dengan kualifikasi penerimaan karyawan Artha Group, tapi jika Aditya sudah berkata demikian, siapa yang bisa membantah? Begitu pun juga dengan Anggi, ia tak menyangka dengan keputusan cepat itu, apakah itu artinya ia diterima menjadi sekretaris di sini? 

"Sandra, Marco ... tinggalkan saya dengan dia. Kalian urus pekerjaan yang lain. Saya ingin bicara dengan dia," titah Aditya. 

| To Be Continues |

Komen (1)
goodnovel comment avatar
h-d
jangan bilang tokoh utamanya sisekretaris anggi bukan sandra? dasar aditya brengsek kalo iya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status