Share

Bab 9

Secretary sang CEO 

Tatapan tajam mengarah tepat ke manik mata Sandra. Aditya benar-benar tidak suka dengan pemandangan yag tidak sengaja ia lihat. Entah, ia memilih ingin membela Anggi daripada Sandra yang sudah bertahun-tahun di sampingnya. Nalurinya mengatakan bahwa Anggi tidak dalam posisinya yang salah. 

"Sikapmu benar-benar tidak pantas Sandra!" hardik Aditya. 

"Tapi aku ... aku hanya—"

"Bedebah! Pergi dari Anggi! Jangan ganggu dia lagi! Paham!" perintah Aditya. 

Sandra tidak menyangka Adit akan membela Anggi dan mempermalukan dirinya di depan perempuan itu. Ia sontak menatap Anggi dengan aura kebencian dan pergi dari hadapan Aditya dengan setengah berlari. Air matanya sudah jatuh tanpa terasa, rasa kesal di dadanya bertambah dan menimbulkan kebencian pada sosok Anggi. 

"Kamu enggak kenapa-kenapa?" tanya Aditya yang nampak khawatir dengan perempuan itu. 

Anggi menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak. Terima kasih."

"Tidak masalah. Saya tidak suka hubungan yang tidak sehat sesama karyawan saya, kamu mau makan siang?" 

Anggi kembali menganggukkan kepalanya tanpa menatap pria itu.

"Ayo, sama saya ...," ajak Aditya tiba-tiba yang sudah menarik tangan perempuan itu.

Anggi hanya terdiam dan membiarkan Aditya membawanya ke lobi utama di mana kantin kantor memang terletak di sekitar sana. Ia tak menyangka bahwa Adit akan membelanya di depan sekretarisnya itu. Perempuan itu juga bingung akan sikap Aditya yang tiba-tiba bersimpati kepadanya hingga mengajaknya untuk makan siang bersama. 

Memang selama ini tekanan dari Sandra sangat menyesakkan, apalagi jika tidak berada di dekat Aditya, Sandra kerap kali menindas dirinya. Ingin rasanya ia keluar dari perusahaan Aditya, tetapi ia masih tak memperoleh data apa pun tentang Aditya dan tidak mungkin sanggup membayar uang sejumlah 50 juta sebagai ganti rugi nantinya. 

Bertandangnya Aditya di kantin kantor menimbulkan bisik-bisik beberapa karyawan lainnya, sebab pria itu memang tak pernah menginjakkan kakainya di kantin kantor selama mendirikan perusahaan. Dan hari ini mereka takjub melihat sosok atasan mereka dan lebih takjubnya melihat Anggi yang kini berada si sampingnya bukan lagi Sandra yang biasa menemani pria itu. 

"Kamu mau makan apa?" tanya Aditya dengan seramah mungkin.

Namun, yang ditanya justru masih terdiam. Anggi masih tidak menyangka sikap baik dan perhatian Aditya yang ditunjukkan padanya hari ini.

"Nggi, kamu mau makan apa?"

"Hah? Eh, itu ... terserah Pak Aditya saja, saya ikut aja, Pak." 

Bukan hanya terpesona dengan sikap baik Aditya. Ia juga terpana dengan ruangan VIP kantin ini yang memang nampaknya di desain khusus untuk kalangan yang sederajat dengan Aditya. Namun, hari ini bahkan dirinya yang bukan termasuk dalam jajaran sederajat dengan Aditya bisa duduk di sofa mewah dan tatanan ruangan klasik yang elegant dengan pria tampan di depannya. Ia melirik ke sekitarnya, di mana beberapa pasang mata di luar ruangan transparan ini menatap ke arahnya dan sudah pasti hal itu akan menajdi gunjingan. Anggi sampai bingung harus merasa senang atau justru tidak enak hati. 

"Pak, saya bisa makan sendiri dengan karyawan yang lain," cetus Anggi tiba-tiba.

"Kenapa memangnya?"

"Saya tidak enak dengan yang lain, Pak."

"Untuk apa kamu memikirkan pikiran orang lain? Mereka hanya penasaran bukan memikirkan ketidakenakanmu terhadap mereka. Sudahlah, lagi pula kamu itu sekretaris saya, terbiasalah menemani saya seperti ini."

Anggi hanya menganggukkan kepalanya pelan dan tak lagi membantah Aditya. Ucapan pria itu benar dan Anggi menyetujui itu. Hingga beberapa menit kemudian, makanan yang dipesan Aditya tepat berasa di depan Anggi dan pria itu. Sebuah steak daging dengan beberapa hidangan penutup dan entah apa lagi yang ada di meja itu. Anggi yang menatap seluruh makanan yang sama sekali tak pernah ia makan hanya terdiam. 

Ia memang bukan dari kalangan berada yang terbiasa makan dengan makanan western tersebut. Bahkan lebih baik gajinya ia tabung daripada menghabiskan dengan makan steak dan lainnya yang pasti harganya mahal, seperti yang ia tahu di beberapa daftar harga ketika ia pergi ke restoran bersama Dimas dulu. 

"Kenapa, Nggi? kamu nggak makan?" ucap Aditya yang sudah melahap salad yang ia pesan. 

"Gimana makannya?" tanya Anggi polos.

Sontak Aditya berhenti dengan kegiatanya mencampur aduk saladnya. Ia menatap Anggi sebentar kemudian tawa renyah menyerang pria itu hingga ia tak sadar bahwa ia mengabaikan semuanya. Untung saja ruangan VIP itu tersekat oleh dinding kaca, jadi otomatis tak terlalu mengganggu sekitar.

"Are you seriously?"

Anggi menganggukkan kepala dan tersenyum kecut saat melihat pria itu tertawa tadi. 

"Katanya tadi terserah, ya saya pesankan steak untuk kamu. Saya pikir kamu akan menyukainya." Masih, Aditya masih dengan tawa lepasnya. 

"Ah, seperti itu, tapi saya tidak biasa makan makanan ini, Pak. Maaf ya, Pak," ucap Anggi.

Aditya justru tersenyum mendapati sikap Anggi. Ia lantas berdiri dan berjalan ke arahnya. Duduk di sebelah perempuan itu sembari menarik piring berisi steak daging yang nampak lezat. Aditya pun memotong beberapa potong daging dengan tekstur lembut itu untuk Anggi. Sebelumnya ia menuangkan brown sauce di atas dagingnya. 

"Makanlah, cobain." 

Anggi masih menatap Aditya dan mulai mengambil garpu dari tangan pria itu dan memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya. 

"Gimana enak nggak?"

"Enak, Pak, wah ... saya baru pertama kali makan beginian. Ternyata enak," ucap Anggi dengan mata berbinar seolah tengah menemukan makanan terlezat di muka bumi ini. 

"Makan saja, habiskan ya ...." 

Anggi hanya tersenyum menanggapi ucapan Aditya. Ia pun mengikuti cara Aditya yang tadi memotong daging dan mulai memasukkan potongan-potongan itu dalam mulutnya. Aditya hanya tersenyum menatap perempuan itu. Setidaknya, berada di sisi Anggi membuat hatinya menghangat setelah satu minggu lalu ia merasa sangat kehilangan. 

"Pak Aditya kenyang makan sayuran begitu, Bapak mau daging punya Anggi nggak? Anggi bisa bagi punya Anggi," ucap perempuan itu.

Aditya menggelengkan kepalanya, ia memang tidak berniat makan siang. Hanya saja ia ingin menemani perempuan itu hari ini. Aditya hanya meminum minumannya sembari menunggu perempuan itu menyelesaikan makannya.

"Eh, kok saya jadi keasikan makan. Maaf ya, Pak, jadi malu-maluin," ucap Anggi yang meletakkan garpunya setelah santapan terakhirnya.

"Tidak masalah, saya senang kamu memakan pesanan saya."

Aditya pun menyandarkan dirinya di punggung sofa sejenak dan Anggi ingin menanyakan perihal sikapnya tadi pagi yang tak terkontrol itu. Namun, ia ragu untuk menanyakam hal tersebut pada sosok Aditya, tapi jika tidak ada pendekatan, juga tidak akan pernah mendapatkan informasi apa pun sesuai dengan tujuannya menjadi sekretaris Aditya. 

"Emm, Bapak kenapa? Ada masalah ya, Pak?" 

"Maksudmu?" 

"Maaf jika saya ikut campur, tapi dari sikap Bapak tadi pagi, rasanya sangat berbeda. Bapak lebih emosional. Maaf jika saya salah menduga, Pak," ucap Anggi yang kemudian canggung. 

Aditya menghela napas panjangnya. Sejenak tak menanggapi ucapan Anggi sampai akhirnya ia membuka suaranya. 

"Anak saya meninggal satu minggu lalu." 

Deg.

Pengakuan Aditya sontak saja membuat Anggi merasa bersalah atas pertanyaannya. Kini, ia menatap raut kesedihan yang sempat ia tangkap tadi pagi. 

"Maaf, Pak Adit, saya tidak bermaksud—"

"It's okay, Nggi. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah mengembalikan nyawa anak saya."

Aditya menunduk, menaham rasa sesak di dadanya kembali saat mengingat mendiang anak perempuannya. Rasa penyesalan selalu saja membuatnya lemah, terlebih sudah dua kali ia menyesali kepergian seseorang. Tiba-tiba sebuah usapan lembut berada tepat di punggungnya, membuat pria itu menoleh ke arah Anggi yang justru melesungkan senyumnya pada Aditya.

"Bapak yang kuat, ya. Saya tahu Bapak pasti sangat kehilangan orang yang sangat Bapak sayangi. Tapi kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan, Pak, karena kalay Bapak terus seperti ini, anak Bapak juga nggak akan tenang di sana. Dia pasti sedih melihat ayahnya juga sedih terus menerus." 

Kembali Aditya menundukkan kepala, Anggi benar, ia tak seharusnya terlarut terus menerus atas rasa kehilangan yang mendalam. Namun, tetap saja hal itu menyesakkan dadanya. Terlebih ia belum mampu menepati janjinya pada bocah kecil itu. 

"Saya hanya menyesal, Nggi, kenapa saya jadi sosok ayah yang mengabaikan anak sendiri. Saya bahkan tidak tahu jika anak saya sakit, mantan istri saya pun tidak pernah membicarakan hal itu. Itu yang membuat saya menyesal kenapa saya tidak tahu apa-apa tentang anak saya."

Anggi masih mengusap lembut punggung pria itu. Empati perempuan itu mendadak menjadi sangat kuat 

"Pak, yang dilakukan Bapak belum tentu gagal menurut anak Bapak. Bahkan justru Bapak sudah memberikan hal yang terbaik untuk dia. Saya yakin, anak Bapak bangga memiliki sosok orang tua seperti Pak Aditya. Kita doakan saja agar anak Pak Aditya di tempatkan di tempat terbaik di sisi Tuhan. Kalau Bapak rindu ... Pak Aditya bisa berkunjung ke makamnya bukan? Jadi ... tetap semangat ya, Pak," ucap Anggi.

Entah, ucapan Anggi seolah mengalirkan sesuatu kehangatan di hati Aditya. Sudah lama ia tak mendengar petuah yang sangat tulus seperti ini. Baru kali ini pula ia mampu mendengarkan ucapan orang lain dan membenarkan semuanya. Aditya lantas memegang telapak tangan perempuan itu. 

"Terima kasih, Nggi. Terima kasih atas semangatnya, terima kasih kamu sudah mendengarkan keluh kesah saya. Maaf saya menyita waktumu dan maaf soal tadi," ujar Aditya.

"Tidak masalah, Pak Adit, saya hanya tidak ingin Pak Aditya terlarut dalam kesedihan." 

Aditya menganggukkan kepala dan melemparkan senyumnya pada perempuan di sisinya. Begitu pun Anggi yang membalas senyum itu. Entah, sejak kapan ia peduli pada Aditya, selain memang tujuannya untuk mencari segala informasi penting dari pria itu. Di sisi lain ia bersimpati dengan kehidupam Aditya jika di lihat dari sisi berbeda. 

Sementara, terdapat sepasang mata yang menyorot kedekatan mereka dengan tatapan benci. Sandra, yang kebetulan tengah melintas di kantin kantor itu melihat Aditya dan Anggi yang tengah berada di ruangan VIP kantin. Penasaran dengan hal itu membuat Sandra kembali diselimuti oleh rasa iri dan cemburu. Seharusnya ia yang berada di dekat atasannya itu, bukan Anggi yang notabene orang baru di kehidupan Aditya. 

Perempuan itu mengepalkan tangannya dan berlalu begitu saja dengan rasa kesal meninggalkan kantin tersebut. Namun, belum sempat Sandra melangkah lebih jauh ia dikejutkan oleh kehadiran Marco.

"Marco," ucap Sandra.

"Sandra makan siang di sini?"

Sandra menggelengkan kepalanya cepat dan berlalu begitu saja tanpa memedulikan kehadiran Marco yang justru bertanya-tanya dengan sikap Sandra. Marco pun menilik di sekelilingnya dan mendapati sosok Aditya dan Anggi di ujung ruang VIP kantin itu. Ia menghela napasnya dan seolah sudah menemukan masalah dari sikap Sandra barusan. 

******

Sandra masih melangkahkan kakinya menuju ke meja kerjanya. Mendaratkan dirinya dengan kasar di kursi itu dan meremat kepala yang terasa menyakitkan.

"Kenapa harus Anggi! Kenapa Aditya tidak melihatku sekarang! Argh! Sial!" umpatnya tertahan. 

Nampak raut kebencian menyelimuti Sandra. Ia tidak terima jika Aditya lebih dekat dengan Anggi di banding dirinya. Rasa sukanya pada Aditya membuat perempuan itu tak rela jika sang atasan bersama yang lain selain dirinya. 

"Aku harus berbuat sesuatu, Aditya tidak boleh berpaling dariku. Aku harus melakukan sesuatu," tekadnya. 

Hingga, jam makan siang pun berakhir, semua kembali pada kesibukan maisng-masing  Dan Sandra tengah memberikan sebuah tugas pada Anggi yang harus dikerjakan perempuan itu. Anggi pun tak keberatan, justru ia langsung mengiyakan titah Sandra karena tidak enak dengan perdebatan mereka tadi. 

Sedangkan Sandra kini tepat di depan ruangan Aditya. Seolah ragu untuk masuk padahal biasanya ia tinggal keluar masuk ruangan itu tanpa izin Aditya. 

"Permisi Pak Aditya," ujar Sandra.

"Ya, masuk saja," timpal Aditya. 

Sandra pun masuk ke dalam ruangan Aditya dan segera menuju ke arah meja kerja Aditya. Duduk di kursi di depan pria itu dan masih menunggu Aditya menatap ke arahnya. Dan hal itu terbukti, saat Aditya meliriknya yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.

"Ada apa, Sandra?" 

"Emm, aku mau minta maaf tentang tadi siang? Maaf aku—"

"Sudah tidak masalah, asal jangan kamu ulangi saja. Aku tidak suka ada keributan di kantor. Harusnya kamu tahu itu kan?" 

Sandra menganggukkan kepalanya dan mulai bangkit, kemudian berjalan ke arah sisi Aditya. Menyentuh pundak hingga dada bidang pria yang masih setia menatap layar ipad yang ia pegang.

"Aku hanya tidak suka kamu terlalu dekat dengannya. Memangnya kamu sudah tidak membutuhkanku?" 

"Sandra hentikan, aku sedang tidak ingin diganggu. Dan jika aku tidak membutuhkanmu lagi, untuk apa aku masih mempertahankanmu di perusahaan ini? Sudah jangan bicara yang tidak-tidak." 

Sandra yang benar merasa sikap Aditya sudah berubah mendadak, kembali kesal dengan semuanya. Ia lantas menarik ipad yang sedari tadi Aditya oegang agar pria itu menatapnya. 

"Kamu apa-apaan sih, San? Itu pekerjaanku! Kamu jangan sembarangan seperti itu!"

"Kamu sudah memandangku hanya sebatas pekerjaan saja? Jadi apa gunanya aku menemanimu selama ini? Itu tandanya kamu sudah tidak membutuhkanku kan? Atau kamu sudah berpaling dengan Anggi yang sama sekali belum kamu taklukan? Iya kan?"

Aditya yang mendengar ucapan tak sopan Sandra langsung berdiri menatap tajam ke arah permpuan itu. Sandra telah salah membangunkan sisi gelap pada Aditya sehingga kini ia meringis kesakitan akibat cekalan tangan kekar itu di lengannya. 

"Tidak bisakah kamu lebih sopan padaku? Bagaimana pun aku tetap atasanmu di sini! Kamu tidak berhak mengatur urusan pribadiku? Dan sejak kapan aku menjajikan diriku sendiri untuk selalu bersamamu. Kamu yang selama ini merelakan waktumu untuk menemaniku tanpa ku minta. Lalu sekarang kamu menanyakam hal yang jelas-jelas sudah kamu ketahui jawabannya! Aku dekat dengan siapa pun ... kamu tidak berhak melarang! Kamu buka siapa-siapaku, Sandra!" gertak Aditya yang melepaskan lengan Samdea dengan keras.

Sandra yang syok dengan sikap Aditya hanya bisa mematung. Air matanya lolos begitu saja tanpa mampu terkendali. Pernyataan menohok Aditya benar-benar menyakiti hatinya walau ia juga sadar memang ia tak pernah bisa meriah hati pria itu. 

"Aku ... aku seperti ini karena aku cinta sama kamu, Dit!" 

Aditya tertawa tipis mendengarnya. 

"Cinta? Kamu lupa kalau aku tidak akan pernah mencintai siapa pun. Harusnya kamu sadar, kalau apa yang kamu rasakan tidak akan pernah berbalas. Lebih baik kamu pergi sekarang, kemasi barangmu dari meja sekretarismu."

"Hah? Kamu memecatku?" 

Aditya menggelengkan kepalanya. "Sekretaris Eksekutif itu jabatanmu sekarang. Silakan kemasi barangmu dan tempati ruangan barumu."

Tawaran menarik untuk siapa pun itu nyatanya tak membuat Sandra merasa sennag. Itu artinya ia tidak bisa dekat lagi dengan Aditya. Walaupun jabatan itu menggiurkan siapa pun, tapi bagi Sandra pria itu sudah mengusir dirinya dari kehidupannya. Harusnya Sandra sadar akan hal ini, tapi ia tidak akan menyerah sampai kapan pun.

'Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, Dit, lihat saja,' batin Sandra yang lantas pergi dari ruangan Aditya. 

|To Be Continues|

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status