Share

Bab 8

Secretary sang CEO 

Waktu pun berlalu, satu minggu sudah kepergian Aurel dalam hidup Aditya dan Sabrina. Kembali tenggelam akan hal yang sama sekali tak pernah ia inginkan. Namun, ia sadar semua yang datang pasti akan kembali pergi. Kepergian sang anak nampaknya membuat Aditya harus menghabiskan waktu satu minggu untuk benar-benar merelakan kepergian Aurel. Ia sadar, dirinya tak boleh berlarut dalam kesedihan berlama-lama atau hal itu akan membuatnya kembali dalam masalah mental yang sudah susah payah ia kendalikan. 

Hari ini di depan pusara sang anak ia berdiri dan terdiam, menatap kembali makam anaknya yang masih bau bunga semerbak dan tanahnya pun masih basah. Kini Aditya seolah telah menyetel kembali sikapnya menjadi sosok yang sangat dingin dan mungkin menciptakan stigma pada orang lain bahwa dirinya tidak akan terlalu terbuka. Tidak ada senyum lagi darinya untuk siapa pun. Kehilangan seseorang yang dia sayang berkali-kali membuatnya kembali tertutup, semua karena ia tak lagi merasakan kehilangan siapa pun. 

"Dit, terima kasih. Terima kasih atas semuanya, kamu sudah menjadi Ayah terbaik untuk Aurel, terima kasih, Dit," ucap Sabrina membuka obrolan.

Aditya nampak hanya melirik ke sisi kananya sejenak tanpa memalingkan tubuhnya ke arah perempuan yang tiba-tiba datang itu. Semilir angin yang menerpa tubuh keduanya kembali membawa keterdiaman tanpa sepatah kata pun. Menatap lurus ke arah nisan yang meninggalkan sejuta kasih sayang sekaligus penyesalan kedua orang tuanya. 

"Lanjutkan hidupmu, Sabrina. Jangan ragu untuk menghubungiku jika memang benar-benar butuh bantuanku. Kita memang sudah tidak ada hubungan apa-apa, tapi tetap kamu ibu dari anakku ... meskipun kini Aurel sudah tidak ada di dunia," ucap Aditya.

Tanpa menunggu jawaban Sabrina, ia membalikkan badannya dan langsung melangkahkan kaki pergi dari pusara Aurel, meninggalkan Sabrina sendiri di sana. 

Ia melangkahkan kakinya untuk memulai kehidupannya lagi dan berharap Aurel akan bahagia di sana. Sabrina hanya bisa melihat punggung Aditya yang berjalan meninggalkannya dan lantas menghela napas panjang. 

Aditya memang sosok yang arogan, kasar, dingin dan tidak punya hati. Namun, di sisi lain ia adalah sosok penyayang, ayah terbaik untuk anak-anaknya dan ia adalah sosok yang perhatian meskipun tak ia tunjukan secara terang-terangan. Sabrina kembali menatap nisan bertuliskan nama Aurel Kavindra.

"Mama tau, Nak, Papamu orang yang sangat baik. Kamu harus bangga memiliki Papa sepertinya. Terima kasih, Nak, kamu sudah membuat kebahagiaan dalam hidup kami, pernah memberikan kami sebuah senyum bahkan canda tawa yang tidak akan pernah kami lupakan. Tenanglah di sana, Mama akan selalu merindukan, Aurel ...," ucap Sabrina yang lagi-lagi dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. 

*****

Mobil Aditya melesat menuju ke arah kantor. Karena kepergian Aurel, Aditya benar-benar menggantungkan pekerjaan kepada tangan kanannya. Tanpa pria itu tahu bahwa ada kendala di dalam kantor yang membutuhkannya beberapa hari ke belakang. Namun, karena ponsel Aditya tidak aktif maka pria itu masih menganggap semuanya baik-baik saja. 

Beberapa saat kemudian, ia telah sampai di kantornya. Ia parkir mobilnya tepat di depan lobi pintu masuk Artha Group. Ia keluar dari mobil tepat ketika semua mata tertuju padanya karena penasaran sosok yang bertandang ke kantor berpakaian sang kontras seperti kebanyakan. Setelan celanan jeans dipadukan dengan kemeja hitam serta jaket kulit hitam serta sepatu fantofel benar-benar membuat aura Aditya semakin bersinar. 

Ketika Aditya berjalan sembari melepaskan kaca mata hitamnya, sontak saja para karyawan terkejut karena menyadari pria yang terlihat mengenakan style santai, tetapi rapi itu adalah atasan mereka.

"Itu Pak Aditya? Beda banget kalau udah pakai baju kayak gitu, cocok banget jadi boyfriend material," oceh salah satu karyawan perempuan.

"Setuju, gantengnya paripurna nggak ada saingan pokoknya. Coba senyum dikit, pasti bikin meleleh tuh," timpal lainnya.

Celoteh-celoteh para karyawan perempuan sudah tidak asing lagi terdengar. Banyak dari mereka yang mengagumi sosok Aditya. Banyak dari mereka pun yang berharap setidaknya dilirik atau disapa pria itu, tetapi sepertinya itu hanya angan-angan mereka saja. Perempuan yang beruntung bisa berdekatan dengan Aditya hanyalah Sandra dan sekarang ditambah Anggi. Aditya pun menuju ke ruangannya yang disambut oleh Sandra. 

"Pak Aditya, Bapak ke mana saja?" tanya Sandra cemas. 

"Ada urusan. Bagaimana kantor? Sandra, Anggi ... Marco, semuanya baik-baik saja kan?" tanyanya sembari melepaskan jaket kulitnya dan meletakkannya di meja kerjanya. 

Dengan perasaan sedikit ragu, Marco melangkahkan kakinya menuju Aditya dengan memberikan berkas-berkas untuk diketahui sang atasan. Dengan menyandarkan badannya di meja kerja, ia menerima berkas itu. Menilik secara detail berkas-nerkas itu dan betapa terkejutnya saat mendapati bisnisnya kali ini mengalami penurunan yang tidak wajar serta investor yang menarik kembali sebagian saham di perusahaannya.

"Apa-apaan ini? Saya hanya tidak ada satu minggu dan ada masalah seperti ini! Marco kamu sudah tidak becus mengatur bisnis saya! Sandra kamu juga! Untuk apa kalian bekerja jika semuanya tidak ada yang beres!" sentak Aditya geram. 

Pria itu lantas melempar berkas-berkas tersebut di depan Sandra dan Marco yang tertunduk tidak berani menjawab pertanyaan atasannya. Emosinya memuncak karena itu artinya ia harus kembali menemukan kepercayaan investor dan menemukan apa yang salah dalam usahanya. 

"Atur jadwal meeting sekarang dengan jajaran manager! Saya tunggu lima menit di ruang meeting! Awas jika ada yang terlambat! Anggi ikut saya!" titah Aditya dan ia pergi meninggalkan Sandra dan Marco. 

Sontak Sandra dan Marco segera menguhubungi para jajaran manager. Waktu yang sangat singkat itu membuat Sandra dan Marco sedikit panik. Raut wajah serius Aditya dengan kemarahannya sudah memporak pondakan suasana. Namun mereka bersyukur bahwa Aditya datang tepat waktu sebelum bisnis pria itu benar-benar tak terselamatkan. 

Di sisi lain, Anggi hanya menundukkan kepalanya duduk di kursi ruang rapat, merasa takut dengan sikap Aditya yang sedari tadi tidak ramah sama sekali. Sikapnya benar-benar berubah, ia menjadi mudah emosi dan tidak menghargai kerja orang lain. Lima menit berlalu, para jajaran manajer sudah berkumpul di ruang rapat di mana sudah jelas ada Aditya di sana. Tatapan tajam dan dingin Aditya menyusuri satu persatu jajaran manager di perusahaannya yang membuat para manager itu sedikit ngeri. 

"Kenapa sampai para investor menarik sahamnya? Siapa yang bertanggung jawab atas ini? Pak Deri anda adalah manager Humas di sini, kenapa hubungan perusahaan dengan para investor bisa begini?" tanya Aditya, tentu dengan nada yang tidak menyenangkan. 

"Emm, it—itu, Pak, anu —"

"Apa!" bentak Aditya lagi.

"Pa—para investor takut untuk menginvestasikan kembali karena bisnis di bidang properti tahun ini sedikit menurun. Pak. Jadi mereka menarik sebagian saham agat tidak rugi."

Aditya mendecak, memang ia mengetahui berita terkait hal itu. Namun, siapa sangka jika hal tersebut berdampak pada perusahaanya. Aditya tak sabar, ia tidak peduli alasan apa pun. Namun, jika perusahaan mampu meyakinkan lebih pada investor tidak akan terjadi hal penarikan saham besar-besaran seperti ini, sedangkan Artha Group tengah menangani proyek besar.

"Kalian semua orang-orang yang saya anggap terbaik, tapi nyatanya tidak bisa bekerja dengan baik!" 

Semua orang yang berada di ruang rapat tersebut terdiam. Mereka memang tidak pandai memikat hati para investor, semua investor yang ada adalah hasil dari kerja keras pribadi Aditya. Ia sangat pandai menarik hati para investor-investor untuk bekerja sama dengan perusahaannya. 

"Bubar!" ucap Adit. 

Seketika semuanya bubar meninggalkan ruang rapat. Ia harus memutar otak agar perusahaannya kembali berjaya dan tidak terpengaruh akan naik turunnya bisnis properti di luar sana. 

"Marco! Urus semua investor-investor, adakan acara pertemuan." 

"Baik, Tuan," ucap Marco. 

"Sandra! Tarik semua laporan dari masing-masing departemen bawa ke ruangan saya."

"Baik, Pak." 

Aditya pun melangkahkan kakinya menuju ruangan kerjanya yang diikuti oleh Anggi sebagai asisten pribadinya yang sedari tadi terdiam menelaah sikap Aditya. Ia pun menyorot mata pria itu sedari tadi. Di balik amarahnya terdapat kelelahan di sana, entah mengapa Anggi mampu menerjemahkan itu semua, yang jelas ia tahu bahwa ketidak hadiran Aditya selama satu minggu memiliki alasan. 

Aditya pun duduk di sofa ruang kerjanya, merebahkan tubuhnya sejenak di sana. Rasa lelah menyelimuti diri, karena selama tujuh hari ini ia jarang sekali beristirahat dengan benar, ditambah keadaan kantor yang kacau balau karena tidak hadirnya ia sebagai pemegang keputusan tertinggi. Ia menghela napas panjang sembari menutup kedua matanya.

"Pak, mau saya buatkan minuman hangat biar Pak Aditya lebih rileks?" tanya Anggi tiba-tiba. 

Aditya tak menggubris tawaran Anggi dan justru menarik tangan perempuan itu hingga terduduk di sampingnya. Anggi terkejut tanpa bisa memberikan perlawanan. Aditya menatap mata Anggi, menatap manik mata itu dalam-dalam. Entah mengapa terdapat ketenangan setelah menatap mata itu. Sedangkan, Anggi menjadi salah tingkah dan segera menundukan pandangannya. Memiliki jarak yang sangat dekat dengan Aditya membuat perempuan itu kembali dilanda rasa gugup. 

"Kenapa kamu terlihat gugup Anggi?" tanya Aditya langsung. 

Anggi yang terkejut mendapati pertanyaan Aditya hanya bisa memandang ke segala arah agar pandangannya tak bertemu lagi dengan pria tampan itu. "Emm tidak, Pak. Saya hanya bingung harus berbuat apa," timpalnya dengan tawa sumbang yang dibuat-buat.

Tiba-tiba Aditya mendorong tubuh Anggi sdi sofa itu, membuat dirinya jelas di bawah kendali sang atasan. Namun, dengan sigap ia tahan tubuh Aditya dengan tangannya. Ia bingung sebenarnya apa yang dikehendaki atasannya itu, sementara otaknya langsung mengingat kejadian saat pertama kali dirinya ada di rumah Aditya. 

Anggi langsung tersadar dan tidak ingin hal serupa terjadi pada dirinya. Ia sudah mendengar rumor bahwa Aditya senang bermain-main dengan banyak wanita. Sedangkan Aditya semakin penasaran dengan penolakan Anggi. Baru kali ini, ada penolakan dari perempuan terhadapnya.

"Kenapa?" tanya Aditya.

"Pak ... Pak Adit mau ngapain?"

"Bersenang-senang ... denganmu." 

Posisi Aditya yang sama sekali tidak menguntungkan di pihak Anggi, nampaknya membuat perempuan itu langsung memahami arti bersenang-senang yang tercetus pada ucapan Aditya. Dan ia kembali menahan dada bidang itu agar tak semakin mendekati dirinya.

"Ja—jangan, Pak, saya tidak mau. Jangan lakukan apa pun," ucap Anggi memohon.

Aditya tidak menghiraukan ucapan Anggi, ia justru menangkap lengan mungil yang sedari tadi menahan tubuhnya dan dengan sigap mencium bibir ranum Anggi. Anggi yang terkejut dengan hal itu segera mendorong tubuh Aditya untuk menjauhi dirinya. 

Ke—kenapa harus sama Pak Aditya, sih? Batin Anggi.

Ia mencoba menahan Aditya agar tidak berusaha berbuat lebih pada dirinya meskipun Aditya berhasil membuka kancing blazer yang ia kenakan. Tidak mungkin ia melepas apa yang dia jaga selama ini hanya untuk kesenangan Aditya sesaat. Tidak akan. 

Lagipula ini di kantor, yang benar saja— pikirnya. Namun, nampaknya hal itu tidak ada dalam pikiran Aditya. Ia bisa melakukan apa pun sesuai keinginannya bahkan jika itu masih berada di wilayah kantor. Ia dengan cepat memegang kedua tangan Anggi dan berhasil menyusup ke ceruk leher jenjang perempuan itu. 

Anggi berusaha melepaskan diri dari perlakuan Aditya karena baru pertama kali ia diperlakukan seperti ini oleh seorang pria. Namun, tenaganya benar-benar kalah dengan Aditya sehingga ia tidak tahu lagi harus mencegah atasannya itu dengan apa. Walaupun sesekali ia pun tergoda dengan wangi maskulin Aditya, tapi ia sadar pria itu tidak boleh melanjutkan niatnya.

"Ja—jangan, Pak Adit, sa—saya mohon," ucap Anggi terbata-bata karena Aditya seolah kehilangan akal sehatnya dan berusha membuat Anggi menuruti keinginannya. Bahkan ia merasakan deru napas pria itu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Aditya tersenyum tipis, ia suka penolakan Anggi. Ia semakin ingin menaklukan perempuan itu. Namun, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka begitu saja. Sandra ada di sana, ia tercekat mendapati Aditya yang tengah mencumbu Anggi. Bukan kali pertama ia melihat Aditya dengan perempuan lain, tetapi dengan Anggi membuat emosinya mendidih. Sedangkan Aditya segera menoleh ke arah Sandra dengan kesal. 

"Kamu ini! Sudah hilang kesopananmu! Tidak bisa kamu ketuk pintu itu sebelum masuk sembarangan ke ruangan saya! Hah!" bentak Aditya yang mulai bangkit dari tubuh Anggi.

Di sisi lain, Anggi merasa lega dengan kedatangan Sandra. Seakan doanya terkabulkan agar Aditya tak berbuat lebih padanya.

"Ma—maaf, Pak. Tapi saya membawa laporan ini seperti yang Bapak perintahkan." 

Aditya pun menuju ke arah Sandra dan mengambil dokumen itu dengan kasar. Tatapan tajam dan sifat antagonis kembali ditampakkan oleh Sandra ke arah Anggi. Sedangkan Anggi tak berani menatap mata Sandra, ia kembali membereskan blazer dan kancing kemejanya yang berantakan akibat ulah Aditya. 

Setelah itu Anggi tidak dapat berkata sepatah kata pun, rasa syok masih menjalari naluri. Sedangkan Aditya langsung mampu bersikap seperti tidak terjadi apa-apa dan kembali fokus di depan laptopnya. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya sesekali dibantu oleh Anggi. Walaupun perempuam itu justru masih terjebak dengan ingatan akan ciuman Aditya yang merupakan ciuman pertama baginya. Namun, perempuan itu juga menyorot ke arah perempuan di sebrangnya. Anggi tahu tatapan Sandra sangat tidak suka kepadanya karena kejadian tadi. Namun, Anggi berusaha tidak memikirkannya, ia berusaha seprofesional mungkin dalam pekerjaannya membantu Aditya, walau rasa takut masih ada.  

Beberapa saat kemudian, jam menunjukkan jam makan siang. Akhirnya ia terbebas juga dari Aditya. Perempuan itu pun melangkahkan kakinya menyusuri koridor lantai sembilan menuju ke arah lift. Namun, tanpa ia duga tangannya di tahan oleh seseorang. Ia menoleh ke arah siapa yang memegang tangannya dan mendapati Sandra sudah berdiri di sampingnya. 

"Kak Sandra, mau apa? Ada perlu?" tanya Anggi dengan nada seramah mungkin.

"Kamu! Sudah berapa kali ku peringatkan jangan menggoda Pak Aditya!"

"Bu—bukan saya, Kak, saya sama sekali tidak —"

"Bohong! Jangan kamu kira aku tertipu dengan wajah polosmu itu! Jalang!" bentak Sandra.

Mendapati kata terakhir Sandra membuat Anggi tak terima dengan sebutan itu. Ia sama sekali tak berpikiran menggoda Aditya apalagi bisa berbuat macam-macam dengan atasannya itu. "Saya tidak menggoda Pak Aditya!" ucap Anggi dengan nada tinggi.

Air matanya sudah meleleh karena baru kali ini ia dibentak seseorang dan seolah tersudut dengan sesuatu yang bahkan ia tak berniat melakukannya. Namun, Sandra tak peduli, ia yang teramat kesal dengan Anggi sedari tadi dan tak bisa melampiaskannya karena Anggi ada bersama Aditya. Hingga akhirnya memuncak tepat ketika perempuan itu tak lagi berada di sisi Aditya. Sandra yang sudah terbawa emosi pun berniat menampar Anggi hingga sebuah tangan kekar memegang lengannya dan menggantung di udara.

"Adit!" ucap Sandra terkejut.

| To Be Continues |

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status