Langkah kaki yang gontai dengan perasaan kacau membawa Anggi tepat di depan perusahaan Metropolitant Post. Ia menghapus air matanya yang sedari tadi tak bisa dihentikan. Namun, percuma saja karena mata sembabnya tidak bisa tertutupi dengan sempurna. Ia berjalan cepat menuju kantor itu dan tujuannya adalah menemui Dimas. Ia tepiskan segala suara para pegawai lain yang memanggilnya, fokusnya hanya satu, ruangan manajer direksi.
Brak!
Suara pintu terbuka tanpa sopan itu mampu membuat Dimas dan satu orang di dalam ruangannya seketika menatap ke ambang pintu.
"Pak Dimas!" Suara Anggi yang meninggi sudah ia lontarkan dan tampaknya mampu membuat beberapa karyawan menelisik penasaran. Beruntung ruangan Dimas memiliki bilik tertutup. Bahkan aktifitas di dalam tidak akan diketahui siapa pun jika pintu itu tertutup.
Dimas justru menatap perempuan itu dengan santai bahkan ia masih mampu menarik bibirnya untuk
~~~~~~~~~Malam semakin larut, tepat pukul sepuluh malam Aditya masih tertidur di sofa panjang miliknya. Sejenak ia melupakan bahwa Anggi masih ada di apartemen miliknya. Pusing di kepala terasa lebih berat karena kebanyakan menenggak alkohol sedari tadi. Hingga, suara lirih perempuan nampak terdengar di telinga. Namun, karena suara itu sangat lirih Aditya kembali menepiskannya dan melanjutkan tidurnya. "Mas Adit ... Mass Adit," panggil Anggi.Merasa tidak ada jawaban dari sosok Aditya, perlahan kakinya turun dari ranjang. Ia menahan diri dengan berpangku pada dinding kamar itu. Perlahan ia berjalan dengan menahan rasa ngilu di kakinya menuju ke arah Aditya. Namun, sial, ia terjatuh saat salah prediksi untuk melangkah."Aduuhh!" keluh Anggi dengan suara yang cukup tinggi karena memang kaki itu terasa lebih ngilu.Aditya langsung terlonjak saat mendengar pekikan itu. Ia pun terduduk di sofanya dan mengedarkan pand
~~~~~~~~~~~3 tahun yang lalu ~Di sebuah ruangan berkeramik mengkilat yang bisa saja digunakan untuk bercermin dengan tatanan meja kayu yang di pernis mengkilat, ditambah kursi kulit yang tergolong mahal dan warna gelap mendominasi ruangan, berdiri seorang pria yang tengah menyelipkan kedua tangannya di saku celana dan memandang ke arah luar kantornya dari jendela besar ruangan itu."Tuan Anggada, ini laporan tentang perusahaan, beberapa bulan ini kita mengalami penurunan. Investor juga banyak yang mundur."Anggada mengernyitkan alisnya dan berusaha mencerna ucapan kaki tangannya. "Mana mungkin? Aeron Group ini perusahaan nomer satu di bidang teknologi di sini, mana mungkin mengalami penurunan? Cek lagi!""Tidak, Tuan. Semua ini karena perusahaan Artha Group akhir-akhir ini menunjukkan dirinya dan memiliki teknologi terbaru yang jarang dimiliki perusahaan lain selain dia juga menguasai pasar properti, Tuan. Jadi semua investor ber
~~~~~~~~~~Dua hari berlalu, nyatanya berita tentang Aditya belum juga terdengar. Sepertinya Dimas menggunakan gertakan itu untuk menjatuhkan mental Anggi. Namun, Aditya sama sekali tidak berniat membatalkan hukumannya pada pria itu. Hari ini semua harus selesai.Pagi yang cerah hari itu menyambut Aditya dengan sempurna. Bahkan ia sudah bersiap untuk berangkat kerja sebelum matahari itu benar-benar bertengger di singgasananya. Tampak Anggi masih tertidur di ranjang miliknya, membuat Aditya pun tersenyum menatap perempuan yang ia cintai kembali dalam pelukan.Hingga, beberapa saat kemudian Anggi mulai mengerjapkan mata. Ia melirik ke arah jendela yang memancarkan cahaya mentari yang mulai menunjukkan keagungannya. Ia mendadak terbangun dan menatap Aditya yang tengah merapikan vest dan mengancingkan lengan kemejanya."Mas Adit, udah mau berangkat ya? Maaf Mas, aku telat bangun. Duh, maaf ya, Mas," ujar Anggi tak enak hati."Eng
~~~~~~~~~Dimas melemparkan dirinya di ranjang miliknya dan menatap langit-langit kamar itu dengan nanar. Rasa pusing menjalar begitu saja di kepala, rencananya gagal dan justru yang ada di pikirannya saat ini adalah Anggi. Sejak kejadian di kantor, ia benar-benar tidak melihat Anggi bahkan nomernya saja tidak aktif.Sekali lagi ia mengambil ponsel yang ada di saku celana. Memencet nomor Anggi dan menempelkan benda pipih itu di telinga. Terhuhung! Nomor Anggi aktif, tapi tidak ada jawaban di ujung sana. Entah, apakah perempuan itu sangat marah padanya atau bagaimana, hingga beberapa kali tetap saja tidak ada jawaban. Jujur saja, ia tidak rela jika Anggi benar-benar jatuh dalam pelukan Aditya.Tunggu! Ia langsung mendudukan dirinya di tepi ranjang. Karena emosi memuncak pada Aditya dan kacauanya rencana, ia tak memikirkan satu hal yang krusial. Ia melihat Sandra di antara kedatangan Aditya. Pakaian yang rapi bak wanita karir yang berbeda
~~~~~~~~~Sandra Calista, dulunya seorang perempuan sederhana berusia 23 tahun dari kalangan biasa saat melamar di perusahaan Aditya. Orang tuanya pun hidup dengan kesederhanaan. Ia berasal dari Bandung dan merantau ke Jakarta untuk mengubah ekonomi keluarga. Perempuan itu pun beruntung, diterima menjadi sekretaris pribadi di Artha Group karena kualitas dan kemampuannya.Aditya percaya sekretarisnya yang ia pilih mampu meng-handle segalanya. Dan itu terbukti, kinerja Sandra memang selalu memuaskan Aditya walaupun saat itu Sandra hanya lulusan sekolah kejuruan saja. Ia sangat cekatan, mampu mencari solusi dan selalu siap siaga berada di sisi Aditya dalam perjalanan bisnis di dalam negeri maupun di luar negeri.Hingga saat ini, hidupnya sedikit berubah. Seiring berjalannya waktu, gaya hidup dan segala hal tentangnya berubah. Perempuan itu penuh ambisi hingga tidak bisa membedakan obsesi dan kebutuhan."Hallo, Bu, ada apa?" 
~~~~~~~~~Hari semakin siang dan tampaknya langit mendukung suasana hati Sandra. Cuaca yang biasanya sudah terik sekarang justru mendung dan membentuk gumpalan awan yang rasanya siap meneteskan beberapa bulir air jika massa awan sudah memberat. Isakan tangis itu masih terdengar. Marco sudah membiarkan Sandra menangis sedari tadi sampai perempuan itu tenang dengan sendirinya atau lebih tepatnya lelah menangis."Aku tau kamu begini karena Aditya. Tapi, aku tidak menyangka sampai seperti ini Aditya bagimu," ucap Marco tiba-tiba membuka obrolan.Sandra melirik ke arah pria itu, ia menoleh pada kaki tangan atasannya yang dikenal dengan sikap dinginnya persis seperti Aditya. Marco tidak akan banyak bicara dan cenderung hanya menuruti titah sang atasan. Sandra tidak menyangka bahwa diam-diam ternyata Marco memerhatikan semuanya. Kini, pria itu justru ikut terduduk di sisi Sandra dan masih menatap lurus ke depan. Menatap hamparan gedung-gedung p
~~~~~~~~~~Aditya melangkah menyusuri koridor lantai sembilan itu dengan wajah yang sumringah. Kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Sandra otomatis berakhir sejak diikrarkannya hubungan antara dua orang kepercayaannya itu. Itu artinya, Aditya tidak akan lagi mendapat gangguan untuk memiliki Anggi seutuhnya."Hallo, Sayang," sapa Aditya ketika melewati meja sekretaris sekaligus wanitanya itu.Anggi sontak terkejut saat Aditya memanggilnya seperti itu. Ia langsung melirik ke arah kanan dan kirinya berharap tidak ada yang mendengar sapaan Aditya barusan."Hustt! Mas jangan sembarangan gitu dong!""Memangnya kenapa? Kalau ada yang tau, mending sekalian dibuka kalau kamu ini sudah menjadi milik saya. Bukan begitu?""Histt, Mas, ah! Enggak lucu tau bercandanya. Oh iya gimana sama Kak Sandra?"Aditya tersenyum lebar di depan Anggi kali ini. "Semuanya sudah beres. Enggak ada lagi yang ganggu hubungan kita
~~~~~~~~~~"Pak Dimas?"Anggi benar-benar terkejut melihat Dimas yang berada di lingkungan apartemen ini. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria ini lagi setelah pengakuan yang teramat menyakiti hatinya tempo lalu. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Dimas karena bisa saja Aditya tiba-tiba muncul."Pak Dimas lepaskan! Pak Dimas mau apa?""Anggi, aku tidak bisa melupakanmu. Kamu kembali ya sama aku, tinggalkan Aditya," pinta Dimas spontan yang membuat Anggi membulatkan netranya."Enggak! Aku nggak mau!""Anggi aku mohon. Aku minta maaf tentang waktu lalu yang memanfaatkanmu karena dendamku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa kehilangan kamu, Nggi." Dimas mulai memelas di depan Anggi agar tujuannya memiliki Anggi tercapai.Genggaman tangan Dimas pada tangan Anggi sangatlah erat, ia sampai mengaduh kesakitan, tetapi tidak bisa sembarangan berteriak."Pak lepasin! Aku nggak mau Aditya salah paha